Tuesday, April 19, 2011

Peran Islam dalam Perkembangan IPTEK


Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pengantar Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Subhanallah…
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning).
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian. Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119). Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan: “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.” (Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166). Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. sl-‘Alaq 96: 1). Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` 4: 126).“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq 65: 12).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran 3: 190). Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12). Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` 4:126 dan Qs. ath-Thalaq 65: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh 71: 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat 41: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu. Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits.
Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak.
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Standar pemanfaatan iptek menurut barat adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama. Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya:“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf 7: 96). Wallahu a’lam.
http://dyuliastuti.blogspot.com

Tuesday, April 12, 2011

Pengertian Partai Politik Lokal

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang partai politik lokal bahwa yang dimaksud dengan partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita yang memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
Berdasarkan Undang-undang  Nomor 11 Tahun 2006  tentang Pemerintahan Aceh yang khusus mengatur tentang Aceh bahwa, penduduk Aceh dapat membentuk partai lokal oleh warga sekurang-kurangnya 50 warga Negara Indonesia yang berusia 21 Tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan mempertahatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Partai Lokal adalah suatu organisasi politik yang didirikan atas dasar persamaan cita-cita, nilai, dan orientasi yang sama dalam lingkup kedaerahan, partai politik lokal ini dibentuk sebagai wadah dalam menyerap dan menghimpun aspirasi masyrakat daerah (lokal) sebagai partisipasi politik ditingkat daerah.
Dengan adanya  dua dasar hukum tersebut, maka dengan begitu memunculkan hiphoria politik bagi masyarakat Aceh, hal ini terlihat dari banyaknya partai lokal yang ikut mendaftar di kantor kementerian dan HAM (Hak Asasi Manusia) tingkat Provinsi, tercatat sepuluh partai lokal yang mendaftar yaitu: Partai Aceh (PA), Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Aman Seujahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA), Partai Geuneurasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Tagwa (GABTHAT), Partai Darussalam (PD), dan Partai Lokal Aceh (PLA), namun dari kesepuluh partai lokal yang mendaftar hanya enam partai lokal yang lolos dari verivikas yaitu: Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA),Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS).
Keenam partai ini yang kemudian ikut dalam pemilihan legeslatif pada Tanggal 09 April 2009. Dan berikut adalah profil keenam partai tersebut :
1. Partai Aceh
Partai ini merupakan tranfromasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lahir dari rahim MOU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI. Militansi, basis dukungan masyarakat terutama di daerah pantai timur Aceh yang meliputi Pidie sampai Aceh Timur dimana calon dari mereka berhasil memenangkan pilkada tahun 2006 (kecuali Aceh Tamiang dan Kota Langsa). Dan partai inilah yang keluar sebagai pemenang pemilu 2009 dengan perolehan suara sebanyak 1.007.173 (43,9%) suara. Partai ini bernomor urut 39

2. PAAS
Ghazali Abbas Adan yang merupakan politisi senior Aceh menjadi sosok yang dapat menarik masyarakat Aceh untuk memilih PAAS. Mantan politisi PPP dan PBR ini pada pilkada 2006 lalu memperoleh 7% suara rakyat Aceh. Partai ini bernomor urut 35

3. Partai Bersatu Aceh
Partai berwarna dasar biru tua dengan lambang peta daerah Aceh dengan bingkai bintang ini digawangi oleh Ahmad Farhan Hamid yang juga anggota DPR RI Aceh dari Partai Amanat Nasional. Nampaknya figur Farhan menjadi andalan partai ini untuk meraup suara pada pemilu. Partai ini bernomor urut 40


4. Partai Daulat Aceh
Partai ini didirikan oleh para ulama Dayah (pesantren Tradisional Aceh) yang peduli dengan penegakan syariat Islam di Aceh. Ketaatan kepada para guru dan pemimpin pesantren, dan dukungan santri di beberapa daerah di Aceh menjadi modal penting PDA meraih kesuksesan. Pada pemilu 2009 di Aceh PDA menjadi satu-satunya partai politik lokal yang menyaingi PA, walaupun hanya memperoleh 1 kursi dengan suara 39.706 (1,85 %). Partai ini bernomor 36

5. Partai Rakyat Aceh
Partai yang digawangi aktivis mahasiswa 98 yang peduli akan nasib rakyat ini mengandalkan intelektual kader dan militansi kadernya agar dapat sukses pada pemilu 2009. Proses penyadaran rakyat akan hak-hak dasarnya menjadi basis gerakan partai. Partai Anak Muda berlambang bintang merah ini bernomor urut 38.

6. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)
Aktivis mahasiswa yang mendukung dan mengkampanyekan referendum di Aceh pada awal masa reformasi dan darurat militer di Aceh bertranformasi menjadi sebuah partai pasca Mou Helsinski dan Pilkada 2006 menjadi sebuah Partai. Gerakan ini berhasil mendudukan para aktivisnya pada posisi-posisi strategis di pemerintahan Aceh dan akan terus berjuang untuk Aceh yang lebih baik. Pada pemilu 2009 partai SIRA termasuk ke 10 besar partai peraih suara tertinggi di aras lokal yaitu dengan suara 38.157 (1,78 %), walaupun begitu partai ini gagal mendapatkan kursi. Partai ini bernomor urut 37.

Friday, April 8, 2011

Wacana Calon Presiden Independen di Indonesia

A. Latar Belakang Masalah
Buruknya kinerja partai politik Indonesia dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang cakap baik di tingkat daerah maupun pusat menyebabkan citra partai politik di mata rakyat semakin merosot. Rakyat tidak lagi percaya bahwa partai poitik mampu memberikan solusi atas krisis kepemimpinan yang terjadi. Partai politik gagal melahirkan pemimpin-peminpin bangsa yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis, partai politik justru turut berkontribusi dalam mencetak pemimpin-pemimpin yang korup. Selain itu partai politik juga tampaknya tidak membuka kesempatan yang luas bagi semua kalangan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin melalui mekanisme partainya.
Oleh sebab itulah muncul wacana di dalam masyarakat bahwa pemimpin Indonesia (Presiden) tidak harus berasal dari partai politik. Beberapa kalangan mulai berpikir bahwa calon independen merupakan alternatif untuk melahirkan pemimpin selain parpol. Pemimpin Indonesia dapat berasal dari mana saja dan institusi apa saja, yang penting adalah orang tersebut mampu membawa perubahan yang lebih baik pada bangsa ini. Apakah dia berasal dari partai A, Institusi B, ataupun dari ras C tidak lagi merupakan sesuatu yang dapat menjamin bahwa calon tersebut dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Jika ditanya apa itu presiden independen, maka secara bebas kita dapat mengartikan Calon Presiden Independen adalah seorang warga negara yang mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada pemilihan presiden dengan tidak atau melalui partai politik. Calon Presiden independen dapat mencalonkan diri secara perorangan atau maupun dari suatu institusi non partai. Hal ini tergolong baru di Indonesia dimana pada pemilu-pemilu sebelumnya seluruh Presiden atau Calon Presiden merupakan anggota ataupun pemimpin partai politik. Mulai dari Soekarno dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), Soeharto yang didukung Partai Golkar (Golongan Karya), Abdurrahman Wahid dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Megawati Soekarno Putri didukung PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), serta Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh PD (Partai Demokrat).


B. Pembahasan
Wacana pencalonan calon presiden independen kembali muncul di ranah politik Indonesia menjelang Pemilu 2014. Wacana ini sendiri sempat muncul ketika menjelang Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 yang lalu, pada saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) diusulkan untuk menguji materi UU N0.42 tahun 2008 terkait syarat pencalonan presiden, akan tetapi Mahkamah Konstitusi menolak uji materi UU N0.42 tahun 2008 tersebut. Dan kali ini Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan adanya perubahan draf kelima Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden bisa dari calon perorangan (calon independen). Draf amandemen yang dilansir Februari 2011, dalam Pasal 6A bagian kedua disebutkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berasal dari usulan partai peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Usul itu sesuai dengan prinsip demokrasi terkait dengan pengakuan atas hak-hak warga untuk bisa bersaing sebagai calon presiden dan calon wakil presiden meski tanpa kendaraan partai.
            Disatu pihak, wacana calon presiden independen dikatakan adalah suatu hal yang dianggap mampu meningkatkan kualitas demokrasi dan juga tingkat partisipasi masyarakat di Indonesia, sedangkan satu pihak yang lain mengatakan bahwa wacana calon presiden independen hanya akan merusak tatanan demokrasi yang sudah ada di Indonesia. Dan perdebatan antara dua pihak yang ini menjadi sebuah wacana yang membingungkan Publik.
            Menurut pimpinan Kelompok Kerja Amandemen UUD DPD, Bambang Suroso, kata perseorangan diakhir kalimat pada Pasal 6A tersebut bertujuan untuk mengakomodasi capres dan cawapres dari perseorangan. Hal itu dibuat untuk mewujudkan demokratisasi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Calon perseorangan diakomodasi seiring dengan perubahan paradigma kekuasaan legislatif bahwa presiden tidak akan hanya berhubungan dengan DPR melainkan juga DPD. Kedua lembaga tersebut memeiliki kewenangan yang relatif sejajar. Misalnya, kedua lembaga berhak untuk mengusulkan pemakzulan presiden.
            Proses pengkajian amendemen UUD telah melalui proses verifikasi dan juga telah dikaji secara ilmiah oleh hampir 75 perguruan tinggi besar di Indonesia. Selain itu, usul perubahan UUD tersebut merupakan aspirasi dari hampir semua stakeholder yang ada dari setiap daerah. Para stakeholder tersebut menginginkan agar calon presiden perseorangan juga menjadi bagian dari proses demokratisasi di Indonesia, calon presiden independen bukan bertujuan untuk menghalangi partai politik untuk berkiprah dalam pemilu, akan tetapi usulan capres independen bertujuan baik, yaitu untuk mengakomodir putra-putri terbaik bangsa yang ingin bertarung dalam pilpres, akan tetapi merek tidak mempunyai partai politik untuk mengusung mereka untuk mengikuti pilpres.
Ketua Panitia Kerja Pendalaman Materi Usulan Perubahan kelima UUD 1945 DPD, John Pieris mengatakan, usulan mengenai capres dan cawapres perseorangan didasarkan tiga pertimbangan utama. Pertama, sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang memiliki makna bahwa setiap WNI memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres, asal memenuhi persyaratan. Kedua, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945 dan bukan berada pada parpol. Ketiga, negara lain juga mengakomodasi calon presiden dari unsur perseorangan atau "independen".
            Kemudian, menurut Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Idrus Marham secara tegas menolak adanya capres perorangan. Usulan capres independen, menurut Idrus hanya kepentingan sekelompok orang saja. “Jangan kita mengamandemen Undang-Undang Dasar karena ada kepentingan. Wacana capres independen ini kan kepentingan sekelompok orang saja,” katanya. Idrus menambahkan, yang harus dilakukan sekarang ini adalah bagaimana menata sistem politik dan kinerja partai politik agar lebih baik. “Yang harus kita lakukan adalah memperkuat kinerja Parpol, bukan amandemen UU. Itu berarti bongkar pasang. Sementara, yang harus kita usahakan adalah menata, atau memperbaiki. Jangan lagi kita mengambil langkah hanya aksi reaksi saja. Dan jangan bicara kepentingan diri,” katanya.
Kemudian, efek yang akan ditimbulkan akibat munculnya calon presiden independen di tengah lemahnya sistem presidensial sekarang ini akan menyebabkan deparpolisasi. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang menghilangkan kepercayaan publik atas partai. Dalam leksikon ilmu politik, gejala ini bisa dilihat dari dua dimensi penghubung pemilih dengan partai: identifikasi diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional). Demikian Biorcio dan Mannheimer (1995: 206-26). Artinya peran parpol akan semakin kecil bahkan mulai ditinggalkan orang. Kondisi itu mengingkari demokrasi yang dibangun dengan semangat reformasi setelah tahun 1998.
            Kemudian selain implementasi yang sulit, sudah ada persyaratan yang jelas mengenai capres yakni, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara minimal 20 persen pada pemilu legislatif.
            Menyingkapi permasalahan calon presiden independen, saya pribadi berada di pihak yang kontra terhadap akan diberlakukannya kebijakan tersebut. Ketidak setujuan saya sangat beralasan, yaitu, di Amerika Serikat yang sudah membolehkan adanya sistem calon presiden independen sendiri pun, calon presiden independen tidak pernah menang dalam pilpres, hal itu disebabkan karena pamor calon presiden di dalam konvensi partai jauh lebih populer dibanding calon independen.
Kemudian, pencalonan Presiden secara independen juga mempuyai banyak kelemahan. Kelemahannya antara lain:
  • Calon independen harus bekerja lebih keras diakibatnya tidak adanya suatu institusi yang dapat mendukung mereka. Para calon independen praktis bekerja sendiri untuk memenangkan dirinya tanpa bantuan partai politik karena memang calon tersebut tidak didukung partai politik.
  • Jika nantinya terpilih, calon independen akan sulit menjalankan roda pemerintahan karena terbukanya peluang bagi DPR yang merupakan kumpulan anggota partai politik untuk menjegal kebikan-kebijakan pemerintah. Hal ini diakibatkan tidak adanya partai politik yang mendukung pemerintah di DPR.
  • Calon independen akan kesulitan dalam bersaing dengan calon-calon dari partai politik terutama partai politik besar yang sdah jelas telah memiliki banyak pengalaman dalam pemilihan Presiden.
  • Kelemahan lain adalah jika calon independen terpilih menjadi Presiden nantinya sangat dimungkinkan lemahnya kontrol terhadap presiden. Hal ini dikarenakan Presiden tersebut bukanlah orang atau anggota partai sehingga partai-partai tidak lagi dapat melakukan kontrol secara langsung. Partai hanya dapat mengontrol dari DPR yang bertindak sebagai oposisi terhadap pemerintah.
Sebenarnya dari beberapa hal menyangkut kelemahan dari calon presiden independen yang disebutkan diatas, pernah terjadi ketika kepala-kepala daerah yang maju sebagai calon independen dan memenangkan pemilukada, mereka kesulitan dalam menyusun program kerakyatan yang berbasis pada APBD, hal tersebut terjadi karena mereka tidak mempunyai komunikasi politik dan juga basis dukungan di dalam parlemen, karena orang yang duduk di parlemen adalah anggota atau kader dari partai politik.
Maka dengan begitu, rekomendasi terbaik yang dapat saya berikan terhadap problematika calon presiden independen adalah bahwasanya ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik harus segera diobati, partai politik harus bisa untuk segera menyelamatkan partai dari krisis deparpolisasi, parpol harus segera berbenah diri melakukan suatu perubahan yang signifikan agar mampu merubah opini publik terhadap kinerja buruk yang ditampilkan oleh partai politik, maka dengan begitu wacana calon presiden independen yang muncul ke publik akan hilang dengan sendirinya, karena kepercayaan publik terhadap partai politik akan kembali dengan sendirinya. Kemudian perlu dicatat juga bahwa dalam menjalankan perannya sebagai pemerintah nanti, partai politik harus bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukannya memperjuangkan kepentingan internal organisasi mereka.*
ket : tugas makalah Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal

Term of Reference diskusi kelas : Pentingnya Diadakan Pemilukada Langsusng Untuk Menentukan Pemimpin Daerah

Latar Belakang
Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik, termasuk pemilihan pejabat publik pada tingkat lokal (kepala daerah). Jadi dengan kata lain sebagus apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dengan cara yang terbuka dan jujur, yaitu dengan Pilkada langsung.
Pelaksanaan Pilkada langsung merupakan moment penting untuk menjaring pemimpin yang lebih baik. Rakyat sebagai pemilik otoritas tertinggi akan memilih secara langsung pemimpinnya, tidak seperti selama ini hanya menggunakan sistem perwakilan yang kadang-kadang rakyat sering dikebiri.
Pilkada langsung oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadi terapi bagi  lahirnya suatu pemerintahan yang lebih baik, dibanding pemerintahan yang  dihasilkan UU No 22/1999. Sebagaimana disadari bersama, pergantian kekuasaan  yang dilandasi UU No 22/1999 banyak menghasilkan 'kecurangan'. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, posisi DPRD sebagai institusi  tunggal penyelenggara pilkada pada saat itu berdasarkan UU No 22/1999  mempunyai hak 'relatif' penuh untuk menentukan siapa yang berhak menjadi  kepala daerah dan wakilnya. Sayangnya kekuasaan sangat besar yang dimiliki  DPRD ini tidak diikuti adanya lembaga pengawasan yang cukup kuat untuk  mengontrol proses pilkada tersebut. Akhir dari proses ini adalah banyaknya kasus politik uang yang hampir menyertai seluruh proses pergantian kekuasaan  di daerah kala itu.
Kedua, intervensi parpol pusat terhadap parpol di daerah dalam menentukan  calon yang diajukan partai bersangkutan. Dalam konteks ini kita tentu masih  ingat kasus intervensi DPP PDI-Perjuangan pada beberapa pilkada, seperti di  Jawa Tengah yang berbuntut dicopotnya Mardijo dari jabatannya sebagai ketua  DPD PDI-Perjuangan setempat.
Ketiga, adanya intervensi pemerintah pusat terhadap proses pilkada kala itu.  Berdasarkan pasal 40 ayat (3) UU No 22/1999 pemerintah pusat diberikan  wewenang untuk mengesahkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah  yang telah dipilih dan ditetapkan DPRD. Dalam praktiknya, pemerintah pusat  dapat untuk tidak mengesahkan pasangan calon terpilih tersebut. Dalam  konteks terakhir ini menarik, melihat kasus Alzier Dianis Thabrani sebagai  Gubernur Lampung terpilih yang tidak disahkan oleh Presiden Megawati saat  itu.
Pilkada langsung sendiri mempunyai banyak keuntungan. Dan berikut adalah beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan Pilkada langsung :
  1. Pemilihan langsung oleh rakyat, mulai dari anggota DPR, DPRD, presiden, kepala daerah dan kepala desa, menunjukkan adanya konsistensi penyelenggaraan pemerintahan dalam mekanisme pemilihan pejabat pubik.
  2. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan proses politik untuk menuju pada kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat akan mempertanggungjawabkan kepada rakyat, karena rakyat yang memiliki kedaulatan.
  3. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka stabilitas nasional. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat lama kelamaan akan memahami tujuan untuk apa pemilihan diselenggarakan dengan demikian mereka akan semakin kritis dalam mempertaruhkan hak-haknya.
  4. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan mendorong pendewasaan partai politik, terutama dalam perekrutan kader partai politik yang akan ditempatkan sebagai calon kepala daerah. Jadi pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan seleksi kepemimpinan lokal yang ideal untuk mendapatkan sepasang gubernur, bupati dan walikota yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab.
  5. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan periodik akan mengalami dinamika dalam kehidupan politik rakyat. Rakyat akan semakin rasional dalam menentukan pilihan sehingga tidak ada partai atau faksi dalam sebuah partai yang mempunyai jaminan untuk selamanya berkuasa atau mampu menempatkan kadernya sebagai kepala daerah. Artinya kemenangan ditentukan oleh rakyat dan rakyat menilai pejabat-pejabat terpilih sebagai agen mereka yang mendapatkan kewenangan untuk bertindak atas nama rakyat.
  6. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan memperkuat dan mengembangkan konsep check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemilihan kepala daerah secara langsung, maka kepala daerah akan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada DPRD.
  7. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan membuat masyarakat lebih paham terhadap kedaulatan. Dalam UU No 22 Th. 1999, disebutkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Hal ini dapat dipahami bahwa kedaulatan rakyat diserahkan kepada lembaga perwakilan yaitu DPRD. Penyerahan kedaulatan seperti itu rasanya tidak dapat dibenarkan, karena kedaulatan merupakan hak yang tidak dapat didelegasikan atau diserahkan kepada lembaga manapun. Apabila hak rakyat diserahkan kepada lembaga, maka besar sekali kemungkinan, bahwa lembaga yang diserahi kedaulatan tersebut menyalahgunakan secara menyimpang dari kehendak rakyat.

Berdasarkan UU No 5 / 1974 , kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat dengan alasan karena kepala daerah adalah kepala wilayah (pejabat pusat) dan sekaligus pejabat daerah. Karenanya yang terjadi mekanisme politik berjalan di luar proses politik, bahkan siapa yang akan menjadi kepala daerah sudah diketahui sebelum proses pemilihan pejabat publik oleh DPRD berlangsung. Setelah diberlakukannya UU No 22/ 1999 terjadilah revolusi dalam pemilihan kepala daerah, DPRD mempunyai kewenangan mutlak untuk memilih kepala daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Banyak kasus calon dari partai kecil dapat memenangkan dalam pemilihan kepala daerah, banyak konflik yang timbul akibat dari pemilihan kepala daerah.
Jadi makna kedaulatan di tangan rakyat sebagaimana dituangkan dalam Pasal1 ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen ) adalah : kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan oleh lembaga perwakilan.
Dengan diadakannya Pemilihan secara langsung di Indonesia, maka diharapkan para pejabat publik yang terpilih, akan menjadi sebagai abdi rakyat bukan sebaliknya rakyat sebagai abdi pejabat.

Tujuan:
Adapun tujuan diselenggarakannya diskusi ini adalah:
  • Sebuah kegiatan diskusi yang wajib dilaksanakan dalam mengambil mata kuliah Dinamika Politik & Pemerintahan.
  • Memahami secara lebih komprehensif komitmen-komitmen yang telah diberlakukan pemerintah dalam hal pelaksanaan Pilkada langsung.
  • Berbagi pandangan tentang pelaksanaan Pilkada yang jujur.

Hasil yang diharapkan :
  • Mendapatkan sebuah informasi betapa pentingnya diadakannya Pilkada Langsung.
  • Adanya hasil diskusi yaitu berupa sharing ilmu.

Pembicara:
Dalam diskusi ini, akan hadir sebagai pembicara: Saddam Rassanjani, Joko Puji Laksono, Sadam Abdul Azis, Syafriansyah Maulana.
Tempat :
Ruangan kuliah E.4.3
Waktu :
Hari Selasa, jam 08.00 s/d 09.00