Pecah kongsi antara orang nomor satu dan wakilnya, sudah merupakan salah satu persoalan politik yang serius dalam pasangan pimpinan pemerintahan.
Di tingkat nasional Presiden Soekarno pernah pecah kongsi dengan Wapres Mohammad Hatta. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto dengan Wapres BJ Habibie. Perpecahan mereka dicatat sebagai yang terburuk. Karena hingga meninggal, sesama pasangan tidak sempat saling sapa dan bersilahturahmi.
Di tingkat pemerintahan daerah - terutama di era reformasi, nyaris tak terhitung jumlah pasangan kepala daerah yang pecah kongsi. Ada yang pecah kongsi di tengah jalan. Tapi ada yang tidak atau belum pecah secara resmi, tetapi masing-masing sudah memilih jalannya sendiri. Sang wakil sudah berancang-ancang menyalip atasannya di pilkada berikut atau atasannya tengah sibuk mencari pasangan pengganti.
Yang teranyar kepemimpinan di DKI Jaya. Gubernur Fauzi Bowo pecah kongsi di tengah jalan atau bercerai dengan Mayjen Priyanto, Wagub-nya. Perceraian Fauzi Bowo dan Priyanto termasuk yang paling memprihatinkan. Dalam arti tidak memberikan pendidikan politik yang sehat.
Sebab setelah bercerai, Priyanto kemudian menerbitkan buku yang isinya antara lain memuat hal-hal yang negatif tentang Fauzi Bowo. Penerbitan buku ini memang merupakan hak pribadi Priyanto. Tetapi yang kurang pas dari caranya adalah buku itu disebarkan di saat Fauzi Bowo sedang berjuang untuk mempertahankan kedudukannya. Priyanto memang tidak sedang berkampanye untuk pencalonan dirinya. Dan Priyanto juga memang tidak mencalonkan diri dalam Pilkada DKI. Tetapi sekalipun demikian, publik tahu, Priyanto pernah menyatakan rencanannya untuk bersaing dengan Fauzi Bowo dalam Pilkada tahun ini. Sehingga penyebaran buku yang antara lain berisikan versi Priyanto sendiri, tidak cukup sportif dan gentleman.
Sementara di provinsi Jawa Barat, Dede Yusuf (Wagub ) jauh hari sudah menyatakan akan maju sebagai Cagub, bersaing dengan Ahmad Heriawan, pasangannya saat ini.
Kenyataan di atas ini mau tak mau menimbulkan kekhawatiran bagaimana jadinya masib perjalanan pasangan Gubernur DKI Jaya hasil Pilkada 2012? Seandainya Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang menang apakah pecah kongsi dalam duet pemimpin ibukota bakal berulang lagi ?
Sejauh ini belum pernah ada penegasan baik dari Fauzi maupun Nachrowi. Tetapi tanpa penegasan pun dari pasangan ini, sepertinya mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan agar tidak berulang perpecahan seperti Fauzi-Priyanto.
Salah satu hal yang membuat rekat persatuan Fauzi-Nachrowi kelihatannya cukup kuat adalah kedua-duanya mewakili Partai Demokrat. Sebagai pasangan, mereka sedang tidak bersaing akibat latar belakang perbedaan partai. Fauzi duduk sebagai anggota Dewan Pembina di kepengurusan pusat sementara Nachrowi menjabat sebagai orang nomor satu di Partai Demokrat DKI Jaya. Apapun masalahnya, mestinya Fauzi pasti sudah belajar dari pengalaman perpecahan dengan Priyanto. Adalah salah Fauzi sendiri kalau ia mengulangi kembali kesalahannya dalam berpartner.
Lain ceriteranya dengan Jokowi-Ahok (Basuki Tjahya Purnama). Pasangan ini untuk sementara - terutama setelah kemenangan di putaran pertama, terihat sangat solid. Tetapi di balik kesolidan itu, sebetulnya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Masih banyak hal serius yang sengaja ditutupi. Dan itu semua merupakan kelemahan yang cukup mendasar yang berpotensi memicu perpecahn mereka di tengah jalan. Bahwa keduanya berasal dari partai yang berbeda, hal tersebut sudah tidak perlu dibahas lagi. Tetapi yang perlu dibahas adalah bagaimana sejarah keduanya dipersatukan atau "dikawinkan".
Kalau boleh diumpamakan dengan sebuah pernikahan, perkawinan Jokowi-Ahok terjadi lebih atas dasar pertimbangan politik dari "orang tua" masing-masing. Orangtua mereka adalah Megawati Soekarnoputri (PDI-P) untuk Jokowi dan Prabowo Subianto (Gerindra) untuk Ahok.
Rundown pernikahan mereka kurang lebih begini: Mega dan Prabowo sudah menetapkan hari "H". Dan beberapa hari sebelum hari "H" tersebut tiba, Mega dan Prabowo sudah membuat kesepakatan dimana apa isi kesepakatan itu tidak diberitahukan kepada Jokowi dan Ahok.
"Pokoknya Jokowi-Ahok harus jadi pasangan", demikian kurang lebih penegasan bersama Mega dan Prabowo. Walikota Solo dan bekas anggota DPR dari Golkar itu hanya dipertemukan selama beberapa menit. Setelah berjabat tangan dan saling menatap mata, mereka kemudian diminta harus mengikuti keinginan orangtua masing-masing.
Keputusan Mega selaku Ketua Umum DPP PDI-P untuk menetapkan Jokowi selaku Cagub DKI, memang memiliki kepastian hukum yang kuat. Tetapi keputusan itu sendiri tak luput dari adanya penolakan yang cukup serius dari kalangan internal. Penolakan ini tercermin dari beberapa hal. Gubernur Jateng, Letjen (Purn) TNI Bibit Waluyo tidak serta merta mengeluarkan izin kepada Jokowi sebagai Walikota Solo untuk meninggalkan pekerjaannya. Padahal Jokowi sudah lebih banyak berada di Jakarta atau luar kota Solo.
Taufiq Kiemas, politisi senior PDI-P - yang banyak kalangan tahu tidak sekadar suami Megawati, sudah memilih Letjen (Purn) TNI Adang Ruchiatna sebagai cagub yang mendampingi Fauzi Bowo. Pada akhirnya Taufiq Kiemas dikalahkan. Tidak jelas apa yang menjadi alasan TK, panggilan akrab suami Megawati itu untuk mempersatukan calon PDIP dengan calon Patai Demokrat. Kendati demikian hal ini semakin memperlihatkan adanya konflik internal yang cukup serius dalam pengambilan keputusan penentuan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jaya.
Sementara sorotan terhadap kandidat Ahok, juga tidak kalah pentingnya. Apapun yang menjadi alasan Ahok, apakah untuk mengabdi ke bangsa atau untuk tujuan lain, keputusannya meninggalkan kursi Golkar di DPR-RI, merupakan sesuatu yang tidak langsung gampang dimengerti. Bahwasanya belakangan Ahok diserang oleh isu SARA, ia seorang keturunan China yang beragama Nasrani, isu sensitif ini sebetulnya baru muncul belakangan sehingga tinggal merupakan persoalan ikutan.
Esensi dari keputusan Ahok meninggalkan Golkar, mengingatkan orang pada situasi politik masa kini. Dimana banyak terjadi politikus yang berpindah partai dengan alasan pribadi. Sedangkan Ahok sendir, sesuai rekam jejaknya bukanlah seorang politisi yang loyal. Ia pernah menjadi anggota Partai Indonesia Baru (PIB)-partai yang didirikan oleh ekonom kenamaan Dr. Sjahrir (amarhum). Dilihat dari sejarah kelahirannya, PIB lahir sebagai wujud ketidakpuasan almarhum Sjahrir terhadap sistem politik dan ekonomi yang diadopsi Indonesia. Dan Indonesia yang dimaksud adalah pemerintahan yang dikuasai oleh orang-orang Golkar.
Sehingga sepatutnya, Ahok tidak akan pernah masuk Golkar! Oleh karenanya wajar kalau perpindahan Ahok dari PIB ke Golkar ketika itu ditengarai sebagai sebuah petualangan politik. Dan sama halnya dengan perpindahannya dari Golkar ke Gerindra. Pendiri Gerindra (Prabowo) juga sengaja keluar dari Golkar karena tidak puas atau tidak setuju dengan ideologi partai berlambang pohon beringin itu.
Jika diulas lebih jauh lagi, sepanjang pimpinan PDI-P masih ada di tangan generasinya Megawati, tetap sulit terjadi partai yang berlambang banteng ini bisa sejalan dengan Gerindra, termasuk Golkar dan PIB. Oleh sebab itu yang paling mudah disimpulkan, pasangan Jokowi dan Ahok sesungguhnya duet yang dipaksakan. Itu sebabnya mereka diprediksi rentan untuk perpecahan. Sebuah kesimpulan yang subyektif, tidak enak didengar, tetapi sulit untuk disembunyikan.
sumber
sumber
No comments:
Post a Comment