Wednesday, December 28, 2011

Punk In Muslim

Akhir-akhir ini telinga masyarakaat Aceh diakrabkan dengan yang namanya Punk. Dimana pada beberapa pekan yang lalu sekitar 65 orang anak-anak punk aceh terjaring razia di Aceh ketika mereka sedang menggelar konser di taman budaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, anak-anak punk tersebut mereka semua digunduli kepalanya dan kemudian diceburkan ke kolam. Kejadian ini sendiri sentak mendapatkan perhatian khusus dari media-media luar negeri diantaranya ada Washington post, voice of America news, BBC news, Bangkok post, metro London, dll. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengecam tindakan penangkapan tersebut dalam pemberitaannya.
Berangkat dari kejadian tersebut menambah keingin tahuan saya tentang komunitas punk itu sendiri. Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Punk bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.
Seperti yang digambarkan dalam salah satu film yang cukup terkenal di Indonesia yaitu “Punk in Love” yang dibintangi oleh Vino G. Bastian, punk sangat identik dengan fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker. Namun jangan heran kalau anda melihat ada anak punk yang rajin sholat lima waktu dan pintar ngaji lagi. Itulah yang dinamakan dengan Punk Muslim.
Punk Muslim berdiri pada Ramadhan 1427 H lalu, yang digagas oleh seorang Budi Khoironi (Alm.), yang akrab dipanggil Buce. Buce yang jebolan pesantren ini menganggap masih ada harapan untuk memperbaiki kondisi pemuda yang berada di komunitas punk yang sudah telanjur dianggap hidup tanpa orientasi, antikemapanan, dan meninggalkan agamanya.Susah payah Buce merangkul anak-anak punk dan mengajak mereka kembali ke Islam, agama yang sebagian besar dianut oleh komunitas ini. Pilihan Buce untuk hidup di jalanan adalah pilihan untuk menyentuh objek dakwah yang tak pernah disentuh, yaitu anak-anak jalanan. Keprihatinan dan kesukaan Buce terhadap musik dan kesenian sempat dituangkannya dalam sanggar kesenian bernama Warung Udix Band, sekitar 8 tahun lalu. Di sanggar inilah, anak-anak jalanan berkumpul untuk latihan band sekaligus belajar mengaji. Namun ternyata, kedekatan Buce dengan komunitas punk dan anak jalanan tidak berlangsung lama karena Allah swt memanggil Buce pada Mei 2007. Buce meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum meninggal, Buce telah menitipkan amanah untuk membimbing dan mengasuh komunitas punk dan anak jalanan tersebut kepada Ahmad Zaki.
Buat Zaki, bergaul dengan komunitas punk dan anak jalanan ternyata tak semudah yang dibayangkan. Pada awalnya, dirinya pun tidak diterima oleh komunitas punk tersebut, tapi dengan usaha yang keras, Zaki pun dapat melanjutkan tongkat estafeta dari Buce yang diembankan kepadanya. Kuncinya hanya satu, Zaki selalu mengingat pesan Buce untuk tidak menggunakan bahasa-bahasa yang terlalu elit dan bersifat menggurui kepada komunitas itu. Walhasil, dalam percakapan, kata lu-gue sudah jadi unsur wajib dalam bahasa yang mereka gunakan selayaknya sahabat, bukan antara guru dengan murid.
Zaki melanjutkan usaha Buce dengan menggelar pengajian rutin untuk anak-anak jalanan mulai 1428 H, seminggu dua kali, yaitu malam Selasa untuk belajar membaca Alquran, dan malam Jumat untuk kajian keislaman yang sifatnya diskusi dan berbagai ilmu tentang Islam. Menurut Zaki, panggilan hatinya untuk membimbing anak-anak punk kembali ke Islam lebih besar daripada janjinya kepada Buce untuk membina anak-anak punk tersebut. Walhasil, meskipun jumlah peserta pengajian anak-anak jalanan tersebut berkurang dari 50 orang hingga menjadi 20 orang, Zaki tetap optimis karena itu adalah sunnatullah. Peserta pengajian itu berasal dari berbagai profesi, usia, dan latar belakang pendidikan, seperti ada yang hanya tamat kelas 2 SD hingga S1, berusia 15 hingga 28 tahun, dan ada yang berprofesi sebagai pedagang asongan, pengamen, pelukis, bahkan pemahat patung, ada yang laki-laki dan ada pula perempuan. Jumlah yang sedikit itu tetap dioptimalkan Zaki untuk tetap mengingatkan mereka agar menghindari hal-hal negatif dan menanamkan nilai-nilai akhlak Islami. Salah satu upaya Zaki adalah dengan memanajemen band 'warisan' Buce bernama Punk Muslim.
Zaki sebagai pengasuh PM pun melakukan berbagai variasi kegiatan untuk komunitas ini, seperti mabit tiap dua bulan sekali, tafakur alam setiap tahun, dan rekrutmen. Selain kegiatan tersebut, PM juga kebanjiran agenda silaturahim, bulan lalu, PM jaulah ke komunitas punk di Indramayu yang juga merasakan hidayah untuk kembali ke Islam dengan meneladani PM di Jakarta.
Salah satu PR bagi Zaki dalam pembinaan komunitas punk ini adalah meluruskan paradigma pergaulan yang lekat pada sebagian besar anak-anak punk, misalnya soal free sex. Sebagian anak-anak punk mengakui telah melakukan dosa besar dan ada pula yang menikah karena telah hamil. Ada pula yang menjalani proses pernikahan dengan seorang muslimah penghafal Alquran 18 juz, namun gagal karena beberapa alasan. Zaki mengakui, intensitas pergaulannya dengan anak-anak punk juga mengundang kritik dari berbagai pihak, misalnya dari keluarga dan sahabat. Tak sedikit dari mereka juga enggan mengikuti Zaki untuk berdakwah di kalangan minoritas tersebut. Namun, Zaki terus bertahan dan berharap ada teman-teman dai yang mengikuti jejaknya. Terakhir, Zaki mengingatkan dengan tulus, bahwa anak-anak punk dapat pula menjadi agent of change jika saja ada yang terus membimbing dan mengarahkan mereka dalam keislaman.
Nah, hal yang tersebut diataslah yang seharusnya sangat patut dicontoh oleh Pemerintah Aceh dalam menghadapi para Punkers yang merajalela di Aceh. Harapannya pembekalan yang diberikan di SPN Seulawah bukan hanya sekedar pembekalan biasa, tapi juga pembekalan spirualitas yang nantinya akan mampu merubah para Punker's Aceh tersebut menjadi salah satu majelis dakwah seperti halnya yang telah dilakukan oleh Zaki dkk, hal tersebut dilakukan juga dalam rangka mewujudkan pengimplementasiaan Syariat Islam di bumi Aceh. Jadi, tidak masalah jika komunitas Punk itu exist di bumi Aceh, asalkan tampang boleh aja Punk namun hati haruslah senantiasa diisi dengan shalat, ngaji, zikir, puasa, dan ibadah lainnya.

Sunday, December 25, 2011

Hafalan Shalat Delisa : Sepenggal Kisah Dasyatnya Tsunami Aceh

Pada 26 Desember 2004, tsunami melanda sebagian Aceh dan beberapa wilayah lain di dunia. Kini, hampir tujuh tahun sesudah peristiwa itu, dirilis film Hafalan Shalat Delisa, yang mengangkat secuplik kisah mereka yang selamat dari gelombang dahsyat tersebut.
Film yang mengangkat cerita dari novel berjudul sama karya Tere Liye dan disutradarai oleh Sony Gaokasak tersebut tak hanya mengetengahkan sisi tragedinya, tapi juga menyampaikan nilai Islami dan budaya Aceh. Tokoh utamanya Delisa (yang dimainkan oleh Chantiq Schagerl), seorang gadis tujuh tahun yang tinggal di Lhok Nga, Aceh, bersama ketiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), Aisyah (Reska Tania Apriadi), dan Zahra (Riska Tania Apria). Kepada Delisa ditanamkan nilai agama oleh ibunya, Ummi (Nirina Zubir), dan ayahnya, Abi Usman (Reza Rahardian).
Delisa sedang belajar keras hafalan shalat dan mencari arti shalat  dengan khusyu’ . Saat menjalani ujian sholat, tiba-tiba gempa bumi dan disusul tsunami besar  menghancurkan Lohk Nga Aceh. Delisa yang sedang khusyu’ dengan hafalan shalatnya tidak mengetahui peristiwa tersebut. Saat tersadar, Delisa harus menerima takdir kehilangan satu kakinya.
Bagaimana perjuangan Delisa? Akankah ia berkumpul lagi dengan saudara-saudaranya? Film yang juga dimainkan oleh Mike Lewis, Al Fathir Muchtar, dan Joe P Project ini akan mulai diputar serentak di gedung-gedung bioskop Tanah Air pada 22 Desember 2011 yang lalu.

Perempuan Dan Peluang Politik di Indonesia

Undang –undang no 12 tahun 2003 tertang partai Politik dalam pasal 65 ayat (1), partai politik di anjurkan untuk mencalonkan 30% kaum perempuan untuk duduk di kursi legislatif (DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II) memberikan angin segar pada kancah politik di Indonesia khususnya perempuan.
Kontruksi budaya dan sosial yang awalnya memasung perempuan dan menempatkan perempuan pada wilayah privat (urusan rumah tangga), macak, manak dan masak, telah membuka jalan pada perempuan untuk berkiprah pada wilayah publik dengan kebijakan pererintah yang lahir pada tahun 2003 tersebut.
Seiring dengan perkembangan dan beragamnya persoalan perempuan yang haknya sering dirampas dan belum diletakkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat, misalnya tingginya tingkat kekerasan perempuan secara psikologis dan fisik menggugah pola pikir dibeberapa kalangan aktivis perempuan maupaun politisi yang dekat dengan produk kebijakan untuk mengkaji masalah ini secara serius, tidak hanya menjadikan bagian objek kajian saja.
Paradigma yang menganggap perempuan sebagai kaum lemah dan hanya sebagai konco wingking, pelengkap, nunut surga dan segudang lagi kata kiasan yang menunjukkan perempuan hanya sebagai donor tulang serta donor –donor yang lain, inferior, warga kelas dua akan sedikit terkikis dengan adanya Intruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang penghapusan Gender dalam pembangunan Nasional. Legitimasi Negara tersebut harus bener – benar dimanfaatkan sebagai moment politik bagi kuam perempuan. Tidak hanya hiasan formalitas yang hanya untuk memenuhi jumlah undang –undang saja .
Secara umum, hak –hak perempuan dianggap telah memiliki signifikansi yang kuat di masa modern. Namun secar a Historis perempuan masih juga telah tersubordinasi oleh laki –laki. Perempuan dianggap sebagi jenis kelamin ke dua , sebagaimana Simon de Behavoir menggambarkan perempuan. Meski demikian keseluruahan pandangan berubah dengan sangat cepet. Proses liberalisasi perempuan telah memperoleh signifikansinya yang baru, dan banyak alasan untuk itu.
Kita mendengar gerakan pembebasan perempuan di Eropa di amerika di awal tahun enam puluhan. dinamika ini terjadi juga di negara –negara berkemban atau negara dunia ketiga. Hanya saja realisasi keadilan gender bukanlah perkara mudah. Bahkan di Barat yang sangat maju di bidang industri, ilmu pengetahuan dan teknologi yang rata rat melek hurufnya 100% dan tingkat pendidikan tinggi kaum perempuan jauh lebih besar dan potensi lapangan pekerjaan dan gender yang lebih besar, kaum perempuan masih menempati pada posisi subordinat. Pemukulan istri (wife- battering ) juga masih merajalela.
Namun demikian kita tidak menafikan bahwa di wilayah dunia ketiga kesadaran tentang keadilan gender juga meningkat tajam. Kaum elit pada kalangan perempuan kota memimpin gerakan perempuan itu, karena mereka sangat terdidik dan memiliki kesadaran tinggi terhadap isu gender bahkan hak asasi manusia menjadi isu sentral.
Perempuan Indonesia sudah terlibat dalam perjalanan bangsa sejak revolusi fisik sampai sekarang adalah modal sejarah yang bisa dipakai perempuan Indonesia dalam era reformasi yang sudah megakui peran perempuan memalui legitimasi Undnag –undang partai maupun dalam bentuk intruksi presiden.
Perempuan perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika yang menjadi figur nyata bagi perempuan Indonesia untuk mengisi pembangunan bangsa ini. Dengan terjun pada wilayah politik ungensi perempuan Indonesia akan satu kelas lebih maju dari sebelumnya denngan memanfaatkan keterbukaan dan globalisasi dalam emansipasi yang lebih besar untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat.
Perempuan harus lebih aktif mulai dari perlibatan dalam APBDes sampai pada kebijakan yang lebih tinggi, karena ia sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat, mengingat jumlah perempuan di Indonesia lebih besar dari pada laki laki.
Politik yang identik dengan maskulinitas dengan produknya yang masih memarginalkan perempuan dimana pokok masalah masih di lihat pada sudut pandang laki - laki. Oleh karenanya masih minimal jumlah perempuan yang bergabung dan terjun dalam dunia politik. Pada tahun Pemilu 2004 yang satu tahun telah diterbitkanya undang undang tentang kuota 30% pada perempuan masih menempatkan perempan pada nomer urut sepatu dan memilki peluang yang sangat kecil untuk menembus kursi Parlemen. . Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dengan jatah 30% harus benar - benar terisi untuk membangun kekuatan politik diparlemen mendatang. Yang menjadi PR bersama adalah apakah perempuan akan bangga dengan label kecantikan dan object saja atau bangkit mengisi pembangunan bangsa ini?.. By Venty Z

Sumber : http://gerindrajatim.or.id/artikel/politik.html

Thursday, December 22, 2011

Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa

Pengertian
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau (burra, kain kasar penutup meja), dan-cracy. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber berpendapat, setidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi diartikan sebagai “government by bureaus” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat (Riggs, 2003:513), pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sifat kaku, macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa (Kramer, 2003:513). Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.

Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
  • Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
  • Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
  • Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
  • “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja;
  • Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.
Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
  • Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi
  • Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
  • Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut (sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat; memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya organisasi saja.

Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya :
  • Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
  • Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
  • Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
  • Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

http://stisiptasikmalaya.blogspot.com/2009/06/sekilas-birokrasi-indonesia-dari-zaman.html

Friday, December 16, 2011

Konflik Dan Negosiasi

1. Pengertian dan Pandangan Tentang Konflik
Definisi konflik menurut Robbins, adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif pihak lain. Sedangkan menurut Alabaness dalam nimran (1996) mengartikan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada diantara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik itu adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Jadi apabila persepsi mempengaruhi orang lain yang tidak sesuai maka akan terjadi konflik.
Ada tiga pandangan tentang konflik, yaitu:
Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus dihindari karena akan menimbulkan kerugian. Aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk, tidak menguntungkan dan selalu merugikan organisasi. Oleh karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahannya (muhyadi, 1989)
Pandangan hubungan kemanusiaan, pandangan behavioral ini menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok. Konflik tidak selamanya merugikan, bahkan bisa menguntungkan, yang oleh karena itu konflik harus dikelola dengan baik.
Pandangan interaksionis, yang menyatakan bahwa konflik buka sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya adalah kinerja organisasi menjadi rendah.

2. Jenis dan Penyebab Konflik
Jenis konflik dibedakan dalam beberapa perspektif, antara lain:
  • Konflik intraindividu, yaitu konflik yang dialami oleh individu dengan dirinya sendiri karena adanya tekanan peran dan ekspektasi di luar berbeda dengan keinginan atau harapannya.
  • Konflik antarindividu. Konflik yang terjadi antar individu yang berada dalam suatu kelompok atau antarindividu pada kelompok yang berbeda.
  • Konflik antar kelompok. Konflik yang bersifat kolektif antara satu kelompok dengan kelompok lain.
  • Konflik organisasi. Konflik yang terjadi anatara unit organisasi yang bersifat struktural maupun fungsional.
Jenis konflik ditinjau dari fungsinya, yaitu:
  • Konflik konstruktif, adalah konflik yang memiliki nilai positif bagi pengembangan organisasi.
  • Konflik destruktif, adalah konflik yang berdampak negatif bagi pengembangan organisasi.
Jenis konflik ditinjau dari segi intasionalnya, yaitu:
  • Konflik kebutuhan individu dengan peran yang dimainkan dalam organisasi. Tidak jarang kebutuhan dan keinginan karyawan bertentangan atau tidak sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan organisasi. Hal ini bisa memunculkan konflik.
  • Konflik peranan dengan peranan. Setiap karyawan organisasi memiliki peran yang berbeda-beda dan ada kalanya perbedaan peran tiap individu tersebut memunculkan konflik karena setiap individu berusaha untuk memainkan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
  • Konflik individu dengan individu lainnya. Konflik seringkali muncul jika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, disebabkan oleh latar belakang, pola pikir, pola tindak, kepribadian, minat, persepsi, dan sejumlah karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Jenis konflik ditinjau dari segi materi/masalah yang menjadi sumber konflik, yaitu:
  • Konflik tujuan. Adanya perbedaan tujuan antar individu, kelompok, atau organisasi bisa memunculkan konflik.
  • Konflik peranan. Setiap manusia memiliki peran lebih dari satu. Peran yang dimainkan, yang jumlahnya banyak tersebut, seringkali memunculkan konflik.
  • Konflik nilai. Nilai yang dianut seseorang seringkali tidak sejalan dengan sistem nilai yang dianut organisasi atau kelompok. Hal ini berpotensi untuk memunculkan konflik.
  • Konflik kebijakan. Konflik ini muncul karena seorang individu atau kelompok tidak sependapat dengan kebijakan yang ditetapkan organisasi (depdikbud, 1981).
Mastenbroek (1987) membagi konflik ini menjadi empat, yaitu:
  • Instrumental conflicts. Konflik terjadi karena adanya ketidaksepahaman antar komponen dalam organisasi dan proses pengoperasiannya.
  • Socio-emotional conflicts. Konflik ini berkaitan dengan identitas, kandungan emosi, citra diri, prasangka dan lambang-lambang tertentu, sistem nilai dan reaksi individu dengan lainnya.
  • Negotianting conflicts. Konflik negosiasi adalah ketegangan-ketegangan yang dirasakan pada waktu proses negosiasi terjadi, baik antar individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok.
  • Power and dependency conflicts. Konflik kekuasaan dan ketergantungan berkaitan dengan persaingan dalam organisasi, misalnya pengamanan dan penguatan kedudukan yang strategis.
Penyebab konflik ada bermacam-macam. Beberapa sebab yang penting adalah sebagai berikut:
  • Saling bergantungan. Saling bergantung dalam pekerjaan terjadi jika dua kelompok organisasi atau lebih saling membutuhkan satu sama lain guna menyelesaikan tugas.
  • Perbedaan tujuan. Perbedaan tujuan yang ada di antara satu bagian dengan bagian lain, seperti unit produksi yang bertujuan semaksimal mungkin biaya produksi dan mengusahakan sesedikit mungkin kerusakan produk, sementara bagian penelitian dan pengembangan berurusan dengan pengmbangan ide-ide baru untuk mengubah dan mengembangkan produk yang berhasil secara komersial. Hal ini dapat menjadi potensi konflik.
  • Perbedaan persepsi. Dalam menghadapi suatu masalah, jika terjadi perbedaan persepsi maka hal itu dapat menyebabkan munculnya konflik.
Menurut Smith, Mazzarella dan Piele (1981), sumber terjadinya konflik adalah:
  • Masalah komunikasi, yang bisa terjadi pada masing-masing atau gabungan dari unsur-unsur komunikasi, yaitu sumber komunikasi, pesan, penerima pesan dan saluran.
  • Struktur organisasi, yang secara potensial dapat memunculkan konflik. Tiap departemen/fungsi dalam organisasi mempunyai tujuan, kepentingan dan program sendiri-sendiri yang seringkali berbeda dengan yang lain.
  • Faktor manusia. Sifat dan kepribadian manusia satu dengan yang lain berbeda dan unik. Hal ini berpotensi memunculkan konflik.

3. Proses Dan Hubungan Konflik Dengan Kinerja
Menurut Pondi (dalam Indriyo, 1997, dan Umar Nimran, 1999), proses konflik dimulai dari:
  • Tahap I, Latent Conflict, konflik laten, yaitu tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini adalah persaingan untuk memperebutkan sumberdaya yang terbatas, konflik peran, persaingan perebutan posisi dalam organisasi, dll.
  • Tahap II, Perceived Conflict, konflik yang dipersepsikan. Pada tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain lain sebagai penghambat atau mengancam pencapaian tujuanna.
  • Tahap III, Felt Conflict, konflik yang dirasakan. Pada tahap ini konflik tidak sekedar dipandang ada akan tetapi sudah benar-benar dirasakan.
  • Tahap IV, Manifest Conflict, konflik yang dimanifestasikan. Pada tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai ditunjukkan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, rendahnya kinerja, dll.
  • Tahap V, Conflict Resolution, resolusi konflik. Pada tahap ini konflik yang terjadi diselesaikan dengan berbagai macam cara dan pendekatan.
  • Tahap VI, Conflict Aftermath. Jika konflik sudah benar-benar diselesaikan maka hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya saja jika penyelesaiannya tidak tepat maka akan dapat menimbulkan konflik baru.

 4. Strategi Manajemen Konflik
Strategi manajemen konflik yang diterapkan dalam suatu organisasi tergantung pada bagaimana seorang pimpinan memandang suatu konflik. Meskipun demikian harus kita sadari bahwa konflik pasti terjadi dalam suatu organisasi, hanya saja dengan skala berbeda. Ada yang berskala besar, sedang, atau kecil.
Gordon (1990) dan Miftah Thoha (1995), mengemukakan strategi manajemen konflik adalah sebagai berikut:
  • Strategi menang-kalah. Strategi ini ada kalanya pihak tertentu akan menggunakan wewenang atau kekuasaan untuk memenangkan/menekan pihak lain.
  • Strategi kalah-kalah. Strategi ini dapat berupa kompromi, dimana kedua belah pihak berkorban untuk kepentingan bersama.
  • Strategi menang-menang. Konflik dipecahkan melalui metode problem solving. Metode ini dianggap paling baik karena tidak ada pihak yang dirugikan. Scmuck (1976) menunjukkan bahwa: (1) Metode pemecahan masalah mempunyai hubungan positif dengan manajemen konflik yang efektif, (2) Pemecahan masalah banyak dipergunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan tetapi lebih suka bekerjasama.

5. Negosiasi Atau Perundingan
Negosiasi atau perundingan merupakan suatu proses tawar-menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Dalam perundingan ini diharapkan ada kesepakatan nilai antara dua kelompok tersebut. Atau Robs mengatakan negosiasi dapat di definisikan sebagai proses yang di dalamnya terdapat dua pihak/lebih bertuka barang atau jasa dan berupaya menyepakati tingkat kerjasama tersebut bagi mereka. Robbins (1999) menawarkan 2 strategi perundingan, yang meliputi:
  • Tawar-menawar distributif, artinya perundingan yang berusaha untuk membagi sejumlah tetap sumberdaya (suatu situasi kalah menang).
  • Tawar-menawar integratif, yaitu perundingan yang mengusahakan satu penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan pemecahan menang-menang.
Nimran (1999) menawarkan bebrapa strategi manajemen konflik, yaitu:
  • Strategi kompetisi, disebut strategi kalah-menang, yaitu penyelesaian masalah dengan kekuasaan.
  • Strategi kolaborasi atau strategi menang-menang dimana pihak yang terlibat mencari cara penyelesaian konflik yang sama-sama menguntungkan.
  • Strategi penghindaran, yaitu strategi untuk menjauhi sumber konflik dengan mengalihkan persoalan sehingga konflik itu tidak terjadi.
  • Strategi akomodasi, adalah strategi yang menempatkan kepentingan lawan diatas kepentingan sendiri. Strategi ini juga disebut dengan sifat mengalah.
  • Strategi kompromi, yaitu strategi kalah-kalah dimana pihak-pihak yang terlibat konflik sama-sama mengorbankan sebahagian dari sasarannya dan mendapatkan hasil yang tidak maksimal.

Tuesday, December 13, 2011

Demokrasi : Produk Siapa?

Kemarin, tepatnya pada tanggal 13-12-11 saya chatting dengan teman lama saya di facebook, kami sedikit berdiskusi tentang demokrasi dan musyawarah. Lalu di dalam diskusi kami sedikit beradu argumen tentang darimanakah demokrasi itu berasal, dan siapa yang pertama kali mencetuskan teori demokrasi tersebut.
Saya memaparkan argumen saya bahwa demokrasi itu adalah produknya barat karena berkembang di barat dan mayoritasnya di anut oleh negara-negara barat, sedangkan teman saya beragumentasi bahwa demokrasi itu produk asli dari islam dan pencetus nya itu adalah seorang ilmuan muslim yaitu Ibnu Rusdy.
Mendengar pernyataan dari teman saya tersebut menjadikan saya ingin tahu kebenaran dari pemaparan kawan saya tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk jalan-jalan di google mencari artikel yang menyatakan demokrasi adalah produk islam bukan produknya barat. Dan akhirnya beberapa saat kemudian saya menemukan sebuah artikel yang mencerahkan pengetahuaan saya tentang asal-usul demokrasi itu sendiri yaitu "Demokrasi Athena? Atau Islam" salah satu tulisan dari penulis yang ada di kompasiana.
Dalam artikel tersebut penulis memaparkan sedikit diskusi tentang demokrasi yang diperdebatkan oleh para akademisi. Jadi, demokrasi hakikatnya pertama kali sudah ada pada masa kerajaan Yunani kuno, orang yang pertama kali mencetuskannya adalah seorang ilmuwan ternama yaitu Plato, dan disatu sisi juga dibahas bahwa demokrasi tersebut sudah ada pada masa pemerintahan Rasulullah.
Dari artikel tersebut saya dapat menganalisis bahwa awalnya demokrasi itu memang dicetuskan oleh orang barat yaitu Plato yang tidak lain adalah guru dari Aristoteles.
Lalu pencetus teori demokrasi dari kalangan muslim muncul nama Ibnu Rusdy yang dalam islam dikenal dengan "muallim as-tsani", lalu siapakah "muallim al-awwal"? "muallim al-awwal" tidak lain adalah Aristoteles. Ya, kaum muslim menyematkan Aristoteles sebagai "muallim al-awwal", karena posisisi dari Ibnu Rusdy yang menjadi komentator atau penerjemah dari karya-karya besar dari Aristoteles. Masyarakat pada masa itu sangat mengagung-agungkan hasil karya dari Ibnu Rusdy yang berasal dari hasil penafsiran dari karya Aristoteles karena dianggap lebih sempurna.
Jadi kesimpulannya adalah asal-usul dari demokrasi tidak perlu diperdebatkan, baik dari islam maupun barat itu sama-sama benarnya. Mengapa saya beranggapan seperti itu, statement sederhananya begini, Plato adalah guru dari Aristoteles, kemungkinan besar semua ilmu dari Plato diwariskan kepada Aristoteles, kemudian Ibnu Rusdy merupakan komentator atau penerjemah dari karya Aristoteles, hasil penafsirannya itu menyempurnakan karya sebelumnya, dan telah menjadi rujukan-rujukan ilmu tentang demokrasi.

Monday, December 12, 2011

Pemerintahan Dalam Perspektif Pembagian Kekuasaan (Desentralisasi)

Pembagian kekuasaan biasa diasosiasikan dengan desentralisasi. Dalam berbagai diskusi desentralisasi ini sering dihadapkan dengan sentralisasi. Dalam sistem sentraliasi konsentrasi kekuasaan politik atau otoritas pemerintahan ada pada tingkat nasional. Atas pertimbangan kekuasaan selanjutnya memperkuat pemerintah pusat dan mengorbankan lembaga-lembaga lokal. Kasus-kasus yang muncul dalam sistem sentralisasi adalah kesatuan nasional, penyeragaman hukum dan pelayanan umum persamaan kelembagaan dan kemakmuran dikaitkan dengan kebijakan pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sistem sentralisasi, dalam sistem desentralisasi ada perluasan otonomi lokal dengan pembagian kekuasaan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat. Kasus yang biasa dihubungkan dengan desentralisasi adalah partisipasi warga, kepekaan pemerintah lokal atas tuntutan warga, legitimasi pemeritah dan kebebasan warga. Keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam suatu negara ditentukan oleh faktor-faktor sejarah, budaya, kondisi geografis, ekonomi dan politik. Struktur negara sesuai konstitusi dan itu merupakan kerangka minimal hubungan pusat-daerah. Dalam dunia modern ada dua model paling populer, yaitu sistem federal dan sistem kesatuan. (Heywood, 1997 : 122-123).
Desentralisasi. Ada dua kelompok pengertian yakni Versi Anglo-Saxon dan Versi Kontinental.

1. Versi Anglo-Saxon
Kelompok Anglo-Saxon diwakili pemikiran yang dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Carolie Bryant dan Louise. G White, G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat di daerah secara dekonsentrasi (misalnya : delegasi) ataupun kepada badan-badan otonom daerah secara devolusi. Ada dua bentuk penyerahan wewenang dan fungsi pemerintah :
  • Deconsentration  area offices of administration yakni penyerahan wewenang dan tanggung jawab administrasi bidang tertentu kepada pejabat-pejabat pusat di daerah.
  • Devolusi yakni penyerahan sebagian kekuasaan pemerintahan, baik politis maupun administratif, kepada badan-badan politik di daerah yang diikuti dengan penyerahan kekuasaan sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara politis maupun administratif.
Carolie Bryant dan Louise. G White, mengatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan/kewenangan yang  dibedakan ke dalam desentralisasi administratif dan desentralisasi politik. Desentralisasi administratif merupakan pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Sedangkan desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal. 
Definisi yang lebih luas dikekukakan oleh G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli. Dalam Decentralization and Development (1983 : 18-25), mereka  mendefinisikan desentraliasi sebagai  penyerahan kewenangan perencanaan, pembuatan keputusan atau kekuasaan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pelaksana,unit-unit administrasi lokal, organiasi-organisasi semi otonom, pemerintah-pemerintah lokal dan organisasi non-pemerintah. Selanjutnya dikemukakan, ada empat bentuk desentralisasi :
  • Deconsentration, penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah, meliputi field administration dan local administration.
  • Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
  • Devolution to local government. Devolusi merupakan penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan  sendiri atau disebut  desentralisasi teritorial.
  • Delegation to non-government institutions atau penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepada organisasi non pemerintah. Hal ini dikenal sebagai privatisasi. 
Kesimpulannya bahwa desentralisasi merupakan  penyerahan kewenangan dalam arti luas yang mencakup : dekonsentrasi, devolusi, privatisasi atau desentralisasi fungsional dan pengikutsertaan organisasi non-pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pengertian yang luas dan bersifat federatif merupakan mencirikan  kelompok Anglo-Saxon.

2. Versi Kontinental
Memandang desentralisasi lebih menekankan  pemberian kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah. Menurut Koesoemahatmadja, desentralisasi adalah sistem untuk mewujudkan demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Desentralisasi menurutnya dapat dibedakan menjadi  dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan (desentralisasi politik), yaitu pelimpahan kekuasaan perundang-undangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Dengan desentralisasi politik  ini masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui saluran-saluran perwakilan. Desentralisasi politik  ini dibagi  menjadi :
  • Desentralisasi teritorial, yaitu : pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumahtangga daerah masing-masing
  • Desentralisasi fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Bagi The Liang Gie desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Pengertian desentraliasi versi Kontinental lebih bersiat unitaris.
Secara umum desentralisasi pada dasarnya adalah penyerahan sebagian wewenang dan tanggungjawab dari pemerintah pusat kepada badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumahtangganya sehingga urusan-urusan tersebut beralih kepada Daerah dan menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Daerah (Josef Riwukaho, tt : 19).
Ada beberapa alasan berkaitan dengan gagasan desentralisasi. Pertama, alasan politis, yakni untuk mencegah pemusatan kekuasaan yang berlebihan. Asumsinya adalah bahwa konsentrasi kekuasaan yang demikian besar sangat rawan terhadap penyalahgunaan. Kedua, alasan teknis administratif. Asumsinya efisiensi dan efektifitas penyelesaian permasalahan pemerintahan pada jenjang yang tepat sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Ketiga, dalam kenyataan penyebaran kekuasaan didorong oleh alasan yangn beragam. Hal itu tercermin dalam uraian para pakar (Cornelis Lay  dkk, 1997 : 4-5). Menurut Josef Riwu Kaho MPA, alasan desentalisasi adalah demi tercapainya efektifitas pemerintahan dan demi demokratisasi dari bawah. Sedangkan bagi The Liang Gie alasan itu  adalah :
  • Mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak, yang dapat memunculkan tirani.
  • Pendemokrasian
  • Efisiensi pemerintahan
  • Perhatian kepada kekhususan daerah; dan
  • Usaha memperlancar pembangunan melalui pemerintah daerah
  • Adapun kebaikan-kebaikan dari desentralisasi menurut Yosef Riwu Kaho  adalah :
  • Mengurangi bertumpuk-tumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
  • Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak, Pemerintah Daerah tidak perlu menunggu instruksi dari Pusat.
  • Dapat mengurangi birokrasi dalam arti buruk, karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.
  • Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
  • Daerah Otonom dapat menjadi laboratorium dalam hal yang berhubungan dengan pemerintahan.
  • Mengurangi kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
  • Desentralisasi secara psikologis dapat memberikan kepuasan bagi Daerah karena sifatnya langsung.
Dari berbagai paparan di atas terlihat adanya unsur-unsur politik, teknis administratif dan ekonomis. Unsur-unsur politik mencakup seperti demokrasi, moral politik, pendidikan politik, partisipasi dan kemandirian. Sedangkan unsur teknis administratif diperlihatkan pada kebutuhan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Unsur ekonomis mengacu pada efisiensi pelayanan barang dan jasa serta penguatan sektor swasta. Dengan cara pandang demkian dapat dibedakan tiga macam desentralisasi, yakni devolusi (politik), dekonsentrasi (teknis administratif) dan privatisasi (ekonomis). Unsur-unsur tersebut merupakan alasan pembenar dianutnya desentraliasi dalam pemerintahan, yang dalam bentuk nyata berupa daerah-daerah otonom. Dengan kata lain adanya pemerintah daerah otonom didorong oleh kombinasi sejumlah alasan, baik alasan ideologi politik, teknis-administratif (manajemen) maupun ekonomis.
Pemerintahan daerah. Sebagaimana dipahami secara umum bahwa keberadaan pemerintahan daerah merupakan implikasi dari penerapan prinsip-prinsip desentralisasi. Bersadar jenis desentralisasi yang digunakan, pada dasarnya ada dua jenis pemerintahan daerah, yaitu local state government dan local autonomous government (R. Joeniarto, 1992 : 8).
  • Local state government (pemerintah daerah administratif) merupakan cabang pemerintah pusat (dan tingkat atasannya). Pemerintah pemerintahan jenis ini terbentuk berdasar alasan bahwa pemerintah pusat tidak lagi mampu mengelola urusan-urusannya yang tersebar di berbagai wilayah dengan alat-alat perlengkapan dari pusat. Pemerintahan daerah administraif ini terbentuk sebagai konsekuensi dianutnya prinsip desentralisasi administrasi atau biasa dikenal dengan dekonsentrasi. Bentuk nyata pemerintahan lokal jenis ini adalah wilayah-wilayah administratif.
  • Local autonomous government (pemerintah daerah otonom) merupakan pemerintah daerah yang mempunyai kekuasaan (hak) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Ia mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan local state government (pemerintah daerah administratif). Dalam wujud yang nyata pemerintah lokal jenis ini mewujud dalam daerah-daerah otonom. Pemerintah daerah otonom ini bukan merupakan bagian dari pemerintah pusat (R. Joeniarto, 1992 : 13). Perlu di jelaskan bahwa “bukan” di sini diartikan bahwa pemerintahan daerah secara politis mempunyai wilayah tersendiri, yang berbeda dengan pemerintah pusat. Definisi lebih lengkap disampaikan oleh Josef Riwu Kaho. Pemerintah Daerah adalah bagian dari pemerintah suatu negara berdaulat yang dibentuk secara politis berdasarkan suatu undang-undang, yang memiliki lembaga-lembaga/badan-badan yang menjalankan pemerintahan yang dipilih oleh masyarakat Daerah tersebut dan dilengkapi dengan kewenangan untuk membuat peraturan, memungut pajak serta memberikan pelayanan kepada warga yang ada dalam wilayah kekuasaannya (Josef Riwukaho, tt : 30). Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, khususnya desentralisasi politik atau biasa dikenal dengan devolusi, maka dibentuklah daerah-daerah otonom. Perhatian makalah ini lebih ditujukan pada pemerintahan daerah otonom ini, dan selanjutnya akan disebut pemerintahan daerah.

Saturday, December 10, 2011

Peran Dan Fungsi Pemerintahan

A. Peran Pemerintah
Secara umum tingkat penerapan desentralisasi suatu negara mendasari cara negara (pemerintah) dalam mendefinisikan perannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.  Apakah negara harus terlibat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, ataukah negara hanya melibatkan diri sebatas pada bidang-bidang diluar kemampuan masyarakat? Apakah segala urusan harus dikendalikan pemerintah pusat, atau sejauh mungkin dilaksanakan oleh pemerintah lokal, kecuali hal-hal fundamental yang menyangkut kepentingan umum masyarakat negara? Hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan yang signifikan.
Antara Pemerintah dan Swasta. Perbedaan cara pandang pelaksanaan fungsi pemerintah itu digambarkan oleh Pratikno, dari perspektif liberal dan perpektif sosialis. Dari perspektif pertama bahwa negara tidak perlu melakukan campur tangan dalam penyediaan pelayanan masyarakat, sementara dari perspektif terakhir diyakini bahwa kehadiran itu mutlak diperlukan. Dalam perspektif liberal, kehadiran pemerintah hanya diperlukan untuk menjaga keamanan. Fungsi utama pemerintah hanyalah kepolisian sementara fungsi-fungsi lainnya menjadi wewenang masyarakat, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun pengusaha swasta. Perspektif ini membatasi fungsi pemerintahan sebagai fungsi “sisa” yaitu fungsi-fungsi penyediaan barang dan jasa yang tidak bisa disediakan oleh unit tingkat bawahnya atau pihak-pihak di luar pemerintah. Artinya pemenuhan kebutuhan hidup diawali dari tanggungjawab individu, naik ke tingkat kelompok atau unit sosial yang kecil,  pemerintah lokal yang paling rendah selanjutnya bergulir ke atas. Besarnya keterlibatan pemerintah dalam pelayanan publik dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, kesempurnaan mekanisme pasar yang dipercaya akan mampu mencapai efisiensi, akan terganggu. Kedua, dianggap  memperkecil kebebasan individu dan kelompok-kelompok masyarakat untuk menentukan kepentingan dan pilihannya sendiri,   pada akhirnya dianggap  membahayakan demokrasi.
Sedangkan perspektif sosialis menganggap bahwa penetrasi pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa keperluan individu dan masyarakat mutlak dibutuhkan. Bagi mereka mekanisme pasar tidak bisa diandalkan menjamin tercapainya efisiensi. Mereka berasumsi bahwa persaingan  bebas dalam mekanisme pasar meciptakan ketimpangan distribusi kesejahteraan, sebab kemampuan setiap orang untuk bersaing berbeda-beda. Akibatnya mereka yang kuat memenangkan persaingan dan akan memunculkan kemungkinan terjadinya praktek eksploitasi. (dalam Haryanto, dkk, 1997 : 41-43).
Terlepas dari perdebatan tersebut, dalam pelaksanaan fungsi pencapaian tujuan negara yang pada dasarnya pelayanan (dalam arti luas) kepada masyarakat, peran pemerintah sangat diperlukan, apalagi di dalam masyarakat yang modern.
Antara Pusat dan Daerah. Perbedaan cara pandang dari dua perspektif sebagaimana tersebut di atas mempunyai implikasi yang cukup luas terhadap keberadaan pemerintahan daerah. Hal itu menyangkut persoalan desain kebijakan pemerintahan daerah sehingga diharapkan mampu mentransformasikan fungsi-fungsi sesuai cara pandang suatu rezim. Logika itu dapat dipahami dengan dukungan realitas yang ada bahwa pemerintah daerah merupakan sub-komponen geografis dari suatu negara berdaulat, sehingga ia berfungsi memberikan pelayanan umum pada suatu wilayah tertentu (S.H. Sarundajang, 2001 : 25) Secara operasional refleksi perbedaan itu teraplikasi dalam prinsip pengorganisasian pemerintahan daerah yang bernuansa administratif atau politis.  Secara empiris model-model pemerintahan daerah ala Rusia dan pemeritahan daerah model Inggris dapat dipandang sebagai reprensentasi keadaan tersebut.
Dalam sistem pemerintahan model Rusia, semua lembaga pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari birokrasi pemerinahan nasional, peraturan di setiap tingkat didominasi oleh kebijakan partai tungal. Sedangkan pemerintahan daerah model Inggris, mempunyai karakteristik otonomii yang besar, semua kekuatan bertumpu pada dewan, menggunakan komite secara luas (S.H. Sarundajang, 2001 : 39). Pemerintahan daerah model Rusia sangat bernuansa administratif, berdasar prinsip-prinsip pencapaian fungsi secara efektif dan efisien dengan mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Sementara pemerintahan daerah model Inggris sangat bernuansa politis, sangat memperhatikan nilai-nilai demokratis, sehingga pemerintahan daerah di desain untuk keseimbangan keinginan negara dan masyarakat lokal.

B. Fungsi Pemerintahan
Menurut Ryaas Rasyid, tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah menjaga  ketertiban dalam kehidupan  masyarakat sehingga setiap warga dapat menjalani kehidupan secara tenang, tenteram dan damai. Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, pemerintahan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri. Pemerintah dituntut mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap orang dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (dalam  Haryanto dkk, 1997 : 73).
Secara umum fungsi pemerintahan mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (H. Nurul Aini dalam  Haryanto dkk, 1997 : 36-37).
  • Fungsi Pengaturan.
Fungsi ini dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan peraturan agar kehidupan dapat berjalan secara baik dan dinamis. Seperti halnya fungsi pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi pengaturan terhadap masyarakat yang ada di daerahnya. Perbedaannya, yang diatur oleh Pemerintah Daerah lebih khusus, yaitu urusan yang telah diserahkan kepada Daerah. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan Peraturan Daerah yang dibuat bersama antara DPRD dengan eksekutif.
  • Fungsi Pelayanan.
Perbedaan pelaksanaan fungsi pelayanan yang dilakukan Pemerintah  Pusat dan Pemerintah Daerah terletak pada kewenangan masing-masing. Kewenangan pemerintah pusat mencakup urusan Pertahanan Keamanan, Agama, Hubungan luar negeri, Moneter dan Peradilan. Secara umum pelayanan pemerintah mencakup pelayanan publik (Public service) dan pelayanan sipil (Civil service) yang menghargai kesetaraan.
  • Fungsi Pemberdayaan.
Fungsi ini untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, fungsi ini menuntut   pemberdayaan Pemerintah Daerah dengan  kewenangan  yang cukup dalam pengelolaan sumber daya daerah guna melaksanakan berbagai urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu meningkatkan peranserta masyarakat dan swasta dalam kegiatan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan pemerintah, pusat dan daerah, diarahkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi masyarakat, yang pada jangka panjang dapat menunjang pendanaan Pemerintah Daerah. Dalam fungsi ini pemerintah harus memberikan ruang yang cukup bagi aktifitas mandiri masyarakat, sehingga dengan demikian partisipasi masyarakat di Daerah dapat ditingkatkan. Lebih-lebih apabila kepentingan masyarakat diperhatikan, baik dalam peraturan maupun dalam tindakan nyata pemerintah.