Friday, May 31, 2013

[Media_Nusantara] Kebijakan Tentang BBM Yang Sejak Lama Sudah Kacau Balau

 

Kebijakan Tentang BBM Yang Sejak Lama Sudah Kacau Balau

Hampir semua elit bangsa kita telah tersesat pikirannya selama berpuluh-puluh tahun tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kebijakan dalam menentukan harga BBM.

Mereka mengatakan bahwa kalau harga minyak mentah di pasar internasional lebih tinggi dari harga minyak mentah yang terkandung dalam bensin premium, pemerintah Indonesia memberi subsidi kepada rakyatnya. "Subsidi" yang mereka artikan sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Karena jumlahnya besar, uang tunai ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol.

Dengan angka-angka dikatakan bahwa dalam hal :
  • Harga minyak Indonesia di pasar internasionl, Indonesian Crude Price (ICP) USD 105 per barrel;
  • Lifting minyak Indonesia 930.000 barrel per hari;
  • Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63 juta kiloliter per tahun;
  • dan beberapa asumsi lainnya,
pemerintah Indonesia harus mengeluarkan subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 123,60 trilyun. Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol. Maka pemerintah harus menaikkan harga BBM. Pemerintah, para ilmuwan, pengamat, pers dan komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat Indonesia tentang pendapatnya yang sama sekali tidak benar, dan bahkan menyesatkan itu.

Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan penjelasannya mengatakan harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi BBM, ternyata menulis yang bertentangan di dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan T

NOTA KEUANGAN TAHUN 2012

Angka subsidi sebesar Rp. 123,60 trilyun diperoleh dari empat angka yang terdapat dalam halaman-halaman dari Nota Keuangan yang dirinci sebagai berikut:

Halaman III-6 : Tabel III.3 – Penerimaan Perpajakan, 2011 dan 2012

Dalam Tabel ini terdapat pos "Pajak Penghasilan Migas" sebesar Rp. 60,9156 trilyun

Halaman III-12 : Tabel III.7 – Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Tahun 2001 – 2012

Dalam Tabel ini terdapat pos "Penerimaan SDA Migas" sebesar Rp. 159,4719 trilyun.

Halaman IV-7 : Tabel IV.3 – Subsidi 2012

Dalam Tabel ini terdapat pos "Subsidi BBM dan LPG Tabung 3 Kg." sebesar Rp. 123,5997 trilyun.

Halaman IV-43 : Tabel IV.5 – Transfer ke Daerah, 2012

Dalam Tabel ini terdapat pos "Sumber Daya Alam Migas" sebesar
Rp. 32,2762 trilyun. Ini adalah pemasukan uang tunai Pemerintah Pusat yang diteruskan kepada Pemerintah Daerah atas dasar Bagi Hasil dalam Otonomi Keuangan Daerah.
Keempat angka tersebut disusun dalam Tabel I terlampir.

Tabel I : Tidak ada subsidi yang sama dengan pengeluaran uang tunai

Kita lihat bahwa walaupun sudah memasukkan pos yang dinamakan "Subsidi" sebesar Rp. 123,5997 trilyun masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 64,5116 trilyun.
Kelebihan uang dalam Kas Kementerian Keuangan lebih besar dari ini, namun uang tunai sejumlah Rp. 32,2762 trilyun diteruskan ke Pemerintah Daerah sebagai Dana Bagi Hasil dalam rangka otonomi keuangan. Jelas angka ini adalah pemasukan uang. Maka kalau ditambahkan, kelebihan uang tunai menjadi Rp. 96,7878 trilyun. Jadi kalau dikatakan Pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah Rp. 123,5997 trilyun guna membayar "subsidi" BBM jelas tidak benar.

SURPLUS BBM TERCANTUM DALAM NOTA KEUANGAN 2012 TAHUN ANGGARAN 2012

FRAKSI-FRAKSI KOALISI DI DPR TIDAK PAHAM TENTANG APA YANG MEREKA LAKUKAN

Kesepakatan fraksi-fraksi koalisi di DPR tentang Pasal 7 ayat (6A) jelas berdasarkan kebingungan dan ketidak pahaman tentang apa yang mereka diskusikan dan putuskan. Mengapa memberikan hak kepada pemerintah dalam hal harga ICP mencapai 115% dari USD 105 per barrel ? Lagi-lagi karena keyakinan bahwa APBN akan jebol kalau harga mencapai 115% x USD 105 per barrel.
Bahwa keyakinan itu sama sekali keliru terlihat dari perhitungan di bawah, yang masih menghasilkan surplus sebesar Rp. 74,1915 triyun dalam hal harga ICP menjadi USD 120.75

Kalau harga ICP = 115% dari USD 105/barrel masih terdapat  surplus/kelebihan uang tunai
Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana harga ICP mencapai 115% (atau plus 15%) dari USD 105 per barrel, Pemerintah boleh menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena defisit yang diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.

Dari susunan angka-angka di atas terlihat jelas bahwa Pemerintah masih kelebihan uang tunai sejumlah Rp. 74,1915 trilyun, walaupun harga ICP mencapai USD 120,75 per liter.
Mengapa dan bagaimana mungkin Pemerintah melakukan kesalahan pikir sampai demikian kacau balaunya. Subsidi yang tidak ada, ditulis beserta jumlahnya. Tetapi angka-angka yang riil tidak dapat disembunyikan, sehingga terpaksa harus menuliskan pos "PNBP Migas" dengan jumlah Rp. 159,4719 trilyun. Maka Tabel I memang memuat pos "Subsidi BBM" sebesar Rp. 123,5997 trilyun, tetapi ada pemasukan uang dengan sebutan pos "PNBP Migas" sebesar Rp. 159,4719 trilyun dan pos "DBH (Dana Bagi Hasil) Migas" sebesar Rp. 32,2762 trilyun, yang membuat tercantumnya kelebihan uang (surplus) dalam Nota Keuangan 2012.

ALASAN IDEOLOGIS
Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di brain wash, sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau refleks merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam BBM harus dinilai dengan harga yang terbentuk oleh mekanisme pasar (dalam UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2 : "mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar".)

Harga pngadaan bensin
Harga pokok pengadaan bensin yang berasal dari minyak mentah milik sendiri, karena digali dari dalam perut bumi Indonesia terdiri pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan (lifting), pengilangan (refining) dan biaya pengangkutan rata-rata ke pompas-pompa bensin (transporting). Keseluruhan biaya-biaya ini sebesar USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter dan dengan asumsi nilai tukar 1 USD = Rp. 9.000, maka biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan sebesar (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566.

Namun kita dicuci otak untuk berpikir bahwa seolah-olah semua minyak mentah harus dibeli dari pasar minyak internasional yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasarnya New York Mercantile Exchange (NYMEX)

Dengan demikian kita harus berpikir bahwa harga pokok dari 1 liter bensin premium sebesar Rp. 6.509, yaitu atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional sebesar USD 105 per barrel. 1 barrel = 159 liter, sehingga dengan asumsi 1 USD = Rp. 9.000 (yang diambil oleh APBN 2012), komponen minyak dalam 1 liter bensin premium adalah (105 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 5.934,30. Ditambah dengan biaya Lifting, Refining dan Transporting sebesar Rp. 566 per liter, menjadilah bensin premium dengan harga pokok sebesar Rp. 6.509 per liter.

Seperti kita ketahui, harga bensin premium Rp. 4.500 per liter, sehingga pemerintah merasa merugi sebesar Rp. 2.009 per liternya (Rp. 6.509 – Rp. 4.500). Dengan kata lain, pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang membeli bensin premium sebesar Rp. 2.009 untuk setiap liternya.

Karena menurut pemerintah konsumsi bensin dengan harga Rp. 4.500 per liter itu seluruhnya 61,62 juta kiloliter atau 61,52 milyar liter, pemerintah merasa merugi, memberikan subsidi kepada rakyat pengguna bensin sejumlah Rp. 123,59 trilyun. Angka inilah yang tercantum dalam Nota Keuangan tahun 2015 (Tabel IV.3 : Subsidi – halaman IV.7).

Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi fundalisme mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM, yaitu bahwa harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar; pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat rakyatnya, sedangkan minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik rakyat itu sendiri. Pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah perut bumi tanah airnya tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan buat rakyat. Dengan kata lain, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tentang bagaimana menggunakan minyak yang miliknya sendiri itu diingkari.

Harga yang dibayar untuk minyak miliknya sendiri haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar, mekanisme permintaan dan penawaran minyak dari seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX).

Kalau harga minyak yang terkandung dalam BBM dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX, perbedaan ini disebut "subsidi" yang dianggap "rugi" dalam arti benar-benar kehilangan uang.

Pikiran yang menganut mekanisme pasar murni difanatisir, diradikalisir dan disesatkan dengan mengatakan bahwa subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Jumlahnya sangat besar, pemerintah tidak memiliki uang itu, sehingga APBN jebol. Ini jelas tidak benar, jelas bohong. Toh dikatakan oleh praktis seluruh elit kekuasaan yang duduk dalam eksekutif maupun legislatif.

Penyesatan tersebut telah diperlihatkan pada awal paparan ini, yaitu angka-angka yang tercantum dalam Tabel I. Angka-angka ini ditulis oleh pemerintah sendiri yang dicantumkan dalam dokumen resmi, yaitu Nota Keuangan/APBN tahun 2012 yang dijadikan titik tolak diskusi dan penentuan kebijakan.

Demikianlah jauhnya indoktrinasi, brain washing yang berhasil tentang mutlaknya pemberlakuan mekanisme pasar, sehingga mulut pemerintah mengatakan memberi subsidi yang sama dengan uang tunai dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan sehingga APBN jebol, tetapi tangannya menuliskan Tabel nomor I yang jelas memperlihatkan bahwa ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.

APA TUJUAN DARI INDOKTRINASI DAN BRAIN WASHING ?

Secara logis, deduktif dan obyektif dapat dikenali bahwa pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia yang membeli minyak miliknya sendiri, dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia secara mendarah daging berkeyakinan, bahwa harga yang dibayar untuk BBM dengan sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia.
Kalau ini sudah merasuk ke dalam otak dan darah dagingnya, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual BBM di Indonesia dengan memperoleh laba besar.
Seperti kita ketahui, sekitar 90% dari minyak Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak bagi hasil. Pihak Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%. Tetapi dalam kenyataannya, pembagiannya sekarang ini pihak Indonesia memperoleh 70% dan para kontraktor asing memperoleh 30%. Sebabnya yalah adanya ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar kembali dalam natura atau dalam bentuk minyak mentah yang digali dari bumi Indonesia.

Para kontraktor asing menggelembungkan (mark up) biaya-biaya eksplorasinya, sehingga sampai saat ini, setelah sekian lamanya tidak ada eksplorasi lagi, biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery costs masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali. Maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barrel per hari, yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% dari 930.000 barrel per hari, yang sama dengan 837.000 barrel per hari. Hak kontraktor asing 30%. Tetapi karena yang 15% dianggap sebagai penggantian biaya eksplorasi yang disebut cost recovery, kita anggap netonya memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15% x 837.000 barrel = 125.500 barrel per hari atau 19.954.500 liter per hari.

Kita saksikan bahwa Shell, Chevron, Petronas dll. sudah membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp. 10.000 per liter. Apa artinya ini ? Artinya, mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari. Biaya untuk melakukan pengedukan, pengilangan dan transportasi sampai ke pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566 per liter. Dijual dengan harga Rp. 10.000 per liter. Labanya Rp. 9.434 per liter. Volumenya 19.954.500 liter per hari. Maka labanya per hari dari konsumen Indonesia dengan menjual bensin yang minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia sebesar Rp. 188.255.847.000 per hari, yaitu (19.954.500 x 10.000) – (19.954.500 x 566) = Rp. 188.255.847.000 per hari.

Dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing yang bekerja di Indonesia sebesar Rp. 68,71 trilyun.

Buat saya sangat jelas bahwa faktor inilah yang membuat para kontraktor asing itu melakukan apa saja untuk mencuci otak rakyat Indonesia bahwa bensin harus dibayar dengan harga New York beserta berbagai argumentasinya. Ternyata berhasil, karena dikumandangkan dengan demikian kerasnya oleh para elit kita, dari Presiden sampai pegawai negeri rendahan, dari mahasiswa sampai guru besar dan semua media massa.
Inlander

Sekarang setiap hari Chevron memasang iklan di berbagai surat kabar dan pemancar televisi Indonesia bahwa Chevron punya andil besar dalam membangun Indonesia, menggunakan wajah-wajah Indonesia yang mengangguk-ngangguk bagaikan inlander membenarkan peran besarnya Chevron dalam mengeduk kekayaan sumber daya alam Indonesia. 

IDEOLOGI YANG MENYUSUP KE DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Ideologi bahwa pemerintah tidak boleh campur tangan dalam menentukan harga BBM di Indonesia, walaupun minyak mentah milik bangsa Indonesia sendiri, telah berhasil disusupkan ke dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang inilah yang dijadikan landasan untuk memberlakukan harga di pasar internasional buat bangsa Indonesia. Kalau rakyat Indonesia belum mampu membayar harga internasional, dikatakan bahwa pemerintah harus memberikan subsidi untuk perbedaan harganya, dan dikatakan juga bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, sehingga APBN jebol. Bahwa ini tidak benar telah dijelaskan.

HARGA BBM, UNDANG-UNDANG DASAR DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 Tahun 2001 jelas bertentangan dengan UUD kita beserta tafsirannya. UUD kita mengatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Karena itu harga BBM yang sesuai dengan ketentuan UUD tersebut ditentukan oleh hikmah kebijaksanaan yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
  • kepatutan,
  • daya beli masyarakat,
  • nilai strategis untuk keseluruhan sektor-sektor lainnya dalam pembangunan.
Karena prinsip tersebut dilanggar, maka Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan yang menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Putusannya adalah:

Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : "Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : "Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia."

KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH SEBUAH PERATURAN PEMERINTAH

Keputusan MK tersebut disikapi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pasal 72 ayat (1) berbunyi : "HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BUMI, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN".

KONSTITUSI, MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH PARA PENGUASA

Sejak lama para penguasa kita memberikan pernyataan-pernyataan yang sangat tegas dan jelas, yang mencerminkan keyakinannya tentang harga BBM yang diberlakukan buat rakyat Indonesia haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX. Mereka mengatakan bahwa apabila harga BBM di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri, perbedaan itu merupakan kerugian dalam keuangan negara. Pemerintah harus menambal kerugian tersebut dengan uang tunai dalam jumlah sangat besar yang tidak dimilikinya. Maka kalau harga tidak disamakan dengan harga BBM internasional, APBN jebol. Bahwa ini jelas tidak benar telah diuraikan pada awal paparan ini.

Sekarang akan dikemukakan pikiran yang diucapkan, dituliskan, dipidatokan kepada rakyat dan DPR, beserta keinginan pemerintah memberlakukan harga BBM atas dasar harga minyak mentah yang ditentukan oleh NYMEX. Mari kita simak pernyataan-pernyataan sebagai berikut:

Kompas tanggal 17 Mei 2008 mengutip Menko Boediono yang mengatakan : "Pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai September 2008. Pemerintah ingin mengarahkan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia."

Hal yang sama diulangi lagi oleh Boediono dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden dalam wawancaranya pada acara di Metro TV dengan Suryopratomo pada tanggal 26 Maret 2012.

Presiden SBY memberi pernyataan yang dikutip oleh Indopos tanggal 3 Juli 2008 sebagai berikut : "Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau harga minyak USD 160 gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM".

Sangat jelas, Presiden SBY berkeyakinan bahwa perbedaan harga antara pasar New York dengan harga BBM yang diberlakukan untuk rakyat Indonesia sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Seperti telah dijelaskan, ini tidak benar. Presiden SBY disesatkan oleh para menterinya sendiri.

Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan : "dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih mensubsidi harga premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena adaperbedaan harga antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar dunia sebesar Rp. 9.000 per liter."

Ketika itu, bensin premium dinaikkan harganya menjadi Rp. 6.000 per liter, harga minyak mentah di pasar internasional USD 133 per barrel dan kurs rupiah 1 USD = Rp. 10.000
Cara berpikir Menteri Purnomo sebagai berikut:
Harga minyak mentah USD 133 per barrel sama dengan USD 0,8365 per liter atau Rp. 8,364 per liter. Ditambah dengan LRT sebesar Rp. 630 menjadi harga pokok bensin premium sebesar Rp. 8,994. Angka ini dibulatkan menjadi Rp. 9,000 per liter.
Jadi sangat jelas pikiran Menteri Purnomo bahwa rakyat Indonesia seyogianya membayar BBM sesuai dengan harga minyak di pasar internasional (harga NYMEX).

Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani : "Sekarang memang dinaikkan menjadi Rp. 6.000 per liter. Tetapi ini untuk sementara. Jika harga minyak terus meningkat secara signifikan, pemerintah bisa melakukan tindakan untuk menekan harga subsidi BBM (baca : menaikkan harga BBM)".
Lengkaplah sudah bukti-bukti bahwa sejak tahun 2008 sampai sekarang pikirannya, darah dagingnya, DNA-nya para penguasa kita berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia yang memiliki minyak harus membayar minyaknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX dalam memenuhi kebutuhan akan BBM.

LANDASAN TEORETIS YANG DIBUAT KEBLINGER

Metode replacement value

Apakah ada landasan teoretis tentang bagaimana menghitung harga pokok BBM yang bisa kita anut, dan nyatanya dianut oleh pemerintah ? Ada, yaitu menghitung harga pokok BBM atas dasar replacement value. Teori ini mengatakan bahwa harga pokok dari barang yang dijual adalah harga beli yang berlaku di pasar dari barang yang baru saja dijual.

Kalau saya sekarang menjual 1 liter premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, harga pokok saya adalah harga yang harus saya bayar seandainya minyak mentah yang ada dalam 1 liter premium itu saya beli dari New York dengan harga yang berlaku di sana sekarang. Berapakah harga itu ? Tergantung. Kalau harganya USD 105 per barrel, maka per liternya USD 0,66. Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000 harga pokok minyak mentah per liternya 0,66 x Rp. 9.000 = Rp. 5.940. Ditambah dengan biaya LRT sebesar Rp. 566 per liter, harga pokok bensin premium per liternya menjadi Rp. 6.506. Atas dasar alur pikir ini, pemerintah merasa harga pokoknya Rp. 6.506, sehingga kalau dinaikkan menjadi Rp. 6.000 masih rugi sedikit.

Pemerintah terus mengatakan bahwa kalau dipaksa menjual premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, setiap liternya akan merugi Rp. 1.500.

Benarkah ? Benar dalam konsep penghitungan harga pokok atas dasar metode replacement value. Tetapi kerugiannya tidak dalam bentuk uang tunai yang hilang. Kerugiannya dalam bentuk kesempatan memperoleh untung Rp. 1.500 per liternya yang hilang, karena tidak bisa menjual minyak di New York. Mengapa tidak bisa ? Karena minyak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Yang hilang bukan uang tunai, tetapi kesempatan memperoleh untung besar. Kerugiannya dalam bentuk opportunity loss, bukan real cash money loss.

Karena itu, tidak ada kerugian dalam bentuk uang tunai yang membuat APBN jebol. Sebaliknya, pemerintah masih memperoleh kelebihan uang tunai yang ditulisnya sendiri dalam Nota Keuangan 2012, yang pada awal paparan ini sudah dikemukakan dalam bentuk tabel-tabel.

Dibuat keblingernya konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value yalah karena opportunity loss dikatakan sebagai real cash money loss; kerugian dalam kesempatan yang hilang dikatakan sebagai kerugian dalam bentuk uang tunai yang hilang.

Maka mulut mengatakan "APBN jebol", tetapi tangannya menulis dalam Nota Keuangan ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.

Substansialisme

Mengapa ada konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value ? Untuk memperoleh harga pokok yang menjamin bahwa substansi barangnya dipertahankan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pedagang cabe mulai berdagang dengan Rp. 100.000 dibelikan 10 kg. cabe. Semuanya laku dijual dengan hasil penjualan Rp. 150.000. Ketika dia ingin membeli cabe untuk perputaran perdagangan selanjutnya, harga beli cabe sudah naik menjadi Rp. 12.000 per kg.

Mahasiswa A dan B ditanya berapa laba sang pedagang ? A mengatakan Rp. 50.000, karena kalau labanya yang Rp. 50.000 itu dikonsumsi, modal nominalnya dalam bentuk uang tunai masih utuh sebesar Rp. 100.000

B menjawab labanya Rp. 30.000, karena B ingin mempertahankan 10 kg. cabenya yang tidak boleh berkurang setelah laba dikonsumsi habis. Harga beli cabe buat pedagang naik menjadi Rp. 12.000 per kg, sehingga untuk mengganti jumlah kg. cabe yang harus tetap 10 kg., pedagang harus mengeluarkan uang Rp. 120.000

A ingin mempertahankan modal nominalnya sebesar Rp. 100.000. B ingin mempertahankan substansi dalam bentuk barang dagangannya (cabe) sebanyak 10 kg. Maka dia menganggap laba yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi volume cabe barang dagangannya (10 kg.) sebesar Rp. 30.000 saja, karena yang Rp. 120.000 dibutuhkan untuk membeli 10 kg. cabe lagi yang harganya sekarang sudah meningkat menjadi Rp. 12.000 per kg.

A menggunakan metode harga pokok cash basis. B menggunakan metode repalcement value basis.  A disebut nominalis, B disebut substansialis. Landasan pikiran A adalah nominalisme, sedangkan B menganut aliran substansialisme.

Pemerintah yang mengambil harga pasar minyak di New York sebagai harga pokoknya menganut faham substansialisme. Konsekwensinya, kelebihan uang tunai harus dipakai untuk mempertahankan volume energi, yang bentuknya misalnya menggunakan kelebihan uangnya guna melakukan riset menemukan energi alternatif.

Seperti kita ketahui, pemerintah ingin menggunakannya untuk membagi-bagi uangnya kepada orang miskin, atau untuk infra struktur.

Jadi tujuan pemerintah menerapkan substansialisme dalam bidang minyak tidak untuk mempertahankan cadangan energi, tetapi untuk tujuan-tujuan lain.

Kalau memang itu tujuannya jangan mengatakan menderita kerugian, jangan menggunakan kata "subsidi". Caranya merumuskan kebijakannya yalah dengan mengatakan:

"Pemerintah telah memperoleh kelebihan uang tunai sebanyak Rp. 96,78 trilyun dengan menjual bensin premium dengan harga Rp. 4.500 per liternya. Tetapi pemerintah ingin menaikannya menjadi Rp. 6.000 per liter supaya mendapat uang lebih banyak guna memberikan santunan kepada orang miskin, membangun jembatan dsb."

Pemerintah menjadi bingung karena tidak berpikir sendiri, melainkan menjalankan bisikan atau bahkan pendiktean orang lain tanpa mengetahui apa maksud orang yang mendiktekannya, dan tanpa mengerti landasan falsafah dari penghitungan harga pokok atas dasar substansialisme. Karena bingungnya itu lantas menjadi ngawur dalam berargumentasi. Pemerintah menebar jejaring kebohongan yang akhirnya terjerat jejaring itu sendiri dengan akibat terlihat seperti orang yang selalu kebingungan.

METODE CASH BASIS ATAU HISTORICAL COST

Harga pokok atas dasar metode ini yalah uang tunai yang benar-benar dikeluarkan untuk memperoleh 1 liter bensin premium. Uang tunai harus dikeluarkan untuk membayar biaya-biaya penyedotan minyak dari bawah perut bumi (lifting), mengilangnya menjadi bensin (refining) dan mentransportasikannya ke pompa-pompa bensin (transporting). Tiga macam biaya ini (LRT) keseluruhannya USD 10 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, dan kalau kurs 1 USD = Rp. 9.000, maka uang tunai yang harus dikeluarkan untuk memperoleh bensin premium pada pompa-pompa bensin rata-ratanya (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566 per liter.

Karena uang tunai yang dikeluarkan hanya sebanyak Rp. 566 per liternya, harga pokok menurut metode ini Rp. 566 per liter. Kalau dijual Rp. 4.500 per liter, terjadi kelebihan uang tunai sebesar Rp. 3.934 per liternya.

Sistem pembukuan dan sistem kalkulasi harga pokok yang diterapkan oleh pemerintah adalah cash basis. Maka tidak bisa berbohong.

Keseluruhan sistem pembukuan dan metode penghitungan harga pokok yang melandasinya adalah yang cash basis atau yang historical cost. Maka tidak mungkin berbohong tanpa menyembunyikan kelebihan uangnya yang merupakan perbuatan kriminal berat.
Itulah sebabnya melalui jalan yang berliku, dalam Nota Keuangan 2012 terdapat kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun, seperti yang telah dijelaskan berkali-kali.

Menjelaskan dengan perhitungan simulatif yang disederhanakan

Kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun dihitung oleh pemerintah yang dituangkan dalam 4 buah tabel, yang letaknya dalam Nota Keuangan 2012 saling berjauhan urutan halamannya. Jadi yang saya lakukan hanya menulis dan menyusun apa adanya yang disajikan oleh pemerintah.

Sekarang saya akan menjelaskan keseluruhan alur pikir yang disederhanakan, tetapi dibuat selogis dan serealistis mungkin. Hasilnya hanya berbeda sekitar 1% saja.
Diasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang merupakan hak Indonesia dijadikan bensin premium semuanya.

Konsumsi lebih besar dari produksi minyak hak Indonesia, yaitu konsumsi sebesar 63.000.000.000 liter, sedangkan produksi hak Indonesia 37.780.800.000 liter. Maka harus diimpor sebanyak 25.219.200.000 liter yang benar-benar dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.

Pertamina disuruh membeli minyak mentah hak Indonesia dengan harga internasional. Demikian juga dengan impor neto yang dengan sendirinya harus dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.

Susunan angka-angkanya menjadi Tabel berikut.

Kita lihat bahwa Pertamina memang kekurangan uang tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun. Ini yang disuarakan dengan keras oleh pemerintah sebagai subsidi yang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, dan dikatakan membuat APBN jebol.

Namun karena Pertamina disuruh membayar minyak mentah kepada pemerintah Indonesia untuk 37,7808 milyar liter dengan harga USD 105 per barrel, pemerintah kemasukan uang tunai dari Pertamina sebesar Rp. 224,569 trilyun (baris paling atas dengan angka-angka tebal). Defisit yang Rp. 126,63 trilyun ditambah dengan surplus yang Rp. 224,569 trilyun menjadikan surplus uang tunai pada pemerintah sebesar Rp. 97,939 trilyun.

Tabel di bawah dimaksud untuk menjelaskan alur pikir pemerintah dan dibuat secara simulatif yang disederhanakan, tetapi selogis dan serealistis mungkin, memperlihatkan surplus sebesar Rp. 97,939 trilyun. Angka surplus ini berbeda dengan yang tercantum dalam APBN tahun 2012 yang sebesar Rp. 96,788 trilyun. Selisihnya hanya Rp. 1,151 trilyun atau 1,19% saja. Maka perhitungan simulatif untuk menjelaskan alur pikir dapat dipertanggung jawabkan.

Pembelian PertaminaPembelian

LOGIKA KEBUN CABE

Rakyat yang tidak berpendidikan tinggi dengan segera dapat menangkap konyolnya pikiran para elit kita dengan penjelasan sebagai berikut.

Rumah tempat tinggal keluarga pak Amad punya kebun kecil yang setiap harinya menghasilkan 1 kg. cabe. Keluarganya yang ditambah dengan staf pegawai/pembantu rumah tangga cukup besar. Keluarga ini membutuhkan 1 kg. cabe setiap harinya.
Seperti kita ketahui, kalau produksi cabe yang setiap harinya 1 kg. itu dijual, pak Amad akan mendapat uang sebesar Rp. 15.000 setiap harinya. Tetapi 1 kg. cabe itu dibutuhkan untuk konsumsi keluarganya sendiri.

Biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pak Amad untuk menyiram dan memberi pupuk sekedarnya setiap harinya Rp. 1.000.

Pak Amad setiap harinya ngomel, menggerutu mengatakan bahwa dia sangat sedih, karena harus mensubsidi keluarganya sebesar Rp. 14.000 per hari, karena harus memberi cabe hasil kebunnya kepada keluarganya.

Akhirnya seluruh keluarga sepakat megumpulkan uang (urunan) sebanyak Rp. 5.000 yang diberikan kepada pak Amad sebagai penggantian untuk cabenya yang tidak dijual di pasar. Pak Amad masih menggerutu mengatakan bahwa dia memberi subsidi untuk cabe sebesar Rp. 10.000 setiap hari.

Lantas tidak hanya menggerutu, dia menjadi sinting betreriak-teriak bahwa dompetnya akan jebol, karena uang tunai keluar terus sebanyak Rp. 10.000 setiap harinya. Dalam kenyataannya, dia keluar uang Rp. 1.000 dan memperoleh Rp. 5.000 setiap harinya.
Ketika saya menceriterakan ini, rakyat jelata yang minta penjelasan kepada saya mengatakan : "Iya pak, kok aneh ya, punya cabe di kebunnya sendiri, harganya meningkat tinggi kok sedih, ngamuk, mengatakan kantongnya jebol, uang mengalir keluar, padahal yang keluar hanya Rp. 1.000 per hari, dia memperoleh Rp. 5.000 per harinya."
Saya katakan kepada rakyat jelata : "Ya itulah otak banyak sekali dari pemimpinmu yag sudah berhasil dicuci sampai menjadi gendeng seperti itu."


__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Media_Nusantara] Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

 

Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

Oleh: Anthony Budiawan
Direktur Eksekutif – Indonesia Institute for Financial and Economic Advancement (IIFEA) Rektor – Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII)


Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.

Dari pengelolaan tanah tersebut diperoleh hasil sebanyak 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30 unit untuk pengelola (mitra asing) dan 70 unit untuk Sultan. Dengan demikian, Sultan memperoleh 70 unit MB tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (biaya = Rp 0). Sultan merasa sangat beruntung dengan kerja sama tersebut.

Sultan sadar bahwa Produk MB ini sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, dan berjanji akan menggunakannya demi kepentingan, dan untuk kesejahteraan, Rakyat RI. Oleh karena itu, Sultan memutuskan untuk menjual Produk MB tersebut di dalam negeri dengan harga jual eceran Rp 1.000 per unit, sehingga Sultan memperoleh Pendapatan sebesar Rp 70.000 (untuk 70 unit), tanpa mengeluarkan biaya pengelolaan tanah (produksi). Untuk menjual Produk tersebut kepada masyarakat, Sultan memerlukan Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) sebesar Rp 10.000 per tahun, sehingga tingkat keuntungan Sultan menjadi sebesar Rp 60.000, seperti perhitungan berikut ini:

Pendapatan (Penerimaan) Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 -/-
Laba (atau Surplus) Rp 60.000

Penciptaan istilah "Subsidi"

Sultan diberitahu oleh Para Pembantunya bahwa harga Produk MB di luar negeri ternyata Rp 2.000 per unit. Namun, Sultan sadar sekali bahwa harga jual tersebut terlalu tinggi untuk di dalam negeri.

Sultan adalah seorang yang sangat kreatif, dan berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan, PT Pert-MB, yang ditugaskan khusus untuk menjual dan mendistribusikan Produk MB di dalam negeri. Karena harga Produk MB di luar negeri sebesar Rp 2.000 per unit, maka Sultan memutuskan untuk menjualnya kepada PT Pert-MB dengan harga internasional tersebut. Tetapi, Sultan sangat sadar bahwa rakyatnya tidak mampu membeli Produk MB dengan harga Rp 2.000 per unit, dan menginstruksikan kepada PT Pert-MB untuk menjualnya kepada rakyat dengan harga Rp 1.000.

PT Pert-MB tidak ada pilihan lain dan harus mentaati keputusan ini, yaitu membeli Produk MB dari Sultan dengan harga Rp 2.000 per unit dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1.000 per unit. Oleh karena itu, PT Pert-MB tentu saja akan mengalami kerugian sebesar Rp 1.000 per unit atau Rp 70.000 untuk 70 unit. Ditambah Biaya Operasional sebesar Rp 10.000 per tahun maka total kerugian PT Pert-MB akan menjadi Rp 80.000, di mana kerugian ini akan diganti sepenuhnya oleh Sultan dengan istilah "Subsidi MB". Dengan bangga Sultan kemudian berkata kepada rakyatnya bahwa sekarang Sultan memberi "Subsidi MB" kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) sebesar Rp 80.000 per tahun. "Subsidi MB"inilah yang selalu dikomunikasikannya kepada masyarakat, dan masyarakat sangat senang atas kebaikan hati Sultan.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 70.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 80.000
"Subsidi" dari Sultan Rp 80.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Akan tetapi, benarkah demikian? Seorang ekonom, KKG, yang sangat kritis terhadap hitung-hitungan seperti ini dibuat terheran-heran, dan bertanya-tanya, mengapa negeri nan subur ini memerlukan subsidi Produk MB dari Sultan: pada awalnya Sultan memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000, tetapi kemudian berbalik menjadi memberi "Subsidi" sebesar Rp 80.000 (yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai Kerugian), sedangkan di dalam praktek sehari-hari KKG tidak melihat ada perubahan apapun pada penjualan Produk MB di dalam negeri, baik dalam jumlah produksi, konsumsi maupun harga per unit produk MB.

Selidik punya selidik, KKG kemudian memperoleh fakta dari Nota Keuangan Sultan di mana tercatat ada Pendapatan yang berasal dari penjualan Produk MB kepada PT Pert-MB sebesar Rp 140.000 per tahun, yaitu 70 unit @ Rp 2.000. Di samping itu, dalam Nota Keuangan yang sama KKG juga melihat ada Belanja "Subsidi MB" kepada PT Pert-MB sebesar Rp 80.000 per tahun.

Dengan demikian, Sultan seharusnya masih memperoleh Surplus sebesar Rp 60.000 (persis seperti pada awal transaksi sebelum PT Pert-MB didirikan).
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000)
"Subsidi MB" (kepada PT Pert-MB) Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Oleh karena itu, KKG kemudian mengambil kesimpulan bahwa subsidi yang di-claim oleh Sultan selama ini sebenarnya hanyalah sebuah ilusi saja, imajinasi saja. Subsidi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Faktanya, Sultan malah memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000 per tahun seperti perhitungan yang ada dalam Nota Keuangan Sultan yang ditampilkan oleh KKG di atas.

Istilah "Subsidi" yang Semakin Populer, dan Pembodohan terhadap Masyarakat

Sangat mengejutkan, harga Produk MB di luar negeri naik pesat menjadi Rp 2.400 per unit pada tahun berikutnya. Melihat perkembangan tersebut, Sultan kemudian meminta PT Pert-MB untuk membeli Produk tersebut dengan harga yang sama dengan harga luar negeri, yaitu Rp 2.400 per unit, tetapi menginstruksikannya untuk menjualnya di pasar domestik dengan harga yang sama, yaitu Rp 1.000 per unit, di mana total Kerugian PT Pert-MB tersebut akan diganti sepenuhnya (dengan kata lain, di-"subsidi") oleh Sultan. Oleh karena itu, total kerugian PT Pert-MB yang akan "disubsidi" oleh Sultan menjadi Rp 108.000 seperti perhitungan berikut:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan Produk MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian Produk MB dari Sultan Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 98.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 108.000
"Subsidi" dari Sultan Rp 108.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Sultan kemudian dengan bangga mengumumkan kepada Rakyat RI bahwa "Subsidi" yang diberikan oleh Sultan kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) meningkat dari Rp 80.000 menjadi Rp 108.000 karena harga Produk MB di dalam negeri tidak dinaikkan sesuai harga di luar negeri (artinya, harga Produk MB di dalam negeri tetap Rp 1.000 per unit). KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan, dan menyajikan data tersebut sebagai berikut.

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400)
"Subsidi MB" (kepada PT Pert-MB) Rp 108.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) ./-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Kesimpulan

Ternyata, KKG melihat fakta (dari Nota Keuangan Sultan) bahwa Sultan masih tetap memperoleh surplus sebesar Rp 60.000: yaitu, penjualan kepada PT Pert-MB sebesar Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) dikurangi "Subsidi MB' kepada masyarakat sebesar Rp 108.000).

KKG mengangguk-angguk tanda mengerti, dan dalam batin dia mengatakan: tentu saja surplus tersebut tidak berubah, yaitu tetap Rp 60.000, karena kondisi di dalam negeri juga tidak berubah, dan sangat jelas bahwa kondisi di luar negeri tidak ada hubungannya dengan di dalam negeri.

Tetapi, kebanyakan masyarakat, termasuk para intelektual, sudah sangat terpikat dengan pencitraan Sultan yang dianggap sangat bermurah hati karena memberi "Subsidi MB" kepada masyarakat dalam jumlah besar.

Tetapi, sangat sayang bagi Sultan bahwa pembodohan ini tidak akan berlangsung lama lagi karena masyarakat sudah mulai tersentak dan tersadar dengan data yang disajikan oleh KKG, bahwa selama ini mereka dibodohi saja dengan istilah "Subsidi MB". Kita tunggu saja reaksi masyarakat selanjutnya.

Selang akhir tahun, harga Produk MB di pasar internasional naik lagi dengan pesat dan pada puncaknya mencapai Rp 3.000 per unit. Pembantu Sultan yang menangani masalah keuangan diminta nasehatnya mengenai dampak kenaikan harga Produk MB di pasar internasional terhadap keuangan Sultan.

Pembantu Keuangan Sultan mengerti keinginan Sultan bahwa harga jual Produk MB kepada PT Pert-MB adalah berdasarkan harga internasional, yaitu Rp 3.000 per unit, tetapi, harga jual dari PT Pert-MB kepada masyarakat adalah Rp 1.000 per unit (yang disebut sebagai harga ber-"subsidi"). Harga jual Produk MB kepada PT Pert-MB dengan harga pasar internasional, meskipun hanya sebagai ilusi, sudah dilakukan sejak lama (karena itulah yang selalu dikatakan oleh Pembantu Keuangan terdahulu, dengan alasan bahwa Sultan sesungguhnya dapat menjual Produk MB di luar negeri dengan harga pasar internasional karena Produk MB sudah menjadi komoditas vital dunia yang paling dicari).

Atas dasar asumsi harga jual tersebut, Pembantu Keuangan Sultan kemudian menghitung, dan sangat terkejut sekali melihat hasil hitungannya sendiri. Dengan tergopoh-gopoh, Pembantu Keuangan menghadap Sultan dan mengatakan apabila Sultan tidak menaikkan harga MB di dalam negeri maka Sultan akan mengalami kesulitan keuangan, alias keuangan Sultan akan jebol, karena Sultan harus menanggung beban "Subsidi MB" yang sangat luar biasa besarnya, yaitu dari Rp 108.000 menjadi Rp 150.000, naik hampir 50%, seperti terlihat dalam perhitungan berikut:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 140.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 150.000
"Subsidi" dari Sultan Rp 150.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Melihat hasil perhitungan tersebut, Sultan langsung tampil di depan publik dan berpidato (sambil berkeluh kesah) bahwa sekarang ini keuangan Sultan sedang mengalami permasalahan yang sangat serius akibat kenaikan harga Produk MB di pasar internasional. Beban "Subsidi MB" yang harus ditanggung oleh Sultan menjadi sangat berat, dan oleh karena itu, Sultan berharap Rakyat RI dapat memakluminya apabila harga Produk MB di dalam negeri dengan terpaksa dinaikkan untuk menyelamatkan keuangan Sultan, seraya menambahkan: "Sultan mana yang senang atau gembira menaikkan harga MB di pasar domestik?"

Sekali lagi, ekonom KKG terheran-heran dibuatnya, dan tidak mengerti bagaimana kondisi di dalam negeri yang tidak berubah dapat mengakibatkan "Subsidi MB" meningkat seiring dengan meningkatnya harga internasional.

Berdasarkan perhitungannya, Produk MB itu merupakan hasil dari tanah nan subur milik sendiri, milik Rakyat RI, oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan Produk MB di luar negeri, dan tidak ada hubungannya dengan gejolak harga internasional. KKG sempat berpikir, apa saya yang bodoh sehingga tidak dapat mengikuti perhitungan yang disajikan oleh Para Pembantu Sultan.

Dengan rasa heran dan penuh rasa ingin tahu, KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan yang terbaru. Setelah mempelajarinya, KKG terperangah karena melihat fakta bahwa sebenarnya Sultan masih mengalami Laba (atau Surplus) sebesar Rp 60.000, persis sesuai prediksinya, yaitu surplus tersebut tidak mengalami perubahan apapun dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. KKG mengutip hitungan dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB yang kemudian disajikan seperti berikut ini:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
"Subsidi MB" (kepada PT Pert-MB) Rp 150.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Tetapi, siapa yang mau mendengar KKG yang dianggap oleh banyak kalangan tidak mengerti permasalahan keuangan negara yang sangat rumit. Melalui Perwakilan Para Rakyat, maka disetujui harga Produk MB di pasar domestik naik dari Rp 1.000 per unit menjadi Rp 1.500 per unit untuk mempersempit perbedaan harga domestik dengan harga internasional, demi menyelamatkan Anggaran Keuangan Sultan.

Menurut Pembantu Keuangan Sultan, dampak kenaikan harga domestik tersebut dapat mengurangi "Subsidi MB" dari Rp 150.000 menjadi Rp 115.000 (lihat hitungan di bawah), tetapi tetap lebih tinggi dari jumlah "subsidi" sebelumnya yang sebesar Rp 108.000.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 105.000 (70 unit @ Rp 1.500)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 105.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 115.000
"Subsidi" dari Sultan Rp 115.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Secara diam-diam, karena masih merasa tidak mengerti alur pikirin Sultan serta pembantunya terkait "Subsidi MB", sekali lagi KKG mencoba melihat dampak kenaikan harga Produk MB di pasar domestik terhadap Nota Keuangan Sultan, dan menemukan sebagai berikut:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
"Subsidi MB" (kepada PT Pert-MB) Rp 115.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas)
Laba (Surplus) Rp 95.000

Ternyata, setelah kenaikan harga Produk MB di pasar domestik menjadi Rp 1.500 per unit, Laba (Surplus) yang diperoleh Sultan mengalami kenaikan dari Rp 60.000 (sebelum kenaikan harga) menjadi Rp 95.000. Kenaikan Surplus ini sebesar kenaikan harga domestik dikalikan jumlah unit penjualan (Rp 500 x 70 unit = Rp 35.000).

KKG melihat bahwa konsep penyusunan anggaran seperti yang disajikan oleh Sultan dengan istilah "Subsidi" merupakan pembodohan yang luar biasa terhadap masyarakat, karena sebenarnya Sultan mengalami Surplus dari pengeloaan tanah yang dilakukan Mitra Asing yang menghasilkan Produk MB, meskipun harga jual di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.
Oleh karena itu, istilah "Subsidi MB" dapat dikatakan pembohongan besar terhadap masyarakat.

Intinya, KKG mengatakan bahwa pengeluaran "Subsidi MB" dalam Anggaran Belanja Sultan adalah tidak riil karena tidak ada uang yang dikeluarkan.

"Subsidi MB" ini akan dikompensasikan dengan penerimaan dari PT Pert-MB (yang juga tidak riil). Satu-satunya yang riil dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Sultan adalah Surplus (atau Laba) sebesar Rp 60.000 sebelum terjadi kenaikan harga di pasar domestik, atau Rp 95.000 setelah terjadi kenaikan harga. Tetapi, anehnya Surplus yang riil ini tidak pernah disebut secara eksplisit di dalam Nota Keuangan Sultan, melainkan harus dicari dan dihitung sendiri, seperti yang dilakukan oleh KKG. Benar-benar sebuah usaha pengaburan perhitungan yang sempurna.

Ringkasan bagian sebelumnya, Sultan Negeri RI bekerja sama dengan Mitra Asing mengelola tanah nan subur ini, dan menghasilkan 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30%, atau 30 unit, untuk Mitra Asing dan 70%, atau 70 unit, untuk Sultan. Pada awalnya, 70 unit Produk MB ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri menurun, sedangkan Mitra Asing juga meminta bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan cost recovery) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari impor. Negeri RI sekarang sudah menjadi negara Net Importir Produk MB.

Dari data terakhir tercatat bahwa hasil produksi pengelolaan tanah hanya mencapai 90 unit Produk MB. Dengan kesepakatan bagi hasil yang terakhir, Mitra Asing memperoleh 1/3 bagian atau 30 unit Produk MB, sedangkan Sultan akan memperoleh 2/3 bagian atau 60 unit Produk MB. Seluruh Rakyat RI tidak ada yang mengetahui, secara sadar atau tidak sadar, bahwa penurunan produksi hasil kelola Mitra Asing dari 100 unit menjadi 90 unit tidak membuat bagian perolehan Mitra Asing turun: Mitra Asing tetap memperoleh 30 unit. Artinya, seluruh penurunan produksi tersebut dibebankan kepada Sultan melalui kesepakatan bagi hasil yang baru akibat cost recovery naik.

Bukan sulap dan bukan magic, tetapi nyata terjadi di Negeri RI yang tercinta ini: penurunan produksi yang dilakukan oleh Mitra Asing sebagai pengelola tanah tidak membuat perolehan mereka turun.

Seperti diuraikan di atas, konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat terus dari 70 unit per tahun menjadi 75 unit per tahun. Karena Sultan sekarang hanya memperoleh 60 unit dari pengelola Mitra Asing, maka Sultan harus mengimpor Produk MB sebanyak 15 unit untuk memenuhi total kebutuhan dalam negeri.

Nasib baik tidak berpihak pada Sultan, harga Produk MB di luar negeri naik sangat pesat belakangan ini, menjadi rata-rata Rp 4.000 per unit dari (harga sebelumnya sebesar Rp 3.000 unit). Melihat perkembangan yang sangat mengkhawatirkan ini, Pembantu Keuangan Sultan mulai menghitung apakah keuangan Sultan masih aman. Seperti biasa, Pembantu Keuangan sangat terperanjat melihat hasil perhitungannya, dan segera menghadap Sultan, melaporkan bahwa posisi keuangan Sultan dalam bahaya besar dan akan jebol apabila harga Produk MB di dalam negeri (yang sebesar Rp 1.500 per unit) tidak dinaikkan: "Subsidi MB" akan melonjak lagi, dan kali ini tidak tanggung-tanggung, dari Rp 115.000 pada tahun sebelumnya menjadi Rp 197.500 pada tahun ini, seperti terlihat dalam perhitungan di bawah ini.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 1.500) Rp 112.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian MB Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 187.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 197.500
"Subsidi" dari Sultan Rp 197.500 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Mendengar laporan tersebut, Sultan langsung segera tampil di depan publik, tentu saja sambil berkeluh kesah seperti biasanya, menyampaikan bahwa keuangan negara sedang mengalami kesulitan yang maha dahsyat akibat kenaikan harga Produk MB di luar negeri yang sangat tinggi, ditambah jumlah impor yang cukup tinggi karena konsumsi dalam negeri meningkat sedangkan produksi dalam negeri menurun sehingga seluruh kebutuhan dalam negeri tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri.

Sekali lagi, Sultan mohon dengan sangat agar Rakyat RI dapat mengerti bahwa harga Produk MB di pasar domestik terpaksa harus dinaikkan lagi, menjadi Rp 2.500 per unit, demi menyelamatkan keuangan Sultan. Dengan cara ini diharapkan beban "Subsidi MB" dapat ditekan untuk tidak naik terlalu tajam, hanya naik dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, seperti terlihat pada perhitungan di bawah ini:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 2.500) Rp 187.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+
Total Pembelian Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 112.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-"subsidi" Rp 122.500
"Subsidi" dari Sultan Rp 122.500
Total Rp 0 (nihil)

Setelah sekian lama mengikuti alur pikiran Sultan dan para pembantunya terkait "Subsidi MB" ini, KKG sudah paham benar bagaimana cara Para Pembantu Sultan menyampaikan dan menyembunyikan informasi yang membodohi masyarakat ini. Lagi-lagi KKG mengintip Nota Keuangan Sultan dan membeberkannya sebagai berikut:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 240.000 (60 unit @ Rp 4.000)
"Subsidi MB" (kepada PT Pert-MB) Rp 122.500 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 117.500

Dari Nota Keuangan Sultan dapat dibaca bahwa keuangan Sultan sebenarnya mengalami Surplus yang lebih besar dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 95.000 menjadi Rp 117.500, akibat kenaikan harga domestik yang disesuaikan dengan kenaikan harga internasional, yaitu Rp 1.000 per unit, meskipun jumlah Produk MB yang diterima oleh Sultan (dari bagi hasil kelola tanah dengan Mitra Asing) turun dari 70 unit menjadi 60 unit dan jumlah impor naik dari 0 unit menjadi 15 unit.

Para Pembantu Sultan sekali lagi mensosialisasikan bahwa Sultan sebenarnya sangat bermurah hati karena meningkatkan jumlah "Subsidi MB" dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, meskipun ada kenaikan harga domestik menjadi Rp. 2.500 per unit. Artinya, kenaikan harga domestik tersebut sebenarnya tidak terlau besar untuk dapat mencukupi kenaikan harga internasional serta kenaikan jumlah impor, di mana dapat dilihat dari jumlah "Subsidi MB" yang masih meningkat. Tetapi, informasi bahwa Surplus Produk MB mengalami peningkatan dari Rp 95.000 menjadi Rp 117.500 seperti terbaca dari Nota Keuangan Sultan, tidak akan pernah terungkap apabila ekonom yang bernama KKG tidak menelanjanginya.

Masyarakat kini sudah mengerti benar duduk perkaranya, dan segera akan meminta pendapat Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat untuk menurunkan fatwanya apakah Sultan boleh dengan seenaknya menaikkan harga domestik Produk MB sesuai dengan harga internasional sedangkan nyata-nyata Surplus di dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB malah bertambah besar akibat kenaikan harga tersebut.

Kita tunggu jawaban Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat, dan kita lihat apakah mereka masih mempunyai rasa empati terhadap Rakyat, dan pantas menyandang kata Rakyat dibelakang kata Majelis.

--selesai--

hitung-hitungan ekonom KKG


__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Media_Nusantara] Deklarasi Pendirian Organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM)

 

Deklarasi Pendirian Organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM)

Bertepatan dengan peringatan Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2013, akan dideklarasikan pendirian kembali organisasi kemahasiswaan dengan nama Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM) yang diharapkan mampu menjadi wadah para mahasiswa untuk saling belajar dan mengaktualisasi ide serta gagasan demi Indonesia yang lebih baik.

Disebut pendirian kembali, karena sebenarnya organisasi ini sebelumnya telah ada, tapi kemudian melakukan fusi bersama beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya yakni Gerakan Mahasiswa Marhenis, Gerakan Mahasiswa Demokrat, yang akhirnya fusi tersebut pada tahun 1954 melahirkan sebuah organisasi bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Dengan pendirian kembali organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM), maka otomatis GMM telah menyatakan keluar dari fusi yang melahirkan organisasi yang bernama GMNI tersebut. Untuk itu disarankan pada GMNI agar mengganti namanya atau GMNI mengumumkan bahwa salah satu organisasi yang dahulunya berfusi dan bergabung dalam GMNI telah keluar dari fusi. Sehingga GMM tidak terlibat dan tidak bertanggungjawab lagi pada segala hal yang dilakukan dan yang berkaitan dengan GMNI

Langkah keluar dari fusi yang dinamakan GMNI itu, karena GMM melihat bahwa yang dilakukan oleh GMNI sudah sangat melenceng jauh dari garis perjuangan dan cita2 semula. Dimana akhirnya GMNI kehilangan roh-nya sebagai organisasi kemahasiswaan yang mempunyai tugas sebagai sarana pendidikan kader bangsa dan sebagai sarana menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat

Hal ini terjadi karena sangat kuatnya kooptasi dari para alumni yang kebetulan saat ini memegang posisi pada partai tertentu. Padahal sebenarnya hubungan yang erat antara alumni sebuah organisasi mahasiswa dan para kader muda organisasi mahasiswa tersebut sangatlah baik, dimana para alumni bisa membantu dalam banyak hal untuk pengembangan organisasi dan cita2 organisasi mahasiswa tersebut.

Tapi yang terjadi di GMNI saat ini sangat menyedihkan dan kalau tidak diambil langkah yang luar biasa, selain organisasi perjuangan lama2 akan mati atau kalau adapun itu fiktif, dan yang paling merisaukan juga bisa menghapus ide dasar dari cita2 pendirian organisasi yakni ide2 besar dari para pendahulu bangsa, karena secara pasti tidak ada regenerasi pemikiran dan bahkan secara sengaja saat ini sudah terjadi pembelokan ide2 dasar perjuangan.

Hal ini terjadi karena campur tangan yang sangat dalam pada keputusan organisasi, sebagai misal bahwa jika Presidium GMNI sebagai pimpinan pusat organisasi akan membuat pernyataan atau langkah untuk menyikapi persoalan kemasyarakatan, pernyataan atau langkah itu harus dikoreksi dulu oleh alumninya yakni Achmad Baskara, Arif Wibowo, Didik Prasetyono, Nur Suhud dll yang saat ini merupakan anggota DPR RI dari PDIP maupun pejabat publik lainnya. Setelah dikoreksi oleh mereka, maka draft pernyataan diberikan pada Taufik Kiemas sebagai pemilik PDIP untuk diperiksa. Jika Taufik tidak berkenan, maka pernyataan tidak boleh dilakukan. Akhirnya malahan Presidium hanya membuat pernyataan dan langkah atas perintah Taufik Kiemas, tidak boleh berinisiatif. Bahkan lebih tragis ide2 besar yang boleh disosialisasikan atau diajarkan ke cabang maupun anggota adalah ajaran dari Taufik Kiemas, dan ide2 besar dari para pendahulu negeri seperti ide dari Bung karno harus dilemahkan dan diganti dengan ajaran Taufik Kiemas. Mungkin karena sudah sangat tua, maka Taufik Kiemas ingin membuat sejarah, bahwa dialah yang berhasil menghapus ide Bung Karno dan digantikan oleh ajaran Taufik Kiemas

Untuk melanggengkan hal ini, maka langkah pengkerdilan organisasi dilakukan, salah satunya adalah dibuatnya cabang2 GMNI fiktif ditempat yang malahan tidak ada perguruan tingginya. Hal ini karena sebelum melakukan kongres, sudah ditunjuk oleh Taufik Kiemas (demikian menurut para operatornya, yakni Achmad Baskara, Nursuhud, Didik Prasetyono, Arief Wibowo dll) siapa yang harus jadi pengurus pusat organisasi ini. Maka Cabang yang banyak anggotanya jika tidak dikehendaki oleh operator2 berdasarkan keinginan Taufik maka tak segan harus dibekukan dan diganti dengan cabang baru meski fiktif. Dan untuk memperkuat status quo, maka dibentuklah cabang2 fiktif bahkan sampai2 daerah yang tidak ada perguruan tinggi juga didirikan dan pengurusnya diambilkan orang sekenanya saja. Maka bisa dilihat bahkan banyak cabang sampai 4 kali kongres utusannya ya orang yang sama ya itu2 saja. Bahkan akhirnya untuk memilih kepengurusan berlakulah amplop/uang diberikan. Ini tentu saja merusak mental anak muda dan sudah sangat jauh dari cita2 perjuangan.

Karena berbagai alasan itulah akhirnya GMM mendeklarasikan diri dan keluar dari fusi yang dahulu tahun 1954 dilakukan bersama Gerakan Mahasiswa Marhenis dan Gerakan Mahasiswa Demokrat.

Untuk mencegah terulangnya kehancuran yang dialami GMNI karena nafsu keserakahan, haus kekuasaan dan gila hormat adalah sifat manusiawi yang bisa timbul pada siapa saja, maka GMM menentukan bahwa usia maksimal pengurus saat terpilih, di tingkat pusat adalah 25 tahun dan di tingkat propinsi dan cabang maksimal 22 tahun. Kecuali bagi pengurus yang sedang menjalani pendidikan S2 untuk pimpinan pusat maksimal 27 tahun dan untuk tingkat propinsi dan cabang maksimal 24 tahun.

Sebagai wadah para alumni, maka para alumni yang mendukung keluarnya GMM dari fusi, dan mendeklarasikan kembali berdirinya GMM mendirikan sebuah organisasi bernama IKAM (Ikatan Keluarga Manusia Merdeka), semoga dapat berkiprah dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Setelah Deklarasi yang akan dilakukan pada tanggal 1 Juni 2013, di Blitar, maka selanjutnya akan dilakukan konsolidasi, kaderisasi dan lain2 kegiatan untuk persiapan pengembangan didaerah sampai tanggal 17 Agustus 2013 akan diadakan kongres GMM di Jogjakarta.

Badan Pekerja Kongres merangkap Presidium Sementara Gerakan Mahasiswa Merdeka

Aditya, Yudho, Andy, Rochman, Arwita, Budi Sigalang, Anggoro

Terlampir Persiapan Koordinator Daerah: Sumatra Bagian UtaraUtara, Sumatra Bagian Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat & Banten, Jawa Tengah & DIY, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Bali NTB & NTT.

Persiapan DPC: Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Sumedang, Semarang, Purwokerto, Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Jember, Denpasar, Samarinda, Denpasar, Kupang.

Sumber:
Pesisir Media Online http://wargatumpat.blogspot.com/2013/05/pesisir-deklarasi-pendirian-organisasi.html

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Thursday, May 30, 2013

[jurnal-indonesia] Deklarasi Pendirian Organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM)

 

Soeloeh Indonesia Online
http://soeloeh-indonesia.blogspot.com/2013/05/deklarasi-pendirian-organisasi-gerakan.html
Deklarasi Pendirian Organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM)

Bertepatan dengan peringatan Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2013, akan dideklarasikan pendirian kembali organisasi kemahasiswaan dengan nama Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM) yang diharapkan mampu menjadi wadah para mahasiswa untuk saling belajar dan mengaktualisasi ide serta gagasan demi Indonesia yang lebih baik.

Disebut pendirian kembali, karena sebenarnya organisasi ini sebelumnya telah ada, tapi kemudian melakukan fusi bersama beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya yakni Gerakan Mahasiswa Marhenis, Gerakan Mahasiswa Demokrat, yang akhirnya fusi tersebut pada tahun 1954 melahirkan sebuah organisasi bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Dengan pendirian kembali organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM), maka otomatis GMM telah menyatakan keluar dari fusi yang melahirkan organisasi yang bernama GMNI tersebut. Untuk itu disarankan pada GMNI agar mengganti namanya atau GMNI mengumumkan bahwa salah satu organisasi yang dahulunya berfusi dan bergabung dalam GMNI telah keluar dari fusi. Sehingga GMM tidak terlibat dan tidak bertanggungjawab lagi pada segala hal yang dilakukan dan yang berkaitan dengan GMNI

Langkah keluar dari fusi yang dinamakan GMNI itu, karena GMM melihat bahwa yang dilakukan oleh GMNI sudah sangat melenceng jauh dari garis perjuangan dan cita2 semula. Dimana akhirnya GMNI kehilangan roh-nya sebagai organisasi kemahasiswaan yang mempunyai tugas sebagai sarana pendidikan kader bangsa dan sebagai sarana menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat

Hal ini terjadi karena sangat kuatnya kooptasi dari para alumni yang kebetulan saat ini memegang posisi pada partai tertentu. Padahal sebenarnya hubungan yang erat antara alumni sebuah organisasi mahasiswa dan para kader muda organisasi mahasiswa tersebut sangatlah baik, dimana para alumni bisa membantu dalam banyak hal untuk pengembangan organisasi dan cita2 organisasi mahasiswa tersebut.

Tapi yang terjadi di GMNI saat ini sangat menyedihkan dan kalau tidak diambil langkah yang luar biasa, selain organisasi perjuangan lama2 akan mati atau kalau adapun itu fiktif, dan yang paling merisaukan juga bisa menghapus ide dasar dari cita2 pendirian organisasi yakni ide2 besar dari para pendahulu bangsa, karena secara pasti tidak ada regenerasi pemikiran dan bahkan secara sengaja saat ini sudah terjadi pembelokan ide2 dasar perjuangan.

Hal ini terjadi karena campur tangan yang sangat dalam pada keputusan organisasi, sebagai misal bahwa jika Presidium GMNI sebagai pimpinan pusat organisasi akan membuat pernyataan atau langkah untuk menyikapi persoalan kemasyarakatan, pernyataan atau langkah itu harus dikoreksi dulu oleh alumninya yakni Achmad Baskara, Arif Wibowo, Didik Prasetyono, Nur Suhud dll yang saat ini merupakan anggota DPR RI dari PDIP maupun pejabat publik lainnya. Setelah dikoreksi oleh mereka, maka draft pernyataan diberikan pada Taufik Kiemas sebagai pemilik PDIP untuk diperiksa. Jika Taufik tidak berkenan, maka pernyataan tidak boleh dilakukan. Akhirnya malahan Presidium hanya membuat pernyataan dan langkah atas perintah Taufik Kiemas, tidak boleh berinisiatif. Bahkan lebih tragis ide2 besar yang boleh disosialisasikan atau diajarkan ke cabang maupun anggota adalah ajaran dari Taufik Kiemas, dan ide2 besar dari para pendahulu negeri seperti ide dari Bung karno harus dilemahkan dan diganti dengan ajaran Taufik Kiemas. Mungkin karena sudah sangat tua, maka Taufik Kiemas ingin membuat sejarah, bahwa dialah yang berhasil menghapus ide Bung Karno dan digantikan oleh ajaran Taufik Kiemas

Untuk melanggengkan hal ini, maka langkah pengkerdilan organisasi dilakukan, salah satunya adalah dibuatnya cabang2 GMNI fiktif ditempat yang malahan tidak ada perguruan tingginya. Hal ini karena sebelum melakukan kongres, sudah ditunjuk oleh Taufik Kiemas (demikian menurut para operatornya, yakni Achmad Baskara, Nursuhud, Didik Prasetyono, Arief Wibowo dll) siapa yang harus jadi pengurus pusat organisasi ini. Maka Cabang yang banyak anggotanya jika tidak dikehendaki oleh operator2 berdasarkan keinginan Taufik maka tak segan harus dibekukan dan diganti dengan cabang baru meski fiktif. Dan untuk memperkuat status quo, maka dibentuklah cabang2 fiktif bahkan sampai2 daerah yang tidak ada perguruan tinggi juga didirikan dan pengurusnya diambilkan orang sekenanya saja. Maka bisa dilihat bahkan banyak cabang sampai 4 kali kongres utusannya ya orang yang sama ya itu2 saja. Bahkan akhirnya untuk memilih kepengurusan berlakulah amplop/uang diberikan. Ini tentu saja merusak mental anak muda dan sudah sangat jauh dari cita2 perjuangan.

Karena berbagai alasan itulah akhirnya GMM mendeklarasikan diri dan keluar dari fusi yang dahulu tahun 1954 dilakukan bersama Gerakan Mahasiswa Marhenis dan Gerakan Mahasiswa Demokrat.

Untuk mencegah terulangnya kehancuran yang dialami GMNI karena nafsu keserakahan, haus kekuasaan dan gila hormat adalah sifat manusiawi yang bisa timbul pada siapa saja, maka GMM menentukan bahwa usia maksimal pengurus saat terpilih, di tingkat pusat adalah 25 tahun dan di tingkat propinsi dan cabang maksimal 22 tahun. Kecuali bagi pengurus yang sedang menjalani pendidikan S2 untuk pimpinan pusat maksimal 27 tahun dan untuk tingkat propinsi dan cabang maksimal 24 tahun.

Sebagai wadah para alumni, maka para alumni yang mendukung keluarnya GMM dari fusi, dan mendeklarasikan kembali berdirinya GMM mendirikan sebuah organisasi bernama IKAM (Ikatan Keluarga Manusia Merdeka), semoga dapat berkiprah dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Setelah Deklarasi yang akan dilakukan pada tanggal 1 Juni 2013, di Blitar, maka selanjutnya akan dilakukan konsolidasi, kaderisasi dan lain2 kegiatan untuk persiapan pengembangan didaerah sampai tanggal 17 Agustus 2013 akan diadakan kongres GMM di Jogjakarta.

Badan Pekerja Kongres
merangkap
Presidium Sementara
Gerakan Mahasiswa Merdeka

Aditya, Yudho, Andy, Rochman, Arwita, Budi Sigalang, Anggoro

Terlampir
Persiapan Koordinator Daerah: Sumatra Bagian UtaraUtara, Sumatra Bagian Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat & Banten, Jawa Tengah & DIY, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Bali NTB & NTT.

Persiapan DPC: Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Sumedang, Semarang, Purwokerto, Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Jember, Denpasar, Samarinda, Denpasar, Kupang.

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___