Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi. Pertama, pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua, pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Untuk melihat apakah demokrasi yang normatif diterapkan dengan baik dalam kehidupan politik secara empirik, para ahli politik membuat berbagai indikator untuk mengukurnya. Antara lain Huntington yang mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat di dalam sistem politik, para calon secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara, dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk memberikan suaranya. Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu adanya kebebasan untuk berbicara, berpendapat, berkumpul, berorganisasi, yang dibutuhkan untuk perdebatan politik, dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Suatu sistem dikatakan tidak demokratis bila oposisi dikontrol dan dihalangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, seperti koran-koran oposisi dibredel, hasil pemungutan suara dimanipulasi atau perhitungan suara tidak benar.
Sedangkan Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dalam segi politik, secara bersama-sama berdaulat, memiliki kemampuan, sumber daya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan untuk memerintah diri mereka sendiri. Indikator demokrasi yang diajukan Dahl adalah sebagai berikut:
- Adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum yang diadakan secara damai dalam jangka waktu tertentu, terbuka, dan bebas.
- Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
- Hampir semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan umum.
- Setiap warga negara memiliki hak politik, seperti kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, termasuk didalamnya mengkritik pemerintah.
- Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan akses informasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tunggal lain.
- Setiap warga negara berhak untuk membentuk dan bergabung dengan lembaga-lembaga otonom, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang berusaha untuk mempengaruhi pemerintah dengan mengikuti pemilihan umum dan dengan perangkat-perangkat lainnya.
Berdasarkan pada pendapat Huntington dan Dahl di atas jelaslah bahwa kehadiran media massa menempati ruang penting dalam proses demokrasi, bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa pers sesungguhnya merupakan salah satu pilar demokrasi. Keberadaan media massa dilihat sebagai salah satu indikator demokratis tidaknya sebuah sistem politik karena terkait dengan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan mendapatkan akses informasi. Negara yang demokratis akan menjamin kebebasan media massa dan negara yang otoriter akan mengekang kehidupan media massa. Disinilah letak hubungan media massa dan politik.
Gurevitch dan JG Blumler, sebagaimana dikutip dalam buku Cangara, berpendapat bahwa dalam hal penegakkan demokasi media massa memiliki peran:
- Mengawasi lingkungan sosial politik dengan melaporkan perkembangan hal-hal yang menimpa masyarakat.
- Melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah atau masyarakat.
- Menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara politisi dan juru bicara negara dengan kelompok kepentingan dan kasus-kasus lainnya.
- Membangun jembatan dialog antara pemegang kekuasaan atau pemerintah dengan masyarakat luas.
- Membangun mekanisme supaya masyarakat memiliki keterlibatan dalam hal kebijakan publik.
- Merangsang masyarakat untuk belajar memilih dan melibatkan diri dalam proses politik.
- Menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu yang membawa pers keluar dari kemerdekaan, integritas, dan dedikasinya untuk melayani kepentingan masyarakat.
- Mengembangkan potensi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan politiknya.
Pendapat yang melihat hubungan sejajar antara sistem politik dengan media massa dapat ditelusuri dalam teori pers yang dimunculkan oleh Siebert pada tahun 1956 dalam bukunya Four Theories of the Press (dalam Hari Wiryawan) yang dapat dirangkum sebagai berikut:
- Teori Pers Otoriter. Pers berkembang dalam sistem politik yang otoriter dimana kekuasaan negara sangat besar. Pers dikendalikan oleh negara dan mengabdi untuk kepesntingan negara, kerajaan, atau bangsawan. Teori pers ini muncul terutama pada saat negara-negara Eropa menganut syitem monarkhi absolute pada abad ke-17 sebelum meluasnya demokrasi. Teori Pers Otoriter di Eropa berakhir sejalan dengan berkembangnya ide-ide liberalisme dan demokrasi.
- Teori Pers Liberal. Teori ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap Teori Pers Otoriter. Prinsip pers liberal sejalan dengan ide-ide liberalisme yang mengedepankan rasionalisme, kebebasan individu, kebenaran, kemajuan, dan kedaulatan rakyat. Negara memberikan kebebasan kepada mesia, namun media juga tidak lepas dari peraturan perundangan yang mengatur konsekuensi atas pelanggaran hak-hak orang lain dan tuntutan dari masyarakat. Kesulitan yang muncul dalam teori pers liberal ini adalah adanya hak kepemilikan media secara individual (hak privat) yang memunculkan kepentingan pemilik, sehingga pertanyaan yang kemudian timbul adalah: siapakah yang berhak menikmati kebebasan pers? Pemilik media, wartawan, reporter, atau editor?
- Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Teori ini muncul sebagai bentuk respon terhadap permasalahan yang muncul dari Teori Pers Liberal, dengan menggabungkan unsur kemandirian atau kebebasan pers dengan kewajiban pers kepada masyarakat. Kepemilikan media dipandang sebagai tugas pengelolaan, bukan semata-mata sebagai hak privat. Media harus menjalankan fungsi yang lebih esensial terhadap masyarakat dan diperlukan pedoman substansial untuk pengaturan media.
- Teori Media Soviet. Teori ini dibangun berdasarkan faham Marxisme, Neo Marxisme, dan Leninisme. Pers ditempatkan pada posisi di bawah penguasaan kelas pekerja, dalam hal ini Partai Komunis yang berkuasa. Pers tidak boleh memicu konflik dalam masyarakat. Pers memegang peran penting dalam pembentukan masyarakat dan gerakan ke arah komunisme. Pers harus mencerminkan realitas obyektif dan harus menghilangkan penafsiran pribadi dalam pembuatan berita, oleh karena itu pers harus dikendalikan oleh negara dan bukan oleh perusahaan bisnis.
Keempat Teori Pers di atas lahir dari eksistensi pers di negara-negara Eropa dan Amerika. Selanjutnya Denis McQuail menambahkan dua teori pers lain, yaitu Teori Pers Pembangunan dan Teori Pers Demokratis Partisipan yang benyak bermunculan di negara-negara berkembang:
- Teori Pers Pembangunan. Teori pers ini menyatakan bahwa pers harus ikut berperan aktif dalam pembangunan negara, sejalan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Kebebasan pers juga disesuaikan dengan tujuan utama pembangunan bangsa dan memprioritaskan kebudayaan dan bahasa nasional.
- Teori Pers Demokratis Partisipan. Teori ini menggabungkan beberapa unsur dalam pers liberal dan pers pembangunan dimana memberikan penekanan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap akses informasi, hak menjawab kembali, dan hak untuk menggunakan sarana informasi. Teori ini muncul sebagai bentuk reaksi terhadap komersialisasi pers, pemonopolian pers secara pribadi, dan sentralisasi atau birokratisasi lembaga siaran publik.
No comments:
Post a Comment