Saturday, March 31, 2012

Profil Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf

Pasangan Nomor Urut Lima (Partai Aceh)
Pasangan ini, bisa dikatakan pasangan antar lintas generasi, karena mewakili generasi tua dan muda di tubuh organisasi mantan gerilyawan Aceh yaitu GAM yang sekarang sudah berorientasikan ke partai lokal yaitu Partai Aceh.
Zaini Abdullah adalah generasi awal di tubuh Gerakan Aceh Merdeka. Lama menetap di luar negeri, lelaki dandy berusia 72 tahun ini memutuskan pulang kampung dan diusung Partai Aceh sebagai calon gubernur Aceh.
Zaini dipasangkan bersama Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka pengganti Abdullah Syafie yang kini menjabat Ketua Partai Aceh.  Lahir di Aceh Timur, 3 April 1964, Muzakir Manaf adalah sosok yang tak banyak bicara. Pembawaannya tenang dan tidak meledak-ledak.
Dalam kampanyenya pasangan ZIKIR (Zaini-Muzakir) ini menjanjikan perubahan perbaikan sistem birokrasi jika terpilih kelak.

dr. H. Zaini Abdullah
Tempat/tgl lahir : Sigli, 24 April 1940.
Jabatan terakhir : Mantan Juru Runding GAM.
Pendidikan : Sekolah Rakyat Beureunuen Pidie Tahun 1952, SMP Sigli Pidie tahun 1957, SMA Kutaraja Banda Aceh tahun 1960, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 1972.

Muzakir Manaf
Tempat/tgl lahir : Aceh Timur, 3 April 1964.
Jabatan terakhir : Ketua Partai Aceh dan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA).
Pendidikan : MIN Sampoiniet tahun 1977, SMP Negeri Idi tahun 1981, SMA Swasta Pase Sejaya Panton Labu Tahun 1984.

Visi : Aceh yang bermartabat sejahtera berkeadilan dan mandiri berlandaskan UU Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki

Misi :
  • Memperbaiki tata kelola pemerintahan aceh yang amanah melalui implemantasi dan penyelesaian turunan UU Pemerintahan Aceh untuk menjaga perdamaian yang abadi.
  • Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai dinul Islam di semua sektor kehidupan masyarakat.
  • Memperkuat struktur ekonomi dengan kualitas sumber daya manusia.
  • Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.
  • Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional terintegrasi dan berkelanjutan.
Referensi : kip-acehprov.go.id, atjehpost.com, www.suara-tamiang.com

Profil Muhammad Nazar-Nova Iriansyah

Pasangan Nomor Urut Empat (Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai SIRA)
Pasangan Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah mendapat nomor urut 4. Pasangan ini melaju dengan percaya diri yang tinggi karena merupakan satu-satunya pasangan yang diusung tiga partai sekaligus, pasangan ini diusung oleh koalisi Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai SIRA.
Sebelumnya, Muhammad Nazar adalah wakilnya Irwandi Yusuf. Belakangan, keduanya "cerai" dan saling menggandeng pasangan baru. Nazar pun menggaet Nova Iriansyah sebagai calon pendampingnya.
Pasangan ini baru memastikan mendaftar hanya beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup pada 7 Oktober 2011. Situasi politik yang serba tak pasti ketika itu, membuat  keputusan diambil saat-saat terakhir.
Lahir di Ulim, Pidie, pada 1 Juli 1973, Muhammad Nazar adalah mantan Ketua Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Setelah perjanjian damai ditandangani, SIRA bermetamorfosis menjadi partai lokal. Nazar sendiri duduk sebagai Ketua Dewan Pembina partai lokal bentukan mantan aktivis ini.
Nazar banyak bergabung di organisasi. Ketika itu, aktivitasnya di SIRA yang menuntut referendum untuk Aceh kerap membuatnya berurusan dengan polisi. Ia pun pernah dua kali dijebloskan ke penjara. Seperti Irwandi, Nazar mendapat amnesti setelah perjanjian damai ditandatangani.
Nazar menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di IAIN Ar-Raniry jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada 1997. Setahun kemudian, ia mengambil program Non Gelar Sarjana Purna Ulama di IAIN Ar-Raniry.
Sedangkan Nova Iriansyah adalah mantan Ketua Partai Demokrat Aceh. Lelaki kelahiran Banda Aceh, 22 November 1963 ini berlatar belakang pengusaha. Usai menamatkan S1 di Institute 10 November Surabaya pada 1988, Nova melanjutkan program magister di Institute Teknologi Bandung dan selesai pada 1998.

H. Muhammad Nazar, S.Ag
Tempat/tgl lahir : Pidie Jaya, 1 Juli 1973.
Jabatan terakhir : Wakil Gubernur Aceh.
Pendidikan : MIN Tanjong Ulim Pidie Jaya tahun 1986, MTsN Bandar Dua Pidie Jaya tahun 1989, Madrasah Aliyah Negeri  Ulim Pidie Jaya tahun 1992, Strata Satu (S1) IAIN A-Raniry Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (ASA) Banda Aceh tahun 1997, Program Non Gelar Sarjana Purna Ulama IAIN Ar-Raniry tahun 1998.

Ir. Nova Iriansyah, MT
Tempat/tgl lahir : Banda Aceh, 22 November 1963.
Jabatan terakhir : Anggota DPR RI.
Pendidikan : TK Persit KCK Banda Aceh tahun 1970, SD Negeri 3 Takengon tahun 1976, SMP Negeri 1 Banda Aceh tahun 1979, SMA Negeri 1 Banda Aceh tahun 1982, Sarjana Teknik Arsitektur (S1) Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya tahun 1988, Magister Teknik Arsitektur (S2) Institut Teknologi Bandung Tahun 1998.


Visi : Tegaknya perubahan dan pembangunan yang menyelamatkan serta menyejahterakan menuju negeri Aceh yang aman, damai, maju, berkeadilan, bermartabat dan berperadaban (baldatun thaiyyibatun wa rabbun ghafur) serta mencapai kemenangan dunia-akhirat.

Misi :
  • Membangun masyarakat yang beriman, berkualitas, produktif, berkeadilan pro-pembangunan dan berperadaban sebagai kekuatan perubahan serta pembangunan yang benar, menyelematkan dan menyejehterakan secara berkelanjutan.
  • Membangun berbagai kebutuhan fundamental yang menyelamatkan serta menyejahterakan rakyat secara berkelanjutan.
  • Normalisasi dan membangun pemerintahan yang benar sesuai undang-undang serta kearifan Aceh di semua level menuju good corporate governance dan clean government secara berkelanjutan dan berkarakter.
  • Normalisasi penegakan hukum, pembinaan politik serta keamanan yang benar dan tanpa diskriminasi baik dalam rangka mencegah penyimpangan, seperti korupsi dan kolusi maupun menjamin ketertiban serta kedamaian rakyat.
Referensi : kip-acehprov.go.id, atjehpost.com, www.suara-tamiang.com

Profil Darni M Daud-Ahmad Fauzi

Pasangan Nomor Urut Tiga (Independen)
Pasangan Darni M.Daud - Ahmad Fauzi mendapat nomor urut 3 saat pengundian nomor pada 2 Januari lalu. Keduanya adalah pasangan akademisi. Darni Daud adalah Rektor Universitas Syiah Kuala, sedangkan Ahmad Fauzi adalah dosen senior di Institute Agama Islam Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, dan pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Usuluddin di kampus itu.
Itu sebabnya, dalam jargon kampanye mereka menyebut dirinya "pasangan Jantong Hatee, merujuk pada kampus Universitas Syiah Kuala yang sering disebut jantung hati masyarakat Aceh.
Pasangan ini merupakan kandidat keempat yang mendaftar ke KIP Aceh. Mereka maju lewat jalur perseorangan.
Ketika mendeklarasikan pendampingnya, Darni mengatakan, ia memilih Ahmad Fauzi lantaran dianggap sebagai akademisi senior dan menguasai ilmu politik dan agama. Darni juga mengatakan, latar belakang daerah asal yang berbeda merefleksikan keberagaman masyarakat Aceh. Darni sendiri berasal dari Pidie Jaya dengan istri dari Aceh Tengah. Sedangkan Ahmad Fauzi berasal dari Aceh Timur dan istrinya dari Aceh Besar.
"Saya punya menantu dari Simeulue. Jadi, kami ini berasal dari wilayah yang beragam seperti masyarakat Aceh yang juga beragam. Ini salah satu kekuatan kami untuk maju dalam pilkada," ujarnya.

Prof. Dr. H. Darni M Daud, MA
Tempat/tgl lahir : Pidie 25 Juli 1961
Jabatan terakhir : Rektor Universitas Syiah Kuala
Pendidikan : SD Negeri Blang Kuta Kec. Bandar Dua tahun 1973, SMP Negeri Ulee Glee Kce Bandar Dua tahun 1976, SPG Negeri Bireun tahun 1980, FKIP Bahasa Inggeris Unsyiah Banda Aceh tahun 1985, TEFL Program School of Education The Universyty of Sidney Australia tahun 1989, TESOL Program Intercultural Communication New York University New York USA Tahun 1994, Education/ Higher Education, School of Education Oregon State University Corvallis USA tahun 2000, Program Pendidikan Singkat Angkatan XVI LEMHANAS Jakarta 2009.

Dr. Tgk. Ahmad Fauzi, M.Ag
Tempat/tgl lahir : Langsa 1 Mei 1957.
Jabatan terakhir : Pembantu Dekan III Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.
Pendidikan : SD 2 Peureulak Aceh Timur tahun 1970, Pendidikan Guru Agama 4 Tahun Peureulak Aceh Timur tahun 1973, Pendidikan Guru Agama 6 tahun Peureulak Aceh Timur Tahun 1976, Dayah Darul Huda Idi Rayeuk Tahun 1977, Dayah Tinggi Pante Kulu Banda Aceh tahun 1984, S1 Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh tahun 1984, S2 Pasca Sarjana (PPs) IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Tahun 2000, S3 Program Pasca Sarjana Universitas Islam Umdurman Khartoum Sudan tahun 2010.

Visi : Terwujudnya harkat dan martabat masyarakat Aceh yang damai, sejahtera berlandaskan iman dan taqwa.

Misi :
  • Perbaikan dan peningkatan ajaran agama/syariat islam, kualitas pendidikan, kebudayaan dan kesehatan masyarakat Aceh yang handal dan merata.
  • Perbaikan dan peningkatan perekonomian daerah yang adil berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
  • Perbaikan dan peningkatan iinfrastruktur publik untuk penguatan daya saing daerah pengurangan risiko bencana dan penjaminan kesejahteraan masyarakat.
  • Perbaikan dan peningkatan pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang professional bersih transparansi adil dan akuntabel.
Referensi : kip-acehprov.go.id, atjehpost.com, www.suara-tamiang.com

Profil Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan

Pasangan Nomor Urut Dua (Independen)
Ketika masih masih dilanda konflik bersenjata, Irwandi pernah menjadi menjadi juru prograganda GAM. Ketika itu, ia kerap berbicara dengan media menggunakan nama samaran. Petualangannya terhenti pada 23 Mei 2003. Irwandi ditangkap di Jakarta beberapa hari setelah pemberlakuan status darurat militer. Pengadilan Negeri Banda Aceh kemudian menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara untuknya.
Tsunami yang membobol penjara Keudah pada 24 Desember 2004 membuat Irwandi lolos dari penjara. Entah bagaimana caranya, lewat Batam ia kabur ke Malaysia dan muncul di Helsinki, Finlandia, saat perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005.
Ketika perjanjian damai  ditandatangani, salah satu kesepakatannya adalah memberi pengampunan kepada tahanan politik. Dengan begitu, ia tak perlu lagi menghabiskan masa tahanannya. Irwandi pun muncul di depan publik dan duduk sebagai perwakilan GAM di misi pemantau perdamaian Aceh Monitoring Mission.
Setahun kemudian, bersama Muhammad Nazar, ia terpilih sebagai gubernur Aceh dan dilantik pada 8 Februari 2006. Belakangan, Irwandi pecah kongsi dengan pimpinan GAM yang kemudian membentuk partai lokal bernama Partai Aceh.
Usai masa jabatannya, dosen di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala ini kembali mengadu nasib mengincar posisi gubernur untuk kedua kalinya, sang incumbent akan melaju dengan menggandeng Muhyan Yunan. Mereka maju dari jalur perseorangan.
Muhyan Yunan sendiri adalah mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh. Lahir di Meukek pada 9 Juni 1953, Muhyan menyelesaikan pendidikan Strata-3 di Universitas Satyagama Jakarta (2005) dan University Utara Malaysia (UMM) Malaysia pada 2011.
Pasangan ini mengusung program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), beasiswa anak yatim, bantuan keuangan Peumakmu Gampong dan Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat (PUEM).

drh. Irwandi Yusuf, M.Sc
Tempat/tgl lahir : Bireun, 2 Agustus 1960
Jabatan terakhir : Gubernur Aceh
Pendidikan : MIN Cot Bada tahun 1970, Madrasah Tsanawiyah Negeri Bieun tahun 1975, SNAKMA Saree tahun 1979, Sarjana (S1) Jurusan Klinik Veteriner Kedokteran Hewan Unsyiah Banda Aceh tahun 1987, Pasca Sarjana (S2) Veterinery Medicine, Oregon State University Amerika Serikat Tahun 1993.

Dr. Ir. Muhyan Yunan, M.Sc
Tempat/tgl lahir : Aceh Selatan, 9 Juni 1953
Jabatan terakhir : Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh.
Pendidikan : SD Muhammadyah Meukek tahun 1966, SMP Negeri Meukek tahun 1969, SMA Negeri Tapaktuan tahun 1972,  Sarjana Muda Teknik Sipil Unsyiah tahun 1977, Fakultas Teknik Sipil (S1) Universitas Diponegoro tahun 1980, Pasca Sarjana (S2) Institut Teknologi Bandug, Jakarta 1992,  Master Dagree (S2) University of Strathclyde Glasgow United Kingdom Scotlandia tahun 1993, Doktor (S3) Universitas Satyagama Jakarta tahun 2005, Doktor (S3) University Utara Malaysia (UUM) Malaysia 2011.

Visi: Berlanjutnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor kehidupan masyarakat Aceh dan pemerintahan, yang menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas, bagi terbentuknya suatu Pemerintahan Aceh bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga mulai 2012, Aceh dapat terus tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam kemakmuran.

Misi :
  • Membangun, meningkatkan dan memelihara infrasruktur dasar untuk mendukung sistem produksi serta pelayanan dasar.
  • Melanjutkan pembangunan SDM berlandaskan kompetensi dengan tetap berpegang pada nilai-nilai budaya masyarakat Aceh.
  • Membangun ekonomi kerakyatan yang merata di seluruh wilayah Aceh secara berkelanjutan dan berkeadilan.
  • Memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan berkeadilan dan ramah lingkungan guna mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh.
  • Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa guna mendukung pelayanan publik yang murah, cepat, tepat sasaran, berkualitas dan merata.
  • Mewujudkan perdamaian berkelanjutan melalui implementasi MoU Hesinki yang berdasarkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Referensi : kip-acehprov.go.id, atjehpost.com, www.suara-tamiang.com

Profil Ahmad Tajuddin-Teuku Suriansyah

Pasangan Nomor Urut Satu (Independen)
Pasangan yang mendapatkan nomor urut satu ini ikut bertarung dalam Pilkada Aceh melalui jalur perseorangan. 
Teungku Ahmad Tajudin, atau lebih dikenal dengan Abi Lampisang masih menjadi sosok yang misterius bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Hal itu wajar karena sebelumnya Abi tidak eksis di media massa seperti halnya kandidat lain yang memiliki peran sorotan medium publik di Aceh. Baru menjelang Pemilukada saja Abi Lampisang terdengar di telinga masyarakat, lantaran maju sebagai Aceh satu melalui jalur independen bersama T. Surianyah.
Sehari-hari Teungku Ahmad Tajuddin adalah Pimpinan Lembaga Pendidikan Islam Dayah Al-Muhajirin Tgk. Chik Di Ujeun Lampisang Tunong, Seulimeum, Aceh Besar. Penulis Kitab 'Ilme Jihad Bak Reot Uhw Endatu' ini lahir di Seulimum pada 15 September 1962. Dia juga adalah mantan khadi di Gerakan Aceh Merdeka.
Adapun pasangannya, Suriansyah adalah mantan Direktur Utama pabrik kertas PT. Kertas Kraft Aceh (Persero) periode 2002-2007. Dunia politik tak asing lagi bagi pria kelahiran Lhokseumawe, 1 Mei 1954 ini. Lama di Golkar, ia pernah menjadi anggota MPR RI periode 1987-1992. Pada 1992-1999, ia menjadi anggota DPR-RI selama dua periode. Tahun 1999, masa Pemerintahan Gus Dur, Suriansyah menjadi anggota Tim Penasehat Presiden Urusan Aceh.

Tgk H Ahmad Tajuddin AB
Tempat/tgl lahir : Aceh Besar, 15 September 1962.
Jabatan terakhir : Pimpinan Lembaga Pedidikan Islam Dayah Al-Muhajirin Tgk Chik Diujeun Lampisang Tunong – Seulimuem.
Pendidikan : SD Negeri 1 Seulimuem Aceh Besar tahun 1976, Madrasah Tsanawiyah Dayah Malikussaleh Kec. Tanah Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara tahun 2004, Madrasah Aliyah Dayah Malikussaleh Kec. Tanah Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara tahun 2007.

Ir. H Teuku Suriansyah, M.Si
Tempat/tgl lahir : Lhokseumawe, 1 Mei 1954.
Jabatan terakhir : Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Pendidikan : SD Negeri 5 Lhokseumawe tahun 1965, SMP Negeri 1 Lhoksemawe tahun 1968, SMA Negeri 3 Setia Budi Jakarta tahun 1971, Fakultas Teknik Listrik (S1) Universitas Indonesia Jakarta tahun 1983, Pasca Sarjana (S2) Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Jakarta tahun 1995.

Visi : Menyelamatkan kehidupan anak bangsa, dunia dan akhirat.

Misi :
  • Mempercepat pembangunan infrastruktur strategis
  • Mengedepankan nilai-nilai agama dan budaya daerah dalam aktifitas pembangunan
  • Memantapkan upaya peningkatan kesejahteraan khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli yang bermuara pada pengurangan kemiskinan.
  • Melestarikan lingkungan dan menjaga keserasian tata ruang
  • Meningkatkan nilai tambah sumber daya lokal dan menghidupkan pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat secara merata
  • Meningkatkan kinerja birokrasi dan pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).
Referensi : kip-acehprov.go.id, atjehpost.com, www.suara-tamiang.com

Profil Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2012-2017 Beserta Visi dan Misinya

Setelah mengalami penundaan, pelaksanaan Pilkada Aceh akan segera dihelat pada tanggal 9 April 2012. Ajang pesta demokrasi rakyat tersebut beberapa kali terpaksa harus ditunda pelaksanaanya disebabkan oleh beberapa hal, yang diantaranya adalah sempat terjadinya gangguan keamanan di Aceh dengan sejumlah aksi kekerasan menggunakan senjata api terjadi hingga merenggut korban nyawa, aksi tersebut dilatar belakangi oleh Pilkada itu sendiri.
Pilkada Aceh diyakini nantinya akan berjalan dengan damai, karena para kandidat, yaitu lima calon gubernur dan wakil gubernur serta sejumlah calon bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota telah meneken deklarasi pilkada damai di Aceh. Kandidat diminta berkompetisi secara fair dan tidak saling intimidasi. Penandatangan deklarasi damai ini telah digelar di Masjid Baiturahman Banda Aceh, pada Rabu (14/3/2012). Mereka berikrar untuk tetap menjaga perdamaian dan menghormati hasil pilkada.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang alkan digelar pada tanggal 9 April 2012 nanti itu akan dilaksanakan serentak dengan pilkada 17 bupati/wali kota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Yang paling menjadi sorotan publik pada saat ini adalah siapakah yang nantinya akan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi di Aceh tersebut. Karena ke 5 calon gubernur dan wakil gubernur pada pilkada Aceh kali ini memiliki kekuatan tersendiri yang tidak dapat dipungkiri lagi akan dapat membingungkan para pemilih nantinya.
Dari lima kandidat calon gubernur dan wakil gubernur, terdapat tiga calon jalur perseorangan (independen) dan dua calon jalur partai. Para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada Aceh 2012 bisa dikatakan sangat bervariasi, karena datang dari berbagai kalangan, mulai dari ulama kharismatik, akademisi, tokoh politik Aceh, mantan gubernur, dan mantan wakil gubernur, mereka ikut ambil bagian dalam mencoba peruntungannya untuk bisa menjadi orang No. 1 di Aceh.
Dan berikut profil 5 calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada Aceh 2012 sesuai dengan nomor urut :
  1. Ahmad Tajuddin-Teuku Suriansyah
  2. Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan
  3. Darni M Daud-Ahmad Fauzi
  4. Muhammad Nazar-Nova Iriansyah
  5. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf
Klik nama kandidat untuk melihat profil!!!

Sunday, March 25, 2012

The Versatile Blogger (Award Ke-2)

Siapa yang gak senang dapat award, ya akhirnya saya mendapatkan award yang ke-2 saya. Sebenarnya ini seperti “ketiban durian runtuh” karena saya mendapatkan award disaat yang tidak terduga, maklum award ke-2 ini didapatkan tanpa harus melakukan perburuan, berbeda dengan award yang pertama dulu, saya harus mengerahkan segenap tenaga untuk mendapatkannya (agak lebhay).

Award The Versatile Blogger saya dapatkan dari mantan guru saya Kak Chaira Hisan. Ini adalah jenis award berantai yang diberikan dengan gratis tanpa diskon kepada para blogger lainnya, yang mana si penerima wajib melakukan dua tugas nan mulia, yaitu menuliskan 7 fakta tentang dirinya kemudian melanjutkan award ini kepada 7 blogger lainnya.

Anyway busway, berikut 7 fakta tentang diri saya versi “on the spot”, cekidot :

Yang Pertama : Selalu jalan kaki dari TK sampe kuliah. Seharusnya hal ini sangat layak untuk masuk dalam daftar “guinness world record” atau minimal “museum rekor Indonesia”, bagaimana tidak, lebih kurang sudah 10 tahun dalam karir saya untuk mengejar cita-cita yakni menuntut ilmu saya selalu menggunakan salah satu nikmat terbesar dari Allah ini yaitu berjalan kaki.

Yang Kedua : Gak suka ikan. Entah kenapa waktu kecil saya kurang menyukai salah satu makanan yang kaya akan manfaat ini. Namun hal tersebut kini sedikit berubah, sejak merantau ke kota pelajar Jogja saya telah jatuh cinta terhadap salah satu jenis ikan yang digandrungi oleh semua umur dari anak-anak sampai lansia yaitu Lele, karena di Jogja terdapat salah satu makanan favorit saya yaitu Pecel Lele (Maknyuss tenan iki).

Yang Ketiga : Mati gaya kalau difoto. Kebanyakan orang kalau melihat kamera maka mereka akan menyiapakan berbagai macam jurus (gaya) untuk menghadapinya, namun hal tersebut tidak berlaku bagi saya, saya cukup menyiapkan senyum terbaik saya, itu saja sudah cukup bagi saya.

Yang Keempat : I’m sufi (suka film). Menonton film adalah salah satu kegemaran saya. Namun ada fakta menarik dibalik itu, walaupun saya hobi dengan menonton film, seumur hidup saya baru satu kali nonton film di bioskop itupun secara tidak sengaja, sisanya saya nonton di “bioskop TransTV” dan laptop buntut saya. Jadi saya orangnya kuper (kurang pergi) banget.

Yang Kelima : Kuliah di Ilmu Pemerintahan. Dari kecil saya bercita-cita apabila besar kelak ingin menjadi seorang Dokter, jadi saya mempersiapkan diri dengan memilih jurusan IPA ketika duduk dibangku sekolah, dan tiga tahun saya habiskan waktu untuk bergelut dengan Fisika, Kimia, dan Biologi dkk agar kelak mampu berkuliah di Fakultas Kedokteran. Namun ternyata Allah berkehendak lain, kini saya kuliah di sebuah jurusan yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak saya yaitu Ilmu Pemerintahan. Banyak hikmah yang dapat saya ambil dari sini, salah satunya adalah the man purpose, and the god dispose.

Yang Keenam : Pingin lanjutin kuliah (S2) keluar negeri. Saya kira ini adalah mimpi banyak orang, dan ini juga ikut menjadi salah satu dari mimpi saya. Dan Belanda adalah negri yang saya impikan untuk bisa saya jadikan tempat menimba ilmu selanjutnya. Ada dua alasan mengapa saya memilih Belanda, pertama karena saya mendengar bahwa salah satu fakultas ilmu social politik terbaik di dunia ada di perguruan tinggi Belanda, hal tersebut saya ketahui ketika saya mengunjungi pameran beasiswa Belanda dua tahun yang lalu dan sejak saat itu saya meniatkan diri agar kelak S2 nya kalau bisa disitu. Alasan kedua adalah karena di Belanda terdapat salah satu situs sejarah Aceh yang katanya di Aceh sendiri tidak ada, oleh karena itu saya ingin mengunjungi dan melihat situs sejarah tersebut. Mudah-mudahan cita-cita yang mulia ini tercapai aamin ya Allah… 

Yang Ketujuh : Calon Presiden 2034. Merujuk pada fakta yang ke-5, salah satu hikmah saya ditelantarkan di Ilmu Pemerintahan bukanyya Kedokteran Umum bisa jadi karena Allah punya rencana yang lebih baik bagi hambanya. Mungkin saja Allah tidak ingin melihat saya menjadi seorang dokter, melainkan mentakdirkan seorang Saddam (presiden Iraq) Rafsanjani (presiden Iran) mejadi seorang Mr. Presiden di masa depan. :D 

Itulah sedikit fakta tentang saya, selebihnya nanti akan saya tulis dalam buku best seller saya dan akan diterbitkan beberapa tahun kemudian (coming soon). Dan berikut adalah 7 orang penerima Award yang akan melanjutkan estafet yang tiada hentinya ini :
  1. Saling Sharing
  2. ..Visit Banda Aceh 2011 .. Furqan Ar-Rasyid..
  3. .....A Little Princess Diary.....
  4. Perkasa Alam
  5. Restu Andrian
  6. Secercah Sinar Mentari
  7. Wawasan Kebumian

Selamat Mengerjakan PRnya sobat.... :)

Sunday, March 18, 2012

Pemimpin, Kepemimpinan, dan Signifikansinya Dalam Islam

Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita melakukan suatu pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini membantu kita untuk memahami dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah.
Seorang ulama bernama Syekh Abu Zahra dari kelompok Sunni menyamakan arti Khilafah dan Imamah. Ia berkata, ”Imamah itu disebut juga sebagai Khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana manusia shalat di belakang imam.”[1]
Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan pengertian antara khilafah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah sepakat bahwa pengertian Imam dan Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imam dan Khilafah. Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah Khalifah, namun mereka bukanlah Imam.[2]
Bagi kelompok Syi’ah sikap seorang Imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW, Khalifah Rasulullah SAW yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan wajib di patuhi serta diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral dari pada khalifah.[3]
Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik.
Wacana mengenai kepemimpinan di kalangan umat Islam memiliki ragam pendapat. Pada golongan besar umat Islam. yakni Sunni dan Syi’ah terdapat konsep kepemimpinan yang signifikan berbeda. Bahkan di kalangan umat Islam yang mengklaim dirinya bukanlah bagian dari suatu kelompok besar tersebut juga memiliki pandangan berbeda, kelompok ini cenderung pada pemikiran konsep kepemimpinan barat. Kelompok ini sering disebut sebagai kalangan umat Islam yang sekuler. Banyak ragam pendapat mengenai kepemimpinan dalam Islam. Akan tetapi ketiga kelompok Islam di atas memiliki kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Suatu masyarakat tidaklah mungkin dipisahakan dari sebuah kepemimpinan.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.[4]
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama. Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah ”Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”, kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.”[5] Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.
Pendapat yang tidak rasional dari kedua kelompok di atas adalah kelompok Islam sekuler. Kelompok Islam sekuler hanya memahani Islam secara parsial ,atau bisa jadi mereka ditugaskan oleh kelompok pembenci Islam untuk mendistorsi pahaman umat Islam akan agamanya.
Alam semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan imateri. Islam merupakan agama yang sempurna dimana pengaturannya meliputi seluruh alam semesta ini. Ketika kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas politik, maka seolah-olah Islam tidak mengatur bagaimana kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Justru terkadang manusia memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap realitas alam semesta ini. Sehingga manusia dapat saja berbuat kekeliruan dalam bertindak dan memutus suatu perkara. Manusia dalam hal ini seolah-olah tidak berdaya, akan tetapi kalau dicerna lebih lanjut maka ini sebenarnya menguntungkan, karena ada kerja Ilahi yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan. Manusia cukup mentaati dan menerapkan hukum Allah tersebut.
Hanya manusia-manusia yang dibimbing oleh Tuhanlah yang dapat memahami realitas alam semesta. Manusia yang memahami agama Islam secara komprehensif baik dimensi materi ataupun imateri yang dapat membawa suatu masyarakat menuju arah kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Selain itu diangkatnya seseorang menjadi pemimpin (nabi, para imam, atau ulama/fuqaha) juga berdasarkan gerak dan kebijaksanaan yang diraih oleh orang tersebut dalam perjalanan spiritualnya. Dalam hal ini terdapat faktor dari dari manusia itu sendiri yang kemudian dijaga dan diridhoi Allah SWT.


[1] Al-Milal wan-Nihal I/24 atau lihat Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta, hlm16.
[2] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 18
[3] Ibid.
[4] Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989, Hlm 16-17.
[5] Ushul Kafi, jilid 1 hal 58 kitab Fadhlu al ilm, bab al-musta ‘kilubi ilmihi wal mubahy bihi, hadis 5. lihat Imam Khomeini. Sistem Pemerintahan Islam, hal 90.

Friday, March 16, 2012

Kriteria Pemimpin Ideal Dalam Islam

Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Maka ada bebrapa kriteria pemimpin yang patut kita jadikan pedoman dalam memilih seorang pemimpin. Yaitu :
  1. Beriman & Bertaqwa dengan sebenarnya, yaitu: mampu memelihara hubungan baiknya dengan Allah (seperti dengan shalat), memelihara hubungan baiknya dengan manusia (seperti dengan zakat) & tunduk secara bersama kepada Allah, Rasul-Nya & orang-orang beriman.
  2. Amanah /credible / dapat dipercaya sebagai wujud keimanannya pad Allah (HR. Ahmad, QS. 2: 283). Allah mengisyaratkan untuk mengangkat “pelayan rakyat” yang kuat & dapat dipercaya (الْقَوِيُّ الْأَمِينُ : QS. 28: 26). Secara umum, orang dipercaya karena 2 hal, yaitu:
    • Integritas kepribadiannya, seperti: shiddiq (benar & jujur), adil, ramah, istiqamah & bertanggung jawab. Uswatun hasanah
    • Kemampuannya, seperti: profesional/ahli       dalam memenej tugas, atau fathanah /cerdas. Pemimpin yang fathanah harus memiliki 3 kecerdasan, yaitu:
      • Kecerdasan intelektual: Berilmu, berwawasan luas, cerdas-kreatif, memiliki pandangan jauh ke depan / visioner (QS. 59: 18)
      • Kecerdasan spiritual: Kemampuan menterjemahkan kehendak Allah dalam pikiran, sikap & prilaku. Dia melakukan sesuatu bukan karena yang lain melainkan hanya karena Allah semata (Ikhlas) 
      • Kecerdasan emosional: Sabar, yakni mampu mengendalikan emosi jiwanya, tahu kapan harus bertindak tegas & kapan toleran.
  3. Syajâ‘ah, yaitu: berani menyatakan kebenaran & memutuskan perkara secara adil & bijak, serta berani menyeru pada kebaikan & mencegah kemungkaran. Hanya orang yang benar-benar bersih & yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya serta takut pada Allah yang berani menyampaikan kebenaran risalah Ilahi.
  4. Mencintai & dicintai Rakyatnya, Bukti kecintaan pemimpin terhadap rakyatnya yaitu dia kenal & dekat dengan rakyatnya, peka dan peduli terhadap nasib rakyatnya, tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mendoakannya. Kemampuan merasakan penderitaan manusia dan sangat peduli dengan keselamatan mereka, dan dimiliki oleh Nabi saw yang tulus mencintai mereka.
  5. Uswatun Hasanah, yaitu: bisa menjadi teladan yang baik dan teduh sehingga mampu mendidik orang yang dipimpinnya dengan keteladanan dan nasihat yang baik pula.
Ketika dalam sebuah komunitas, tidak ada calon pemimpin yang bisa memenuhi kriteria pemimpin ideal seperti di atas, maka kita dituntut untuk bisa menimbang calon pemimpin yang paling mendekati kriteria tersebut. Untuk itu, cari info sebanyak-banyaknyanya dari orang-orang terdekat atau orang yang pernah dekat dengannya.
Jika track record-nya buruk, bermasalah, dzalim apalagi  suka mempermainkan agama (QS.5: 51,57) maka haram untuk memilihnya. Jika tetap mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan, maka pilih yang paling sedikit madlaratnya. Kaidah fiqhiyyah menuntunkan: أَخَفُّ الضَّرُورين : pilih yang paling ringan madharatnya di antara keduanya.

Wednesday, March 14, 2012

Pencerdasan Pemilih Pemula

Pemilih pemula dalam ritual demokrasi (Pemilu Legisaltif, Pilpres, Pemilukada) selama ini agaknya sengaja dijadikan objek politik sebagai bagian dari massa untuk kepentingan elit sesaat. Selepas momen politik berlangsung praktis pemilih pemula ditinggal begitu saja bak pepatah ’’habis manis sepah dibuang”. Fenomena riil akan hal itu tampak jelas dari momentum kampanye selama ini yang justru menampakkan pembodohan pemilih. Sekadar melibatkan pemilih pemula untuk meramaikan kampanye melalui karnaval kendaraan bermotor, joget bersama bersama artis, bagi-bagi kaos, tanpa dibarengi dengan proses-proses pencerdasan melalui dialog, pemahaman visi-misi kandidat misalnya. Ruang dialog yang mampu membentuk dan mengasah rasionalitas pemilih pemula belum mampu terbangun. Kalaupun ada proses tersebut, selama ini tidak lebih dari upaya pemilih pemula sendiri yang berasal dari komunitas kampus.
Hal yang kirannya belum terjadi pada pemilih pemula dari pelajar (SMU), maupun dari pemilih pemula di luar pelajar dan mahasiswa yakni mereka dengan usia 17-21 tahun yang sudah tidak lagi mengenyang bangku pendidikan. Mereka semakin menjadi sapi perahan elit politik tanpa adanya upaya proses pencerdasan yang semestinya sedini mungkin didapat. Akibat yang kemudian muncul adalah tidak adanya perbedaan distingtif antara pemilih pemula dengan pemilih uzur, yang mana konsideran dalam mengambil keputusan politik sekadar berdasarkan popularitas figur, nderek tiyang sepuh , atau lebih sial lagi menjadi bagian dari pemilih pragmatis yang mendasar pada berapa nilai nominal uang yang akan diterima. Dalam proses seremoni demokrasi selama ini sikap kritis yang semestinya muncul dari pemilih pemula menjadi kurang nampak.
Ekspolitasi terhadap pemilih pemula oleh elit kian tak terhindarkan jika melihat munculnya organisasi sayap partai yang didesain guna menggalang basis kekuatan pada pemilih pemula. Dalam strategi politik memang halal hukumnya, bahkan satu keharusan (wajib) ketika partai mencoba membidik segmen pemilih pemula melalui organisasi sayap yang dikhususkan untuk perjuangan pemilih pemula.
Namun demikian hakikat ideal dari sayap partai yang sejatinya berfungsi sebagai instrumen pendidikan politik semestinya juga dibangun. Melalui program-program yang berakar dari kebutuhan dasar pemilih pemula berupa pembentukan pola pikir politik dengan basis rasionalitas. Mempertimbangkan segala keputusan politik atas dasar kemampuan, visi-misi, dan track record dari para kandidat.
Pengaruh keluarga
Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.
Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat. Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.
Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim. Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.
Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).
Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.
Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.

Peran Pemilih Pemula Dalam Pemilu & Pilkada

’’Berikan aku sepuluh pemuda, lalu aku akan sanggup menggemparkan dunia”
Letupan semangat dari Bung Karno di atas terbukti benar dan tetap relevan. Akan peran pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang tidak dapat dilupakan. Sejumlah fakta sejarah menggambarkan peran dan kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Mulai dari Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga reformasi 1998.
Bahwa pemuda memiliki energi potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Dalam kondisi kekinian peran dan eksistensi kaum muda dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Pada satu sisi harus menyiapkan diri untuk bersaing dalam iklim kompetesi global, sementara pada sisi yang lain gelombang demokrasi juga menuntut kaum muda untuk aktif jika mengingankan eksistensinya diakui serta mampu membawa perubahan. Termasuk di dalamnya gelombang demokrasi yang berujung pada munculnya kompetisi politik di ranah lokal bernama pemilihan kepala daerah (Pemilukada) langsung.
Sebagai bagian dari pemilih, kaum muda (pemilih pemula) yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan kejutan, dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan, dan tipis akan kadar polusi pragmatisme.
Dari kecenderungan memilih tersebut, tidaklah mengherankan jika potensi munculnya golongan putih (golput) dari pemilih pemula sangat tinggi. Terlebih jika pada saat yang sama dihadapkan kepada kandidat calon kepala daerah yang kurang mendapat tempat di hati pemilih pemula. Ketiadaan pilihan kandidat kepala daerah yang dirasa pemilih pemula mampu membawa perubahan dengan rekam jejak serta program yang pas di hati pemilih pemula.
Sebagai contoh : Meskipun tidak keluar sebagai partai pemenang, PKS dengan perolehan 45 kursi dan Partai Demokrat 57 kursi di DPR sebagai pendatang baru (new comer) dalam Pemilu 2004 lalu juga dapat dijadikan cerminan akan suara pemilih pemula yang secara mengejutkan mampu mendudukkan kedua partai tersebut dalam jajaran tujuh partai besar. Mayoritas pemilih PKS dan Partai Demokrat yang didominasi oleh pemilih pemula serta unggul di wilayah perkotaan. Bahkan untuk PKS militansi kader muda dari kalangan mahasiswa adalah kunci keberhasilan tersendiri yang belum dimiliki partai politik lainnya.

Monday, March 12, 2012

Beberapa Istilah Bagi Mereka Yang Tidak Berpartisipasi Dalam Politik

Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk yang paling banyak dalam aktivitas politik, umumnya merupakan minoritas (seringkali berupa minoritas yang sangat kecil) dari anggota suatu masyarakat. Macam-macam istilah diterapkan pada mereka yang tidak turut serta ini, dan mereka dilukiskan secara berbeda-beda sebagai apatis, sinis, alienasi (terasing), dan anomi (terpisah). Sesungguhnya, istilah-istilah tersebut digunakan dalam studi mengenai partisipasi politik.
1. Apatis (masa bodoh)
Secara sederhana didefinisikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala pada umumnya maupun khususnya. Ditinjau dari aspek sosiologis, dapat diterapkan pada masyarakat secara umum atau hanya pada aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Sifat paling penting dari seorang yang apatis adalah kepasifannya atau tidak adanya kegiatan politik.
Morris Rosenberg mensugestikan tiga alasan pokok untuk menerangkan apati politik. Kesimpulannya didasarkan pada satu seri wawancara tidak berstruktur yang mendalam. Alasan pertama adalah konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal tersebut dapat berupa beberapa bentuk, seperti individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek hidupnya; kedua, bahwa individu menganggap aktivitas politik sia-sia saja; dan alasan ketiga seperti yang dikemukakan oleh Milbrath, Rosenberg beranggapan bahwa “memacu diri untuk bertindak” atau perangsang politik adalah faktor penting untuk mendorong aktivitas politik.
2. Sinisme
Seperti halnya apati, sisnisme meliputi kepasifan dan ketiakatifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakatifan. Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai “kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”; dengan bantuan suatu alat skala sikap yang dibuat untuk mengukur derajat terhadap para responden mereka bersikap sinis–baik secara pribadi maupun secara politis–karena mereka telah mencari relasi sinisme dengan bermacam-macam aspek dari tingkah laku politik.
Sinisme merupakan perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa pesimisme adalah lebih realistis daripada optimisme; dan bahwa individu harus memperhatikan kepentingan sendiri, karena pada dasarnya masyarakat bersifat ego-sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Sinisme tidak dapat menghindari partisipasi pada semua tingkatan hierarki, walaupun sinisme itu mungkin memberikan suatu penjelasan mengenai non-partisipasi oleh orang-orang terntu pada tingkat-tingkat khusus.
3. Alienasi
Robert Lane mendifinisikan alienasi politik sebagai “perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat…(dan)…kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain, mengikuti aturan-aturan yang tidak adil”.Dari definisi tersebut, nampak bahwa sikap alienasi jauh melampaui sinisme.
4. Anomi
Istilah ini dirancang oleh Emile Durkheim dalam studinya mengenai bunuh diri,dan kemudian dilukiskan oleh Lane sebagai “perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah”, di mana individu mengalami perasaan ketidakefektivan dan bahwa penguasa bersikap “tidak perduli”, yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak. Leo Srole telah mengembangkan suatu skala anomi yang di mana dengan menggunakan skala ini, ia menemukan relasi akrab antara anomi dengan kepribadian otoriter.
Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai organisasi, tetapi individu-individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang sama. Sekalipun tidak terorganisir secara rapi, dapat saja kelompok ini mengadakan aksi massal jika tiba-tiba muncul frustasi dan kekecewaan mengenai suatu masalah.[1]

Penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai suatu–dan hanya satu–manifestasi alienasi politik. Jelaslah, rasa permusuhan terhadap suatu rezim tertentu atau bahkan terhadap suatu sistem sosial tertentu atau tidak perlu mengambil satu bentuk kekerasan. Sejak penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai manifestasi daripada alienasi politik, adalah menyesatkan untuk mengasosiasikan hal terakhir itu semata-mata dengan ketidakaktifan politik. Banyak diantara mereka yang aktif secara poltis pada beberapa tingkat tertentu bisa bersikap sinis terhadap gejala politik, dan bersikap apatis terhadap tipe partisipasi lainnya. Milbrath berasumsi, bahwa partisipasi politik itu bervariasi bkaitan dengan empat faktor utama, yaitu pertama, sejauh mana orang bisa menerima perangsang politik; kedua, karakteristik peribadi seseorang; ketiga, karakteristik sosial seseorang; dan keempat keadaan politik atau lingkungan politik di mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.
Semakin peka atau terbuka seseorang terhadap perang politik melalui kontak pribadi dan organisatoris serta media massa, semakin besar pula kemungkinannya dia turut serta dalam kegiatan politik. Jelas bahwa keterbukaan atau kepekaan ini kiranya berbeda dari satu orang dengan orang lainnya, dan bagaimanapun juga, hal ini merupakan bagian dari proses sosialisasi politik.
Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan atas informasi mengenai suatu masalah politik atau situasi politik, mungkin merasa kurang kompetenuntuk berpartisipasi dalam suatu usaha gunu memecahkan masalahnya atau untuk merubah situasinya; maka kompeten sikap individu dapat berlawanan dengan partisipasinya. Sedemikian luasnya, sampai-sampai dia bersikap sini, terasing atau anomis; atau hal tersebut mungkin mendorong tumbuhnya kegiatan politik karena peristiwanya dapat memuaskan perasaan untuk menjalankan tugas, kewajiban atau prestasi, ataupun pengalaman partisipasi politik. Status sosial seseorang, seperti status sosio-ekonomisnya, kelompok ras atau etnis, usia, seks dan agamanya, baik ia organisasi sukarela tertentu dan sebagainya, semua mempengaruhi partisipasi politiknya.
Walaupun penerimaan rangsangan politik dan sifat dari karakteristik pribadi serta karakteristik sosial seseorang itu penting dalam mempengaruhi luasnya aktivitas politik, tetapi penting juga untuk memperhitungkan lingkungan atau keadaan politiknya. Ini berlaku pula bagi peraturan konstitusional dan institusional yang ditemukan dalam suatu sistem politik terntu seperti juga aspek-aspek yang kurang formal, misalnya sifat dari sistem partai, atau perbedaan regional, atau faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa khusus, seperti pemilihan.
Di bidang keanggotaan partai, partai berusaha untuk mengkontrol komposisi keanggotaan jauh lebih luas daripada semua parpol non-totaliter. Untuk masuk ke dalam parpol, dikontrol dengan teliti. Selanjutnya, kadang-kadang kepemimpinan partai berusaha untuk mengeluarkan kelompok tertentu dari keanggotaan partai, dan mendorong kelompok lain untuk bergabung.
Bentuk dan sifat partisipasi politik jelas berbeda dari satu tipe sistem politik dengan yang lain, walaupun adakalanya terdapat lembaga politik yang nyata sama, seperti adanya pemilihan atau parpol. Meskipun begitu, semua sistem politik memperlihatkan jenis relasi tertentu di antara partisipasi politik dengan karakteristik pribadi dan sosial dari mereka yang aktif secara politis. Sifat relasi ini bergantung kepada lingkungan sosial dan lingkungan politik setiap sistem politik.
Masyarakat berkembang cenderung untuk mengeping-epingkan lingkungan sosial dan lingkungan politik: lingkungan sosialnya seringkali mendasarkan diri pada suatu sistem startifikasi sosial-tradisional yang relatif kaku, yang oleh kekuatan modernitas dicoba untuk diruntuhkan. Hal tersebut merupakan basis bagi suatu lingkungan politik dalam lembaga yang sangat modern berlangsung bersama-sama, dan tingkah laku politik ditentukan oleh kekuatan yang pada hakikatnya bersifat tradisional.
Penjelasan mengenai tingkah-laku politik individu pada umumnya, dan partisipasi politik pada khususnya, tidaklah teramat sulit untuk dikemukakan. S. M. Lipset dengan mempergunakan sederetan studi dan data, telah memberikan uraian tentang berbagai aspek perilaku elektoral, termasuk di dalamnya hasil jumlah yang turut memberikan suara, petunjuk mengenai voting dan dukungan berbagai gerakan-gerakan ekstrimis.
Lebih khusus, mengenai asosiasi antara status sosio-ekonomis dengan tingkah-lakuelektoral yang telah didokumentasikan secara luas dan banyak sekali perhatian telah dicurahkan pada individu-individu yang “menyimpang” dari norma class voting. Studi tersebut mengemukakan perilaku politik seseorang itu ditentukan oleh interaksi dari sikap sosial dan sikap politik individi yang mendasar, dan oleh situasi khusus yang dihadapinya. Asosiasi antara berbagai karakteristik pribadi dan sosial (seperti status sosioekonomis) dan tingkah-laku politik mungkin adalah hasil dari motivasi sadar atau tidak sadar, atau yang lebih mungkin lagi kombinasi dari keduanya.
Rudolf Herbele mengemukakan adanya empat masalah yang menyulitkan studi mengenai motif yang mendorong tingkah-laku sosial dan perilaku politik. Pertama, motif yang sebenarnya sengaja disembunyikan oleh individu, dan si pengamat secara konsekuen disesatkan oleh hal-hal yang tampak sebagai informan yang cermat; kedua, motif yang sesungguhnya mungkin tidak jelas bagi individu, dan mungkin dia merasionalisir tindakan sendiri sebelumnya, baik sesudah maupun selama berlangsungnya peristiwa; ketiga, motif yang sebenarnya tidak jelas, tidak hanya bagi individu yang tindakannya tengah diselidiki, akan tetapi juga bagi orang lain yang telah dipengaruhi tidakannya; dan akhirnya atau yang keempat, motif itu tanpa kecualis elalu kompleks dan sulit untuk diukur secara cermat.
Max Weber berpendapat bahwa motivasi tersebut bisa disebabkan oleh bebrapa motif, diantaranya (1) rasional-bernilai, didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok; (2) afektual-emosional, didasarkan atas kebencian atau “enthusiamsm” terhadap suatu ide, organisasi atau individu; (3) tradisional, didasarkan atas penerimaan norma tingkah-laku individudari suatu kelompok sosial; dan (4) rasional-bertujuan, yang didasarkan atas keuntungan pribadi.
Sedangkan Robert Lane mempersoalkan bahwa partisipasi politik memnuhi empat macam fungsi, diantaranya pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis; kedua, memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial; ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus; dan keempat untuk memenuhi kebutuhan bawah-sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
Individu memperoleh orientasi politik dan pola tingkah-laku politiknya melalui proses sosialisasi politik, dan pengalamannya mengenai gejala sosial dan politik; melalui berbagai tingkat dan tipe partisipasi politik (atau melalui ketidakikutsertaannya dalam segala bentuk partisipasi), merupakan bagian dari proses sosialisasi yang berkesinambungan, serta merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi partisipasinya dikemudian hari.


[1] Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia. Hal. 387