Tuesday, July 31, 2012

Pensiun dari Sepak Bola, Shevchenko Terjun ke Dunia Politik

Para pecinta sepak bola tak akan bisa lagi melihat aksi Andriy Shevchenko di lapangan hijau. Mantan bintang AC Milandan Chelsea itu memutuskan gantung sepatu dan mencoba berkiprah di bidang politik. “Mungkin, kabar ini mengejut kanbagi siapa pun. Masa depan saya tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Saya akan terjun ke dunia politik. Mohon dukungannya,” kata Shevchenko, seperti dilansir Sunday Nation.
Sheva, sapaan akrab Shevchenko, telah memutuskan bergabung ke dalam partai probisnis bernama Ukraine Forward. Partai ini diketuai politikus bernama Nataliya Korolevska. Di partai ini, Sheva mengaku ingin mengabdikan sisa hidupnya kepada masyarakat dengan berbagi pengalaman yang ia dapatkan di kancah Eropa. Sheva merencanakan pembangunan di bidang sosial dan olahraga. “Saya bergabung menjadi tim Nataliya Korolevska karena Ukraine Forward adalah partai masa depan yang dibangun oleh pemimpin muda,” katanya.
Ukraine Forward saat ini tengah gencar melakukan kampanye pembebasan mantan perdana menteri Yulia Tymoshenko, yang sedang menjalani masa hukuman selama tujuh tahun. Tymoshenko merupakan rival politik utama presiden Viktor Yanukovich dan telah dipenjara sejak Oktober 2011 karena menyalahgunakan jabatan. Partai yang kini dinaungi Shevchenko itu menuntut pembebasan karena Tymoshenko kerap mendapatkan kekerasan selama menjalani masa tahanan.
Sheva bukan orang Ukraina pertama yang bermanuver dari dunia olahraga ke politik. Sebelumnya, juara tinju kelas berat, Vitali Klits chko, sudah lebih dulu terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Udar. Berkariernya Sheva di politik dikabarkan untuk mengincar momentum pemilihan parlemen Ukraina yang akan diselenggarakan Oktober 2012 mendatang.

Monday, July 23, 2012

Birokrasi Terkooptasi Politik

Komposisi pegawai negeri sipil di Indonesia sangatlah paradoks. PNS dengan keahlian tertentu atau tenaga fungsional sangat sedikit. Di pelosok Nusantara, kekurangan tenaga medis dan guru, misalnya, sangat mencolok sehingga menjadi problem yang kerap kali mengganggu aktivitas kehidupan. Sebaliknya, tenaga administrasi umum bercokol di mana-mana.
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional dan administrasi umum ibarat bumi dan langit. Jumlah tenaga fungsional, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, hanya 20 persen dari keseluruhan PNS yang jumlahnya sekitar 4,7 juta orang. Sebagian besar atau 80 persen PNS adalah tenaga administrasi umum.
Ini baru sekadar jumlah. Belum lagi masalah mentalitas bekerja PNS kita yang seadanya, lamban, dan selalu mengharapkan ”uang lelah”. Moto ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat” seakan-akan tak lepas dari komunitas pegawai kita walaupun pada era reformasi birokrasi. Memang, kultur itu tak bisa dipukul rata. Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun, jumlah mereka minoritas.

Kronis
Sesungguhnya, kompleksitas masalah birokrasi di Indonesia kian rumit membelit ketika ditambah kooptasi politik. Tarikan kepentingan politik ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua.
Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.

Penyakit Kronis
Bertahun-tahun birokrasi seperti terjangkiti penyakit kronis dan akut. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Akan tetapi, sejak era reformasi birokrasi, pembenahan dilakukan secara intensif. Paling pokok adalah deteksi postur birokrasi. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Satu-satunya jalan harus melalui pemangkasan. Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya dirampingkan. Di tingkat pusat saja saat ini terdapat 34 kementerian, 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan 88 lembaga nonstruktural (LNS). Padahal, setelah desentralisasi, semestinya organisasi di tingkat pusat semakin ramping karena sudah banyak kewenangan diserahkan kepada birokrasi di daerah.
Namun, runyamnya, struktur di daerah pun setali tiga uang. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Apalagi sejak era otonomi daerah yang telah berjalan lebih satu dasawarsa ini, pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) bisa melakukan apa saja karena kewenangan ada di tangan mereka.

PNS Tambah Terus
Walaupun birokrasi sudah tambun, penerimaan PNS berlangsung terus. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Bayangkan saja, hal yang sangat tidak logis, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) di sejumlah kabupaten justru lebih banyak untuk belanja pegawai, bahkan bisa di atas 50 persen hingga 70 persen. Artinya, anggaran untuk pembangunan, proyek infrastruktur, sarana dan prasarana, pemberdayaan ekonomi masyarakat sangatlah kecil. Anggaran pembangunan justru hanya untuk memberikan makan birokrasi saja.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Ketika terjadi kekacauan, hal itu justru membuka peluang untuk saling lempar tanggung jawab. Indeks efektivitas pemerintah pada 2009, minus 0,29. Dengan kinerja yang terjadi sekarang ini, bisakah dicapai target 0,5 persen pada tahun 2014? Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Adapun jumlah lembaga yang menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) juga pada 2009, hanya 24 persen!

Pembenahan Internal
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Pembenahan akan dilakukan dalam jangka panjang sebab memerlukan komitmen politik luar biasa. Sebaliknya, pembenahan internal birokrasi dirasakan lebih mungkin dilakukan bertahap mulai saat ini. Setidaknya, proses perekrutan dan promosi pegawai ditata. Promosi eselon 1 dan eselon 2 dilakukan terbuka untuk semua PNS yang memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian, yang penilaiannya dilakukan tim independen.
Agar tidak lagi mendapatkan tenaga yang sia-sia, proses perekrutan PNS berbagai instansi harus berbasis kebutuhan. Tes berbasis komputer serta penilaian kompetensi diharapkan mampu menyaring PNS dengan keahlian dan integritas. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Namun, semua itu masih harus menunggu karena masih dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang masih dibahas di DPR. Dalam masa peralihan ini, setiap daerah hanya diharuskan membuat analisis beban kerja dan analisis jabatan sebagai syarat merekrut PNS baru. Selain itu, seleksi ditangani konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri.
Secara umum, pembenahan birokrasi akan diterapkan pada organisasi, proses kerja, sumber daya manusia, perekrutan, akuntabilitas kerja, pengawasan, pelayanan publik, serta perbaikan pola pikir dan budaya birokrasi. Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Bangsa Indonesia terjerat mentalitas jalan pintas dan berorientasi hasil (result oriented).
Kalau diumpamakan, mestinya berproses menjadi batik tulis, bukan batik cap. Proses menenun dan membatik dengan keringat, ketekunan, kerja keras, sampai menghasilkan selembar kain cantik nan bermutu seharusnya melandasi mental birokrat kita.


Monday, July 16, 2012

Soekarno Belum Bergelar Pahlawan Nasional


Meskipun dikenal sebagai Bapak Proklamator, presiden pertama Indonesia, Soekarno, hingga saat ini belum bergelar pahlawan nasional. Tak hanya Soekarno, Bung Hatta juga mengalami nasib serupa.
"Sampai kini Bung Karno memang belum jadi pahlawan nasional," kata Jimly Asshidiqie, anggota Dewan Gelar Pahlawan Nasional, seusai menghadiri seminar Kebangsaan dan Kepahlawanan di Surabaya, Senin, 16 Juli 2012. Menurut Jimly, kendati segala bahan riset, seminar, diskusi tentang Bung Karno selama ini sudah sangat lengkap, tetapi pengajuan gelar kepahlawanan tetap saja harus diproses sesuai mekanisme yang berlaku. Karena itu, seusai seminar ini, dirinya minta dilakukan proses pembahasan di tingkat akademisi. Apalagi gelar kepahlawanan tidak hanya soal formalitas, melainkan juga harus dijadikan instrumen kepahlawanan bagi segenap anak bangsa.
Khusus pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno, Jimly mengusulkan dilakukan pada tanggal 1 Juni sehingga ketokohan Bung Karno bisa lebih istimewa dan tidak bersamaan dengan pemberian gelar kepahlawanan bagi pahlawan nasional kebanyakan yang dilakukan tiap tanggal 10 November. "Saya ini anggota Dewan Gelar, tidak etis sebenarnya kalau bicara teknis, tapi saya harap gelar Bung Karno bisa diberikan 1 Juni," kata Jimly. Jika gelar Bung Karno selesai, Jimly berharap bisa dilanjutkan untuk memproses pemberian gelar bagi Bung Hatta.
Menurut Jimly, hal yang mengganjal dalam pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno di antaranya adalah adanya TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Soekarno. Dalam TAP tersebut di Bab II Pasal 6 disebutkan juga jika penyelesaian proses hukum menyangkut Soekarno selanjutnya dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan pelaksanaanya kepada pejabat Presiden.
"Asumsinya, Bung Karno telah melakukan tindakan hukum, tapi proses hukum ternyata tidak pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto," kata Jimly. Karena itu, asumsi Bung Karno melakukan pelanggaran hukum bisa dipandang tidak benar, meskipun juga tidak dapat dinafikan seolah-olah benar. Jimly menambahkan, Keputusan Presiden Nomor 081 Tahun 1986 yang memberikan gelar bagi Soekarno bersama Bung Hatta sebagai pahlawan proklamator secara dwitunggal jelas tidak memiliki dasar perundang-undangananya. Apalagi, gelar kepahlawanan tidak mengenal istilah pahlawan proklamator. "Justru dwitunggal itu mengkrangkeng nama besar Bung Karno dan Bung Hatta yang tidak bisa sendiri-sendiri diabadikan secara semestinya," kata Jimly.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hadir dalam seminar itu mengatakan polemik terkait status hukum bagi Bung Karno sebenarnya sudah bisa dianggap selesai. "Beliau sudah wafat, Pak Harto juga sudah wafat, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengulur gelar bagi Bung Karno," kata Soekarwo.
Seminar itu setidaknya juga dihadiri sejarawan muda JJ Rizal serta Daniel Dhakidae. Pengajar hukum Tata Negara Universitas Surabaya (Ubaya), Martono, yang menjadi panitia acara mengatakan, hasil diskusi selanjutnya akan dijadikan pijakan akademis untuk mengusulkan Bung Karno sebagai pahlawan nasional.

Sunday, July 15, 2012

Demokrasi ala Chomsky

Demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah reformasi pendidikan (reform in education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda.
Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Mengapa demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi, kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Politik Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak stabil, barometernya adalah uang (money) artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya, tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat. Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh diri sendiri.


Wednesday, July 11, 2012

Golput Disinyalir Berada Pada Masyarakat Menengah Atas


Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menjelaskan potensi golput atau masyarakat yang tak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, khususnya dalam Pilkada DKI Jakarta berada pada kalangan masyarakat menengah ke atas.
Hal ini menurut Burhanuddin, didasari pada tingkat pendidikan masyarakat menengah atas yang cukup relatif baik dan mengerti akar permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan. Sedangkan kalangan menengah ke bawah lebih berpotensi dimobilisir kelompok tertentu untuk memilih calon pemimpin.
"Nah kalo selama ini yang terlihat golput itu justru menegah ke atas," kata Burhanudin kepada liputan6.com saat ditemui dalam persiapan Quick Count yang akan dilakukannya bersama SCTV dan Indosiar di kantor LSI, Selasa (10/7).
Lebih lanjut Buhanuddin menjelaskan, dengan pendidikan menagah atas yang mendapatkann pendidikan lebih tinggi serta memiliki hasil evaluasi politiknya lebih baik, maka dirinya berharap masyarakat menengah keatas dapat menggunakan hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta. "Jadi saya harapkan itu justru masyarakat menengah ke atas datang untuk menggunakan hak pilihnya," harapnya.
Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan, agar kualitas Pilkada lebih baik maka ada dua syarat untuk menggapai hal tersebut yaitu yang pertama adalah peningkatan kuantitas partisipasi, yang artinya dari sisi partisipasi meningkat dari pilkada 2007.
"Dan kedua kualitas partisipasi juga harus lebih baik. Jadi pilihan terhadap gubernur yang akan dipilih besok itu didasarakn pada alasan positif dan bukan didasari oleh alasan-alasan money politik," imbuh Burhanuddin.(AIS)

Gerakan Mahasiswa Alami Degradasi Tujuan


Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Marwan Jafar mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini sedang mengalami degradasi tujuan dan  perpecahan dimana-mana. Sisi militansi, gerakan intelektualitas dan nafas kepedulian terhadap masyarakat mulai meluntur. Sehingga jargon 'agen of change' sepertinya tidak selaras dengan gerakan mahasiswa sekarang ini.
“Banyak yang berubah dari gerakan mahasiswa sekarang. Soliditas antar kelompok gerakan sudah mulai terpecah. Belum lagi soal kepedulian terhadap masyarakat juga sudah mulai pudar. Karena itu, sekaranglah saatnya mengembalikan tradisi-tradisi Ahlussunah kembali ke kampus,”ungkap Marawan saat menjadi pembicara di disikusi Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) di Kantor DPP PKB, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin (8/7).
Cara yang cukup tepat untuk mengembalikan marwah Ahlusunah di lingkungan kampus, lanjut Marwan, yakni menumbuhkan kembali gerakan mahasiswa yang berbasis keagamaan dan berbasis dakwah. “Namun, dalam konteks kekinian mahasiswa juga harus bisa lebih memahmi apa itu gerakan dakwah, jangan sampai hal-hal yang berbau dengan dakwah dan perjuangan Islam dipersepsikan sebagai organisasi pengajian kampus yang kadang dicap tidak dinamis,”  tandas Ketua Dewan Pembina Gemasaba ini.
Di tempat yang sama Wakil Sekjen PB NU Imdadun Rahmat, yang juga pengarang buku Ideologi Politik PKS, berpendapat, bahwa gerakan mahasiswa sudah saatnya kembali pada tradisi-tradisi yang berwawasan ideologi dan religi. Gerakan Mahasiswa harus mulai berperan nyata di masyarakat, tidak sekadar memiliki wawasan intelektual saja tetapi sisi religiusnya juga harus diperkuat.
“Kita terutama Gemasaba sebagai kader muda NU dan PKB harus kembali pada tradisi-tradisi orang tua kita yaitu tradisi ahlussunah wal jamaah. Karena dengan nilai-nilai itu kita dapat membentengi diri dari perilaku-perilaku yang menimpang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ahlussunah,” tuturnya dalam diskusi publik yang dihadiri 100 mahasiswa perwakilan dari kampus-kampus di Jabodetabek itu.
Imdad juga menegaskan, gerakan mahasiswa kaum nahdliyin harus kembali kepada gerakan kultural kaum Nahdliyin. “Mahasiswa dan kaum muda nahdliyin harus berperan nyata di masyarakat. Gemasaba terutama, harus menghidupkan kembali tradisi-tradisi kaum nahdliyin seperti mengajari baca alquran, bahasa arab, fikih, tauhid dan lain-lain. Sehingga ruang itu tidak diambil kelompok-kelompok Islam yang terlalu kanan seperti wahabi, sehingga perkembangan wahabisme di Indonesia bisa ditahan” paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPN Gemasaba Ghozali Munir menuturkan, diskusi ini diselenggarakan atas dasar kegelisahan Gemasaba melihat fenomena semakin lunturnya nilai-nilai idelogi di kalangan mahasiswa. “Gemasaba sebagai kader muda NU dan PKB, merasa miris melihat gerakan mahasiswa mulai kehilangan idelogi. Apalagi kita sebagai kader muda NU, kita merasa bertanggungjawab dan perlu menyebarkan tradisi gerakan mahasiswa yang berwawasan dakwah,” kata Ghozali.
Ditambahkan, sebagai kader muda NU dan PKB, Gemasaba tidak boleh kalah dengan ideologi gerakan mahasiswa Islam yang lainnya. "Gemasaba sudah memiliki ideologi gerakan yang jelas, yaitu aswaja. Untuk itu Gemasaba siap mengawal tradisi gerakan mahasiswa yang berbasis dakwah. Kita tidak boleh kalah dengan yang lainnya, ideologi kita sudah jelas dan kita akan membumikan ideologi ini keseluruh mahasiswa," tegasnya.
Gemasaba adalah organisasi kemahasiswaan bentukan Partai PKB yang didirikan pada tahun 2009 silam. Gemasaba sebagai organisasi yang sangat dekat dengan NU, memiliki ideologi Ahlussunah wal Jamaah yang selama ini menjadi ideologi pasti kaum NU dan nahdliyin. (dms)

Friday, July 6, 2012

Jakarta Butuh Pemimpin Berhati, Kepala, dan Tangan


PEMILU kada DKI Jakarta akan berlangsung pada 11 Juli 2012. Enam pasang calon gubernur dan wakil gubernur bertarung untuk menjadi pemimpin DKI Jakarta lima tahun ke depan. Empat pasang berasal dari partai politik dan dua pasang calon independen. Dalam sejarahnya baru kali ini pemilu kada DKI diikuti oleh lebih dari dua calon. Terlebih lagi terdapat calon independen, hal yang belum terjadi pada pemilukada sebelumnya. Sulit diprediksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang, mengingat setiap calon memiliki kelebihan dan kekurangan.
Begitu strategisnya peran Gubernur DKI Jakarta yang memimpin ibu kota negara sehingga semua partai politik di negeri ini mengusung calon terbaik untuk menjadi gubernur. Demikian pula tidak mudah menjadi calon independen karena mengumpulkan minimal 400 ribu suara pendukung yang dibuktikan dengan fotokopi KTP yang sah dan masih berlaku. Hampir semua calon yang ada memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin DKI Jakarta karena memiliki latar belakang pengalaman yang beragam, baik sebagai kepala daerah yang masih aktif, politikus, akademisi, mantan militer, maupun praktisi pemerintahan.
Tidak mudah menemukan pemimpin yang mumpuni pada zaman ini. Terdapat orang tertentu yang memang dianugerahi sejak lahir dengan bakat sebagai pemimpin (leaders are born). Akan tetapi, sebagian besar pemimpin yang ada saat ini hadir karena proses dan diciptakan (leaders are made). Pemimpin tipe ini tumbuh dan berkembang dari bawah, ditempa oleh berbagai pengalaman, ketekunan, dan kerja keras, serta tidak berhenti belajar sepanjang hidupnya.
Kualitas pemimpin pada umumnya dibentuk melalui suatu proses yang memerlukan waktu dan upaya, bukan didapat secara instan. Tipikal pemimpin pada era modern saat ini yang dibutuhkan ialah kepemimpinan yang melayani (servant leadership), yakni suatu tipe atau model kepemimpinan yang dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh masyarakat atau bangsa.
Pemimpin pelayan (servant leader) mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas dirinya. Orientasinya ialah untuk melayani, cara pandangnya holistik, dan bekerja dengan standar moral spiritual yang tinggi. Ia tidak minta dilayani, tetapi justru bertindak sebagai pelayan yang oleh Robert Greenleaf disebut `good leaders must first become good servants'.

Perlu Bukti Konkret
Warga DKI Jakarta adalah pemilih yang cerdas dan tentunya akan menggunakan hak suara mereka secara bertanggung jawab untuk memilih pemimpin sesuai kebutuhan Jakarta hari ini. Persoalan Jakarta memang sangat kompleks dari kemacetan yang sudah pada stadium parah. Banjir yang selalu mengancam, tindak kriminal yang terus meningkat setiap tahunnya, lapangan kerja yang minim dan tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja, polusi udara yang parah, arus urbanisasi yang tak terbendung, penggusuran permukiman penduduk dan pedagang kaki lima tanpa perikemanusiaan, sampai warga miskin, pengemis, dan gelandangan yang tak terurus dan terus bertambah. Para calon gubernur sudah menawarkan berbagai program untuk Jakarta yang lebih baik pada masa lima tahun mendatang.
Untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan dapat memenuhi keinginan serta kebutuhan masyarakat saat ini memang tidak gampang. Dengan melihat track record para calon, selanjutnya memastikan siapa yang akan dipilih dan pantas untuk dijadikan pemimpin. Pemimpin yang baik pasti memiliki kelebihan sebagai faktor pendukung dalam rangka melaksanakan amanah sebagai pemimpin.
Kenneth Blanchard dalam bukunya, Leadership By The Book, menggambarkan bahwa pemimpin yang berkarakter melayani dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, memiliki hati yang melayani. Seorang pemimpin harus memiliki empati dan simpati kepada warga masyarakat yang dipimpinnya. Ia sedapatnya mampu memberikan motivasi kepada warga yang dipimpinnya. Sebagai rakyat, kita tentu membutuhkan pemimpin yang dapat memberikan motivasi bila kita sedang mengalami kesulitan.
Kepemimpinan sejati dimulai dengan contoh dan sikap hidupnya yakni mengelola dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk mengelola dan melayani rakyatnya. Di sinilah pentingnya integritas dan karakter pemimpin sejati agar diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin sejati berorientasi untuk membangun masyarakat dan daerahnya serta kepentingan publik pada umumnya lebih diutamakan daripada kepentingan diri dan golongannya.
Pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah pemimpin yang bertanggung jawab. Ia akan berdiri paling depan jika rakyat membutuhkannya. Seluruh perkataan, pikiran, dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan kepada Tuhan Sang Pencipta. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mampu mengendalikan dirinya. Mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan sendiri dan memiliki ketahanan mental yang kuat. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi, bertindak objektif dalam menghadapi tekanan atau intervensi dari pihak mana pun, termasuk tuntutan transparansi dari publik.
Kedua, memiliki kepala yang melayani. Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter saja, tetapi harus memahami seni memimpin. Untuk itu, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas tentang kepemimpinan dan hakikat kepemimpinannya. Dengan pengetahuan serta pengalamannya, diharapkan menghasilkan kepemimpinan yang efektif. Ia tahu apa yang terbaik untuk rakyatnya karena memiliki visi yang jelas dan mampu diimplementasikan dalam tindakan nyata. Selain itu, selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi atas setiap permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh rakyatnya. Seorang pemimpin yang `berkepala' memiliki pula kemampuan untuk membuat perencanaan yang baik. Konon menurut para ahli, perencanaan yang baik dapat mencerminkan 50% keberhasilan dari apa yang direncanakan.
Ketiga, memiliki tangan untuk melayani. Seorang pemimpin yang baik adalah yang telah merelakan hidupnya untuk rakyat yang dipimpinnya. Ia akan menjadi contoh dan be kerja tanpa kenal lelah, selama 24 jam sehari untuk kepentingan rakyatnya. Seorang yang memiliki tangan yang melayani akan bekerja secara sungguhsungguh untuk kesejahteraan rakyat. Ia tidak hanya memberikan perintah dan berpangku tangan saja, tetapi dengan cekatan menyingsingkan lengan bajunya dan turun di tengahtengah warga masyarakat guna membantu mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi.
Pada hakikatnya tugas pemimpin pemerintahan pada level apa pun baik pemerintah pusat maupun daerah dan pada jabatan apa pun ialah melaksanakan dua tugas pokok, yakni menyelenggarakan administrasi pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, jika akan menjadi calon pemimpin pemerintahan, ia tidak cukup hanya mengobral janji selama masa kampanye, tetapi harus mewujudkannya. Jika ia pemimpin sejati dan memiliki hati, ia akan selalu bertindak adil dan bebas KKN dalam setiap kebijakannya karena keberpihakannya jelas kepada rakyat yang ia pimpin.
Akhirnya siapa pun Gubernur DKI Jakarta terpilih kelak, kiranya jangan mengecewakan pemilihnya, bekerjalah dengan hati, kepala, dan tangan.

Politik Adu Domba


DOMBA tak mau kalah populer dengan kambing hitam, saudara serumpunnya. Seperti halnya kambing hitam, domba juga tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Domba seakan ditemukan di sembarang tempat, dan selalu siap diadu, tinggal tanya saja, wani piro? Maka tak heran setiap hari kita menemukan praktik adu domba di tengah masyarakat. “Domba-domba” tersebut semakin hari semakin banyak dan semakin reaktif, juga semakin atraktif sebagai bahan “tontonan” aduan.
Politik adu domba dalam bahasa kampungnya disebut devide et impera. Maksudnya, istilah tersebut adalah bahasa kampungnya orang-orang Belanda, sang penjajah itu. Disebut Belanda sang penjajah, karena istilah tersebut selalu dikaitkan dengan politik adu domba yang dimainkan sang penjajah untuk memperluas daerah jajahannya. Bukan Belanda modern yang kita kenal sekarang. Belanda sebagai sebuah bangsa yang sekarang adalah sebuah bangsa yang sangat demokratis dan sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan, juga sangat transparan dalam pengelolaan pemerintahannya. Mereka pasti malu membalik lembaran sejarah, bahwa dulu pada abad ke-17, di bawah bendera kompeni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di Batavia, orang-orang Belanda itu paling gemar memainkan politik adu domba.
Politik adu domba atau politik pecah belah sebenarnya adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Dalam politik adu domba ini konflik sengaja diciptakan. Perpecahan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa menentang kekuasaan, entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai, kelompok di masyarakat, dan sebagainya. Pihak-pihak atau orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan, pada saat yang sama mereka yang tidak bersedia bekerjasama, dipinggirkan. Ketidakpercayaan terhadap pucuk pimpinan partai atau kelompoknya sengaja diciptakan agar partai atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya tidak hanya ketidakpercayaan, bahkan permusuhan pun disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Dan praktik itu menjadi sangat subur di tengah perang media yang bebas tak terkendali.
Belanda penjajah itu misalnya, menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan.
Di tengah masyarakat kita dewasa ini, di tengah media yang sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi tontotan sehari-hari. Kita secara vulgar disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan isu dilakukan sedemikian rupa untuk saling menghancurkan.
Kalau masyarakat kita suka diadu-adu, mudah terpancing isu, melalap mentah-mentah berbagai desas-desus sehingga tanpa pikir panjang langsung terlibat dalam konflik, maka kita sebenarnya masih hidup seperti di era VOC, atau kita tak lebih dari domba yang siap diadu kapan saja dimana saja. Mau-maunya.

Bubarkan Partai Politik Yang Tidak Memihak Rakyat


illustrasi

Seharusnya para pemimpin partai politik itu, sudah  berpikir membubarkan partai-partai yang mereka pimpin. Partai-partai politik yang ada sudah tidak layak lagi diberi hak hidup. Rakyat pun tak perlu lagi memberikan dukungan kepada mereka. Rakyat sudah harus memahami, bagaimana hakekat partai-partai yang ada sekarang ini.
Tidak ada satupun partai politik yang serius dan sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat. Justru keberadaan partai politik itu, hanyalah menghancurkan kehidupan rakyat. Mereka tidak pernah menjadi wakil rakyat. Mereka tidak secara tulus memperjuangkan kepentingan rakyat. Para pemimpin partai politik telah memanipulasi suara rakyat, dan suara rakyat digunakan kepentingan para elite partai. Rakyat yang sejatinya pemilik suara yang sebenarnya dibajak oleh para pemimpin partai.
Rakyat selalu dininabobokkan dengan kata-kata, suara rakyat adalah suara tuhan. Faktnya, rakyat hanyalah kumpulan manusia yang menjadi korban, dan menjadi alat kepentingan elite partai. Elite partai hanyalah menomorsatukan kepentingan pribadinya, golongannya, dan kroni-kroninya. Tidak lagi menjadikan aspirasi rakyat menjadi tema dan agenda perjuangan mereka. Ketika mendapatkan jabatan kekuasaan, dan memegang kekuasaan, tak pernah lagi ingat terhadap rakyat. Janji-janji yang pernah mereka ucapkan dan sampaikan ketika berlangsung kampanye tak lagi diwujudkan, ketika mereka sudah berkuasa.
Bagaimana sekarang dengan sangat telanjang para para pemimpin utama partai-partai politik terlibat dalam korupsi. Tidak ada satupun partai politik yang tidak terlibat dalam korupsi di semua tingkatan. Jabatan dan kekuasaan yang mereka miliki, bukan berkah bagi rakyat. Sebaliknya, jabatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin partai itu, justeru menjadi azab bagi rakyat.
Hidup rakyat semakin jauh dari kehidupan yang layak. Semakin banyak rakyat yang miskin. Semakin banyak yang hidupnya semakin menderita. Tak lagi mendapatkan perlindungan yang layak. Sebagai warga negara. Bandingkan dengan para elite partai politik? Mereka hidup dengan sangat mewah. Tanpa batas. Seakan sudah menjadi keniscayaan hidup mewah itu. Banyak para pemimpin partai yang berstatus sebagai pemimpin "dakwah" (mendadak mewah). Tanpa jelas asal usul kekayaan yang dimilikinya.
Hari-hari ini bangsa Indonesia disuguhi sebuah kisah yang sangat getir. Di mana di satu sisi rakyat menghadapi kemiskinan, di satu sisi yang lain, melihat kemewahan kehidupan yang sangat luar biasa, yang sebagian dipertontonkan oleh para pemimpin partai. Mereka seakan tidak memahami kehidupan bangsa Indonesia yang sedang ditimpa krisis.
Hari-hari ini bangsa Indonesia hanya mendengarkan dan melihat berita di berbagai media, yang menyuguhkan informasi dalam bentuk berita, tentang korupsi. Korupsi yang dilakukan para elite partai. Semua jajaran partai sudah sangat terlibat dalam korupsi. Tidak ada yang tidak berlaku korup. Korupsi sudah menjadi aktifitas yang wajar. Korupsi sudah menjadi sebuah budaya.
Hari-hari ini bangsa Indonesia melihat dengan gamblang, para pemimpin partai harus berhadapan dengan KPK. Mulai dari Ketua Umum, Bendahara, Sekretaris, sampai Dewan Pembina Partai. Semua menjadi "pasien" KPK. Mereka seperti tikus busuk yang menggerogoti uang rakyat (APBN). Tanpa peduli. Mereka menikmati uang rakyat (APBN) dengan lahap. Para pemimpin partai itu, seperti tak pernah merasa kenyang dengan menggerogoti uang rakyat (APBN) itu. Sampai-sampai para elite partai yang memegang jabatan publik itu, al-Qur'an pun menjadi objek mereka. Al-Qur'an menjadi bahan objekan korupsi. Tidak dapat lagi memilih-milih. Semua hal  di Indonesia bisa dikorup. Kalau al-Qur'an yang merupakan wahyu dari Allah Rabbulan Alamin, sudah menjadi ajang korupsi? Lalu, bagaimana moralitas agama para pejabat Indonesia? Kejahatan yang mereka lakukan melebihi segala bentuk kejahatan yang pernah ada.
Padahal, yang melakukan korupsi pengadaan al-Qur'an itu, dulunya pernah menjadi aktivis, dan memiliki idealisme. Mengapa sesudah masuk menjadi anggota partai politik, dan menjadi pejabat publik, perilakunya begitu busuk? Belum lagi kasus-kasus moral di kalangan elite partai politik. Bukan berkaitan dengan masalah korupsi. Tetapi, berkaitan dengan perbuatan faqisah (dosa besar) zina. Berapa banyak anggota DPR yang kedapatan di tempat-tempat mesum, dan bahkan mereka melakukan foto bugil bersama dengan perempuan yang bukan menjadi muhrimnya. Tanpa sedikitpun rasa malu.
Ada pula, yang saat sidang paripurna di DPR, sedang asyik mengunduh gambar-gambar porno dari IPadnya. Hari Jum'at. Hanya dengan alasan jenuh. Ini sesuatu yang tidak masuk akal. Padahal, anggota DPR yang mengunduh gambar porno, yang sempat diabadikan wartawan itu, dikenal sebagai tokoh partai Islam. Mengapa semua itu bisa berlangsung? Aktifitas mereka di DPR, sepertinya juga asal-asalan. Tidak produktif. Fungsi legislasi tidak optimal. Fungsi anggaran justeru menjadi tempat dagang, dan mendapatkan "fee", dan mempertebal kantong. Fungsi kontrol terhadap ekskutif, juga tak jalan, karena para pemimpin partai politik sudah diikat dengan tali "koalisi" oleh kekuasaan. Dengan sistem "dagang sapi", dan barter politik, yang sudah lazim.
Rapat-rapat paripurna yang akan mengambil keputusan kursinya kosong melompong. Meskipun, awalnya paripurna itu mencapai quorum, tetapi mereka pergi tak pernah mengikuti acara paripurna, dan hanyalah meninggalkan absen belaka. Tetapi, mereka selalu berebut dengan berbagai fasilitas yang sangat luar biasa. Republik ini layak menjadi negara gagal. Kalau melihat para perilaku pemimpin politiknya, hampir sebagian besar terdiri dari orang-orang yang secara moral bobrok, dan tidak memiliki tanggung jawab. Mereka hanya mengejar kenikmatan dunia, dan memuaskan hawa nafsu. Tanpa mempedulikan lagi moralitas agama.
Partai-partai politik yang seharusnya menjadi jembatan bagi rakyat dan bangsa dalam melakukan perbaikan, tetapi justeru yang dilakukan para pemimpin partai politik dan elitenya melakukan penghancuran secara total kehidupan yang ada. Maka seharusnya mereka membubarkan diri. Tidak membiarkan diri mereka terus-menerus terlibat dalam berbagai kejahatan, termasuk korupsi yang sangat dibenci rakyat. Wallahu'alam.

Wednesday, July 4, 2012

Berburu Hadiah Di 5th UMY Blog Contest


Untuk yang kelima kalinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan kontes blog gratis khusus bagi segenap civitas akademika yaitu mahasiswa, dosen, dan karyawan. Dan kontes blog kali ini lebih gila lagi karena hadiah yang diperebutkan lebih banyak, jadi lebih besar kemungkinan setiap kontestan untuk membawa pulang hadiah. Ada netbook, HP, handycamp, TV, kamera digital, hardisk, modem, printer, speaker, dan flashdisk. Target minimal HP lah, hahhaaha…
Sempat ikut pada kontes yang ke-4 namun hasilnya kurang maximal, karena waktu itu gak sanggup berbagi waktu anatara kuliah dan nge-blog. Dan untuk persiapan dalam menghadapi kontes blog kali ini terasa lebih enteng, karena dilaksanakan pas momen liburan panjang semester genap, jadi gak ada lagi yang mampu menghalangi aktivitas nge-blog seperti waktu sebelumnya.
Sebenarnya peluang untuk memenangkan kontes blog ini cukup besar karena gak pake yang namanya SEO-SEOan, dan untuk menang peraturannya cuma tiga yaitu : jumlah halaman terindex google, jumlah referring domain, dan memuat artikel tentang PIMNAS (karena kebetulan UMY tahun ini jadi tuan rumah PIMNAS ke-25).

Dan ini dia blognya : Calon Sarjana

Well!!! Semoga bisa dapat HP gratis.. Aamin…