Tuesday, January 25, 2011

Pencetus Teori Politik Islam : Al-Mawardi

Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of Baghdad" tulis seorang orientalis. 
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal kala itu. 
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra. 
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘'negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.'
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya."
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna'. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ'tab Al Igna', dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, "Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama'."

 Sumber : http://rumahislam.com

Wednesday, January 12, 2011

Akhlaq Terhadap Allah SWT


A.     TAQWA
Definisi taqwa yang paling populer adalah “memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya.” Atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Taqwa juga bermakna pemeliharaan diri.  Kemudian Muttaqin adalah orang-orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan Allah di dunia dan di akhirat.
Buah dari Taqwa
            Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan dapat memetik buahnya, baik di dunia maupun di akhirat. Buah itu antara lain
1.      Mendapatkan sikap furqan.
2.      Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi.
3.      Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan.
4.      Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga.
5.      Mendapatkan kemudahan dalam urusannya.
6.      Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.

B.     CINTA DAN RIDHA
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Bagi seorang mukmin, cinta pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah SWT. Allah lebih dicintainya daripada segala-galanya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“... Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah ...” (QS. Al-Baqarah 2: 165)
Kenapa dia mencintai Allah lebih dari segala-galanya? Tidak lain karena dia menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya, serta Allah-lah yang mengelola dan memelihara semuanya itu. Dengan rahman-Nya Dia menyediakan semua fasilitas yang diperlukan oleh umat manusia jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan. Dan dengan Rahim-Nya Dia menyediakan segala kenikmatan bagi orang-orang yang beriman sampai hari akhir nanti. Allah-lah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sejalan dengan cinta, seorang Muslim haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya ia harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, serta larangan-Nya. Dia dapat ridha karena dia mencintai Allah dan yakin bahwa Allah maha pengasih dan penyayang. Demikianlah sikap cinta dan ridha kepada Allah SWT. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dan dengan Ridha kita mengharapkan cinta-Nya.

C.     IKHLAS
Secara etimilogis ikhlas bearti bersih, muri; tidak bercampur. Kemudian secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Dalam bahasa populernya ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih: hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

D.    KHAUF DAN RAJA’
Khauf
            Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Dalam islam semua rasa takut harus bersumber dari rasa takut kepada Allah SWT. Hanya Allah-lah yang paling berhak ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya.

Raja’
            Raja’ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong.
            Hidup di dunia ibarat bercocok tanam yang nanti panennya di akhirat. Orang yang bercocok tanam di tanah yang subur, menanam bibit yang baik dan bermanfaat, memelihara dan merawatnya dengan tekun, tentu wajar kalau berharap mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan. Sebaliknya bercocok tanam di tanah yang kering, bibit yang ditanam tidak baik dan tidak bermanfaat, apalagi tidak pernah dipelihara dan dirawat, tentu sia-sia kalau mengharapkan hasil panen yang baik dan menyenangkan.
            Akhirnya sekali lagi kita katakan bahwa kedua sikap itu, khauf dan raja’ harus berlangsung sejalan dan seimbang dalam diri seorang Muslim. Kalau hanya membayangkan azab Allah seseorang akan berputus asa untuk dapat masuk surga, sebaliknya kalau hanya membayangkan rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga.

E.     TAWAKKAL
Tawakkal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya. Tawakkal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman bahwa semua urusan kehidupan, dan semua manfaat dan mudharat ada di tangan Allah. Dia tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya tenang dan tentram, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah.
Tawakal dan Ikhtiar
            Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakikat tawakal.

F.      SYUKUR
Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Bersyukurnya hamba berkisar atas tiga hal, yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan dengan bersyukur, yaitu: mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah. Jadi syukur itu berkaitan dengan hati, lisan, dan aggota badan. Hati untuk ma’rifah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut nama Allah, dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
Berikut kutipan dialog antara seorang laki-laki dengan Imam Abu Hazm:
- Apa syukurnya kedua mata itu?
+ Apabila engkau melihat sesuatu yang baik, engkau menceritakannya. Tapi bilamana engkau melihat keburukan, engkau menutupinya.
- Bagaimana syukurnya telinga?
+ Jika engkau mendengar sesuatu yang baik, maka peliharalah. Dan manakala mendengar yang buruk, cegahlah!
- Bagaimana syukurnya tangan?
+ Jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu, dan janganlah engkau menolak hak Allah yang ada pada kedua tanganmu.
- Kalau syukurnya perut, bagaimana?
+ Hendaklah bawahnya berisis makanan, atasnya berisi ilmu.
- Bagaimana syukurnya kemaluan itu?
+ Abu Hazm menjawabnya dengan membaca surat Al-Mukminun ayat 1-7 :
 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;  Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu,  maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun 23: 1-7)
- Sekarang, bagaimana syukurnya kaki itu?
+ Jika engkau mengetahui seorang saleh yang mati dan engkau bercita-cita dan berharap seperti dia, dimana dia melangkahkan kaiknya untuk beramal saleh semata, maka contohlah ia. Dan apabila engkau melihat seorang yang mati yang engkau membencinya, maka bencilah amalnya. Maka engkau akan menjadi orang yang bersyukur.
            Kemudian Abu Hazm menutup jawabannya dengan mengatakan bahwa orang yang bersyukur dengan lisannya saja tanpa dibuktikan dengan perbuatannya dan sikap, maka ia ibarat seorang laki-laki yang mempunyai pakaian, lalu ia pegang ujungnya saja, tidak ia pakai, menjadi sia-sialah pakaian tersebut.

G.    MURAQABAH
Muraqabah berasal dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti dan mengamati, atau dapat disimpulkan pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan muraqabah dalam pembahasan kita adalah kesadaran seorang muslim bahwa ia selalu berada dalam pengawasan Allah SWT.
Muhasabah
Muhasabah ada tiga macam:
1.      Muhasabah hak Allah SWT.
2.      Muhasabah amalan yang akan lebih baik apabila ia tidak melakukannya daripada ia melakukannya.
3.      Muhasabah amalan mubah atau kebiasaanya.
Muhasabah akan memberikan banyak manfaat bagi orang muslim, diantaranya:
1.      Untuk mengetahui kelemahan diri supaya dia dapat memperbaikinya. Karena orang yang tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiritidak akan dapat memperbaikinya.
2.      Untuk mengetahui hak Allah SWT. Karena orang yang tidak mengetahui hak Allah ibadahnya tidak dapat bermanfaat banyak bagi dirinya.
3.      Untuk mengurangi beban hisab esok hari. Karena orang yang sudah dihisab hari ini akan aman dari hisab hari esok.

H.    TAUBAT
Taubat berakar dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci oleh Allah menuju yang diridhai-Nya, kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya dan kembali taat setelah menentang-Nya. Searti dengan kata taba adalah anaba dan aba. Orang yang taubat karena takut azab Allah disebut thaib, bila karena malu disebut munib, dan bila karena mengagunggkan Allah SWT disebut awwab.
Lima Dimensi Taubat
Taubat yang sempurna harus memenuhi lima dimensi:
1.      Menyadari kesalahan.
2.      Menyesali kesalahan.
3.      Memohon ampun kepada Allah SWT (istighfar).
4.      Berjanji tidak akan mengulanginya.
5.      Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh.


Ket : Tugas paper Agama Islam 1, Pak Asep Purnama

Monday, January 10, 2011

Pengertian : Aqidah

A. Pengertian Aqidah
            Secara etimologis (lughatan), aqidah adalah keyakinan, yaitu keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikatdan mengandung perjanjian. Secara termilogis (ishthilahan),terdapat beberapa definisi, antara lain :
  1. Menurut Hasan Al-Banna
“Aqa’id (jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.”
2.   Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
      “Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia bedasrkan akal, wahyu dan fithrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hatiserta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenarannya itu.”
      Untuk lebih memahami kedua defenisi di atas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan, sebagai berikut :
  1. Ilmu terbagi dua: yaitu dharuri dan nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerluka dalil disebut dharuri. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil ialah nazhari. Diantara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang yang sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi dalil disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenerannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umumdan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian.
  2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebeneran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang bener dan yang salah.
  3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikit pun dengan keraguan. Sebeum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengaami ebih dahulu pertama: syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menoaknya. Kedua zhan: salah satu lebih kuat daripada yang lainnya karena ada dalil yang menguatkannya. Ketiga: ghalabatuz zhan: cenderung lebih menguatkan sesuatu karena sudah menyakini dalil kebenerannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.
  4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja pura-pura menyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus meaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.
  5. Bila seseorang sudah menyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bias menyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
  6. Tingkat keyakinan aqidah seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil.
B. Beberapa Istilah Lain Tentang Aqidah
  1. Iman
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sebenarnya masalahnya tergantung dari definisi iman. Kalau kita mengikuti definisi iman menurut jamiah dan asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan didalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah ‘itiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti defenisi iman menurut ulama salaf( termasuk Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i) yang mengatakan bahwa iman adalah :
“sesuatu yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh.”
  1. Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Allah. Ajaran tauhid adalah tema central aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.
  1. Ushluddin
Artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga Ushluddin karena aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama islam.
  1. Ilmu Kalam
Kalan artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamai dengan Ilmu Kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang Al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang yang berdosa besar, kafir atau tidak. Dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara berpikir rasional dan filsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama islam.
  1. Fikih Akbar
Arinya fikih besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fikih, tentu, dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.
C. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
            Meminjam sistematika Hasan Al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
  1. Illahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah dan lai-lain.
  2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang pembahasan kita-kitab Allah, mu’jizat, keramat dan lain sebagainya.
  3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syaitan, roh dan lain sebagainya.
  4. Sam’iyyat. Yaitu penbahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli yang berupa Al-Qur’an dan Hadits) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga-neraka dan lain sebagainya.
Disamping sistematika diatas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman.
D. Beberapa Kaidah Aqidah
  • Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakini adanya, kecuali bila akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu.
  • Keyakina, disamping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bisa melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
  • Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera mata.
  • Seseorang hanya bisa mengkhayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
  • Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu.
  • Iman adalah fithrah setiap manusia.
  • Kepuasan materiel didunia sangat terbatas.
  • Keyakinan tentang hari akhirat adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.
Ket : Tugas paper Agama Islam 1, Pak Asep Purnama

Saturday, January 8, 2011

Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia


Pendahuluan
Otonomi Daerah menjadi gagasan memikat setelah pemerintahan Orde Baru mengalami kebangkrutan. Ia diyakini sebagai formula mengakhiri permasalahan dan ketidak-harmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia post-kolonial. Memang, pada era reformasi, sistem sentralistik yang selama tiga dasawarsa tahun menjadi andalan pemerintahan Soeharto telah kehilangan sakralitas antara lain karena dinilai turut berkontribusi atas disparitas pembangunan yang berujung pada krisis kebangsaan multidimensional. Maka tidak mengherankan apabila sesaat setelah pemerintahan Soeharto berakhir, antitesa sistem sentralistik, yakni pemerintahan desentralisasi mendapat dukungan luas dari publik Indonesia.
Maka segera setelah mendapatkan mandat untuk menggantikan Soeharto, Presiden B.J. Habibie menerbitkan UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, guna meresponi tuntutan penerapan desentralisasi pemerintahan. Bagi publik Indonesia, penerbitan kedua UU tersebut merupakan penanda bagi impementasi reformasi radikal sistem pemerintahan di Indonesia terutama dalam mengelola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang tersebut merupakan landasan hukum penerapan sistem otonomi daerah di Indonesia. Setelah tujuh tahun otonomi daerah diberlakukan di Indonesia kiranya menarik menganalisa bagaimana implementasinya di lapangan. Bagian berikut akan memotret kilas-balik implementasi otonomi daerah di Indonesia, dengan mengambil studi kasus Kabupaten Rokan Hilir. Pemaparan difokuskan pada kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Rokan Hilir terkait dengan implementasi otonomi daerah. Pemilihan Kabupaten Rokan Hilir sebagai fokus perhatian antara lain mengingat daerah ini adalah kabupaten baru dengan pendapatan asli daerah (PAD) cukup besar. Jadi, secara teoritis kabupaten ini dinilai cukup memungkinkan mengimplimentasikan desentralisasi darah secara maksimal.

Kilas Balik Otonomi Daerah di Indonesia
Politik desentralisasi di Indonesia masa kolonial sesungguhnya sudah dilaksanakan sejak masa Hindia Belanda. Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan otonomi daerah sudah lahir pada tahun 1903. Tujuannya untuk mencapai efesiensi birokrasi, mengurangi beban administrasi, dan menyertakan elemen rakyat dalam pemerintahan lokal. Dalam kenyataannya, praktek desentralisasi menurut UU tahun 1903 hanya bersifat administrative decentralization, karena pelaksanaannya di lapangan tetap dilakukan oleh pejabat yang merupakan perpanjangan pusat. UU tahun 1903 kemudian digantikan oleh UU tahun 1922 mengenai desentralisasi yang berlangsung sampai masa pendudukan Jepang tahun 1942. Pada masa Indonesia post-kolonial, UU yang berkaitan dengan desentralisasi antara lain UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957, UU Nomor 5 tahun 1960, UU Nomor 19 tahun 1965, Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 dan UU Nomor 5 tahun 1974.
Hampir seluruh UU yang ada dalam sejarah pemerintahan Indonesia modern tidak ada yang berjalan sebagaimana mestinya. Pelimpahan wewenang dan kekuasaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah mengalami kemandekan. Beberapa UU justru terkesan “melegalkan” semangat sentralistik. Dua “gaya” pemerintahan yang diterapkan sebelum reformasi-Orde Lama dan Orde Baru- ada kemiripan hanya berbeda bentuk dan pelaksanaannya saja. Namun semangatnya tetap sama: sentralistik dan otoritarian. Bedanya, Orde Lama lebih mengedepankan semangat revolusioner, sedangkan Orde Baru lebih mengedepankan slogan-slogan pembangunanisme. Rezim Orde Baru sedikit terbukti menguasai sistem pemerintahan selama lebih dari tiga kadawarsa, paradigma otoriter dan sentralistik dijadikan instrumen kekuasaan yang efektif.
Paradigma ini diimplementasikan dalam dua bentuk. Pertama, sentralisasi kekuasaan merupakan prakondisi bagi stabilitas politik yang menjadi condition qua non bagi suksesnya pembangunan nasional. Kedua, sentralisasi dalam retribusi dan pengelolaan kekayaan nasional yang “diyakini” akan menjamin terciptanya pemerataan dan keadilan antar dearah. Implemetasi paradigma sentralistik itu di bidang politik dan pemerintahan telah melahirkan permasalahan yang sangat akut. Sebelum otonomi daerah diberikan secara penuh pada era reformasi, birokrasi pada tiap level pemerintahan daerah kental dengan istilah-istilah “penguasa tunggal”. Istilah ini, paling tidak, mengandung dua makna. Pertama, nuansa otoritarianisme memang diberi ruang untuk kepala daerah. Indikasi ini bisa dilihat pada ketidakberdayaan institusi kontrol, baik yang berasal dari DPRD, maupun kelompok-kelompok “oposisi” di luar institusi formal. Kedua, kepala daerah, baik tingkat I maupun tingkat II, lebih berperan sebagai wakil Pemerintah Pusat daripada Pemerintah Daerah itu sendiri. Artinya, penyerapan aspirasi masyarakat kurang dianggap urgen. Petunjuk dari pusat, seperti istilah petunjuk teknis, petunjuk pelaksana, lebih diutamakan dan melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dari sejumlah UU yang berkaitan dengan otonomi daerah selama Orde Baru, UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah merupakan pilot project desentralisasi. Ia dimaksudkan untuk menitikberatkan otonomi pada daerah tingkat kabupaten/kota madya. Namun demikian, pelaksanaannya tersendat-sendat, lamban, bahkan dalam beberapa hal mengalami dampak kemunduran. Dalam pelaksanaannya, daerah otonom sekaligus dijadikan daerah administrasi. Konsekuensi pembauran terhadap sistem ini adalah pimpinan Pemerintahan Daerah sekaligus menjadi Kepala Wilayah. Kedudukan Kepala Wilayah merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Peran kepala daerah sebagai alat kontrol pusat menjadi lebih dominan dibanding kedudukannya sebagai Kepala Daerah. Kebijakan tersebut disadari oleh pemerintah kurang mendatangkan hasil maksimal apabila diukur berdasarkan tujuan-tujuan otonomi pemerintahan, kesejahteraan dan pemerataan.
Oleh karena itu, pada tahun 1995 Pemerintah Pusat mencoba mendesain otonomi daerah percontohan di 26 kabupaten seluruh Indonesia. Malangnya, implementasi kebijakan ini di lapangan lagi-lagi tidak seperti diharapkan. Sebagian besar instansi vertikal tidak mau menyerahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Artinya, kesungguhan untuk menjalankan otonomi memang belum muncul, semangat sentralistik tetap kuat melekat di sanubari pemerintah pusat. Sementara itu, paradigma yang dikedepankan Orde Baru adalah pembangunan ekonomi dalam wujud growth (pertumbuhan). Secara statistikal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu memang cukup mengesankan, sekitar 7 persen. Akan tetapi, pertumbuhan itu tidak disertai dengan pemerataan dan pembentukan fondasi ekonomi yang kuat. Akibat kurangnya pemerataan, ketidakpuasan terhadap pusat semakin membesar. Sementara tanpa fondasi ekonomi yang kuat, stabilitas makro ekonomi mudah runtuh. Krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 menjadi indikasi bagi kegagalan paradigma ekonomi sentralistik tersebut. Implikasinya pada berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan begitu massif. Krisis dan keterpurukan bangsa dan negara Indonesia jelas derita rakyat. Namun dibalik itu, ada hikmah positif, blessing in disguised. Ide-ide segar dan pemikiran mendasar menginginkan “reformasi total” dalam seluruh aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Menurut Koswara (2002), fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan pemerintahan.
Good governance menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan transparasi, kejujuran, keadilan, orientasi kerakyatan dan akuntabilitas publik. Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, reformasi total ini memberi dampak pada pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisme ke arah sistem yang desentralistik. Sifat pemerintahan semacam ini memberikan keleluasan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat lebih ditekankan. Tujuannya adalah pemerataan dan keadilan menurut kondisi, potensi dan keanekaragaman masing-masing daerah. Dua hal pokok yang merupakan puncak dari pelaksanaan otonomi daerah adalah retribusi kewenangan di bidang pemerintahan dan fiskal. Kedua persoalan itu dituangkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999, otonomi daerah dititik beratkan pada daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom dan tidak dirangkap dengan wilayah administrasi.
Kepala Daerah semata-mata menjadi “alat daerah” dan tidak lagi merangkap sebagai “alat pusat”. Penetapan dan pemilihan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah di mana DPRD memilih tanpa campur tangan Pusat. Posisi Pemerintah Pusat hanya mengesahkannya sesuai pilihan DPRD. Konsekuensinya, kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat, tetapi kepada DPRD. Makna lain yang terkandung di sini adalah adanya pemisahan secara tegas fungsi antara eksekutif dan legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat. DPRD dan Kepala Daerah menjadi mitra sejajar. Kesejajaran dan menjadi mitra dimaksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis antara eksekutif dan legislatif. Berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, efektifitas kontrol legislatif terhadap eksekutif begitu ketat sehingga peluang penyelewengan kekuasaan eksekutif makin sempit. Hal ini dapat dilihat dalam UU tersebut pada pasal 18 tentang tugas dan wewenang DPRD, pasal 19 tentang hak DPRD, pasal 20, 21, 22 dan 23. Adapun yang berkaitan dengan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah makin diperluas, khususnya dalam penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure). Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, sistem kebijakan fiskal menyangkut transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu berbentuk Sumbangan Daerah Otonom (SDO) dan INPRES. Kelompok pertama merupakan transfer yang realitasnya digunakan untuk membayar seluruh belanja pegawai daerah, sedangkan kelompok kedua merupakan transfer yang menjadi kewenangan Presiden ke Dati I, Dati II dan Desa. Namun demikian, jika kedua bentuk transfer tersebut dirinci terbukti bahwa pada hakekatnya, SDO merupakan dana block grant, sedangkan INPRES bagian dari mana specific grant. Sementara itu, berkaitan UU Nomor 25 tahun 1999, penerimaan daerah terdiri dari: a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang umumnya bersumber dari pajak daerah, retribusi dan laba BUMD. b) Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana BPHTB, Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana Alokasi Khusus (DAK). c) Pinjaman Daerah.
Meski UU No 22 dan 25 Tahun 1999 dinilai solusi maksimum dalam mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun disadari bahwa kedua undang-undang tersebut lahir dalam situasi turbulensi (siatuasi darurat) bidang politik, ekonomi, dan budaya. Meresponi hal tersebut, maka satu tahun setelah UU tersebut lahir, keluarlah Katetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dan selanjutnya, sebagai sebuah upaya memperbaiki kekurangan UU No 22 Tahun 1999 tersebut pemerintah menerbitkan UU No 32/2004 dan UU No 33/2004, yang diundangkan pada 15 Oktober 2004. Terdapat beberapa perbedaan UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004, meski kedua UU tersebut sama-sama lahir pada era reformasi dan didasari sebagai antitesa sistem sentralistik pemerintah Orde Baru. Sadu Wasistiono (2005:188-190) mencatat beberapa perbedaan antara kedua UU tersebut. Tabel berikut ini mengemukakan sebagian perbedaan-perbedaan antara kedua UU tersebut sebagaimana dikemukakan Sadu Wasistionos.*

*Ket : Tugas paper mata kuliah Pengantar Ilmu Politik & Pemerintahan, Bu Sri Djoharwinarlien.

Friday, January 7, 2011

Pancasila Dalam Perspektif Historis

Era BPUPKI & PPKI: Pertentangan Ideologi Nasionalis vs Islam
Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut –semula- disambut gembira oleh rakyat Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat.
Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk mengganti untuk sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu, pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya. Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea mereka tentang nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan. Bahkan setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai oleh empat serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda),Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heihoyang terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang melawan Sekutu.
‘Kekalahan’ Jepang secara beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi militer di Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan pengamatannya kesengsaraan bangsa Indonesia di bawah pemerintah Tentara Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944, Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat.
            Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai yang disebut kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29 April 1945, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Pengangkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam diskusi-diskusi.
            Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.
Dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini ?’.  Pertanyaan ini menjadi persoalan yang paling dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan dalam rentang waktu tersebut hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka misalnya Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo yang secara argumentatif mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang memberikan jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato kemudian diterbitkan dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta, pidato Soekarno itu dikatakan sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Awal munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai dasar negara. Harus diakui terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI. Yang mengedepan di antaranya adalah posisi-posisi dari mereka yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler, dan mereka yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Perdebatan yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional antara para anggota adalah usul agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang merupakan suatu modus atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’.........dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal. UUD yang akhirnya diterbitkan tidak berisi konsesi-konsesi kepada posisi Islam sebagaimana dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa Presiden harus Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan ketujuh kata tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk menghilangkan acuan kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir bahwa Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Republik kesatuan bila negara baru ini dirasakan mendukung Islam an sich, walau secara tidak langsung sebagai dasarnya.
Pencoretan tujuh kata inilah yang menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Sukarno dan Mohammad Hatta, yang pada akhirnya menjadikan problem ideologis ini menimpa pula masa pemerintahan Suharto.  Pergulatan awal inilah yang menjadi problem pertentangan pilihan ideologi yang menjadi sumber ‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, kondisi ini ternyata tidak bisa diakhiri secara elegan, bahkan semakin lama menyimpan sejumlah persoalan yang berakhir dengan ketegangan-ketegangan ideologi, dari sejak awal negara Indonesia dibentuk sampai sekarang ini. Benar bila Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang ‘terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan akhir-akhir ini utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk memunculkan kembali Piagam Jakarta semakin mengedepan dalam konstelasi perpolitikan nasional. Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan Islam, menjadi pilar utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dengan demikian melihat pada perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh Paniyia Sembilan dan kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus, Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi modus kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara. Di atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan, dan selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik Indonesia.
Era Orde Lama :
Dinamika Perdebatan Ideologis
Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam tersebut.
Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara.
Kekhawatiran Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari ‘ancaman Islam’. Bahkan atas desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun 1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha menggulingkan pemerintahan.
Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Era Orde Baru (1965-1985):
Awal dari Sebuah Legitimasi Kekuasaan
            Peristiwa percobaan kudeta 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas ‘kesaktian’ Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak berhasil dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan ideologi negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad Lentjen Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah sejarah baru bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde Baru).
            Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
            Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
            Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila –kemudian- menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
            Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
            Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS telah berhasil membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
            Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945.
            Pada ulang tahun kedua puluh ‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden Soeharto dan Adam Malik mengucapkan pidato-pidato yang menegaskan pendasaran legitimasi Orde Baru kepada Pancasila. Pancasila dianggap melegitimasi Orde Baru, membenarkan penurunan Sukarno, mendelegitimasi Islam (sebagai kekuatan politik) dan komunisme, serta menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Indonesia melalui peningkatan kemakmuran nasional. Kedua tokoh sentral Orde Baru tersebut menolak demokrasi liberal, yang pernah dijalankan oleh Orde Lama dengan UUD 1950-nya, karena dianggap sebagai ‘penyelewengan’ dari tujuan asli Pancasila. Menurut Orde Baru, Sukarno benar, ketika dia menolak sistem demokrasi parlementer dan membubarkan Konstituante serta menerapkan Demokrasi Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno terhadap Pancasila adalah karena ia memberi dorongan kepada PKI, yang jelas anti-Pancasila, karena komunisme tidak sesuai dengan asas pertama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
            Pernyataan tegas dan sering diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto adalah ‘perjuangan dan keyakinan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen ?’. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
            Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila –dengan demikian- tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat.
            Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik, Adam Malik mengatakan bahwa karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada kepentingan nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
            Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif –meminjam istilah Althuser- seperti presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
            Douglas E. Ramage mengatakan bahwa meskipun penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)’. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat.
Selama pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, faksi NU dalam PPP melakukan protes dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones, pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
Semenjak itu, Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung partai Golkar, sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI –dengan demikian- harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila.

            Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.

            Apa yang dilakukan Soeharto tersebut memperoleh kecaman dan menimbulkan cetusan perlawanan keras dan hidupnya kembali perdebatan mengenai Pancasila. Kelompok lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi 50’) menyerang Soeharto dalam suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila. Reaksi tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde Baru, terutama faksi NU dari PPP.
            Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya. Menurut William Liddle menjelaskan mengapa asas tuinggal itu demikian penting bagi Orde Baru:
            Pemerintah memandang islam sebagai satu-satunya kekuatan sosial yang belum berhasil ditundukkan, belum bersedia menerima gagasan pemerintah tentang pemegang kekuasaan tertinggi. Diterimanya doktrin negara Pancasila oleh umat Islam merupakan simbol dari pengakuan. Penerimaan ini juga memberikan legitimasi kepada kendali pemerintah yang semakin ketat terhadap kehidupan organisasional umat Islam.
Bahkan, pada bulan Mei 1982 Wakil Presiden Adam Malik dengan tegas menunjuk Islam politik sebagai sasaran utama pemerintah:
Kita harus menghindari perdebatan tentang ideologi dan agama....Dalam kampanye (pemilu 1982) saya telah menekankan bahayanya memecah dan mempolarisasi diri kita sendiri menuruti garis agama. Disengaja atau tidak, partai Islam telah mengeksploitasi perasaan-perasaan keagamaan rakyat. Ini tidak benar dan bisa membahayakan, suatu cara untuk memecah belah rakyat.
Peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada bulan September 1984 merupakan puncak ketegangan (politik-ideologis) antara kekuatan Islam versus Pancasila. Hal ini dikarenakan adanya persepsi dalam sebagiankomunitas Islam bahwa negara memakai Pancasila sebagai alat ideologis untuk menindas Islam politik. Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh serangkaian pengeboman pada bulan Oktober, yang menurut pemerintah dilakukan oleh ekstremis Islam anti-Pancasila di pusat kota Jakarta. Anggota-anggota Petisi 50, termasuk Mayjen (Purn) Dharsono, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi (anti-Pancasila) karena menghasut peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta.
Pada era 1990-an, kekuasaan Orde Baru semakin memperoleh hati di masyarakat dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan. Bank Dunia, dalam suatu laporan September 1993 yang dikutip The East Asian Miracle menunjuk Indonesia sebagai suatu ‘ekonomi Asia Timur yang berkinerja tinggi’ dan meramalkan bahwa negara ini akan memasuki bangsa-bangsa yang ber-income-menengah menjelang peralihan abad. Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an tentang peningkatan besar dalam GNP dan pendapatan per kapita pada kenyataannya telah dipenuhi. Standar kehidupan rakyat telah membaik secara dramatis. Realitas ini semakin menguatkan citra Orde Baru dihadapan rakyatnya. Bahkan telah berhasil membangun imagetentang kebobrokan ekonomi Orde Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru. Kebobrokan ekonomi Orde Lama disebabkan karena ‘terlalu sibuk’ melakukan perdebatan panjang tentang ideologi negara, bahkan cenderung melakukan penyelewengan atas Pancasila. Artinya, bagi Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi penyelewengan tersebut adalah kondisi perekonomian yang kacau dan ketidakstabilan politik.
Era ini ditandai dengan adanya kemesraan antara pemerintahan Orde Baru dengan kekuatan Islam, bahkan dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bulan Desember 1990. Kemesraan tersebut seolah menandai berakhirnya konfrontasi ideologi antara kekuatan Islam dengan Pancasila. Stabilitas politik pada era ini telah menjamin terselenggaranya pembangunan secara bertahap dan membaiknya pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri Bintang Pamungkas, tokoh PPP (saat itu) dan pengurus ICMI justru mempersoalkan adanya penyelewengan Pancasila utamanya tentang asas keadilan sosial yang tidak terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Era Reformasi :
Antara Demokrasi dan Anarkhi
Penyelewengan masa Orde Baru pada akhirnya berakibat pada gelombang besar reformasi yang telah berhasil menggulingkkan kekuatan Orde Baru, Mei 1997, dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun menjadi presiden. Munculnya reformasi seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dikatakan sebagai pemerintahan korup dan menindas, dengan konformitas ideologinya. Pada era ini, kemudian berkembang secara pesat keinginan untuk ‘mengkhayalkan’ terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara. Persoalannya adalah justru lepas kendalinya kekuatan masyarakat sipil dari ‘kooptasi’ negara secara bebas dari awal dari tragedi besar dan konflik-konflik berkepanjangan yang menandai munculnya jaman baru tersebut. Tampaknya era ini seperti mengulang problem perdebatan ideologis yang terjadi pada era Orde Lama, dan awal Orde Baru yang berakhir dengan instabilitas politik dan ekonomi secara mendasar. Jatuhnya Orde Baru yang sejak awal mengidentifikasikan sebagai –satu-satunya- pendukung Pancasila, seolah menandai munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar atas kekuatan Pancasila sebagai sebuah ideologi. Tulisan dibawah ini mencoba menggagas ulang sekaligus meneguhkan kekuatan Pancasila sebagai ideologi, dan memberikan spirit nilainya bagi pembentukan masyarakat sipil di Indonesia, agar kesalahan sejarah tidak terulang lagi
(Sumber : Buku (De) Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila, Listiyono Santoso, Heri Santoso dan Soedarso, 2003, Penerbit Ning-Rat Press, Yogyakarta)