A.Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber syari’at Islam. Al-Quar’an pada hikmahnya menepati posisi sentral dalam studi-studi ke-Islaman. Disamping berpungsi sebagai petunjuk (hudha), ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW.
Kandungan hukum yang dikandung oleh hukum pidana adalah yang dikandung oleh Al-Qur’an, maka terdalamnya terkandung hukum (syari’at) yang berhubungan dengan hukum Ibadat, hukum keluarga, warisan, hukum tentang harta benda (kekayaan) dan tukar-menukar, hukum pidana (‘aqubat atau jinayat) yang berkaitan dengan problema perdata dan perdana.
Sejauh mana Al-Qur’an mengungkapkan tasyi’nya yang berhubungan dengan masalah pidana pada umumnya. Tulisan ini mencoba menjawab siapakah yang dianggap perbuat tindakan pidana..? tindakan dalam bentuk apakah yang digolongkan tindakan pidana..? bentuk sangsi (‘uqubat) apa sajakah yang dijatuhkan sebagai sangsi hukum bagi si pelaku keriminal itu..? siapakah orang yang berkompeten melaksanakan sangsi pidana itu..? apakah yang dimaksud dengan pidana Qishas itu..?? bagai mana kedudukan Qishos itu. Dan bagai mana pula pelaksanaan pidana Qishas itu, siapa yang berkonpeten melakukan pidana Qishas itu ? apakah bedanya pidana dalam islam dan pidana dalam hukum nasional ?.
B.Pengertian
Pidana adalah segala betuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang Mukhallaf, yang melanggar, perintah atau larangan Allah yang di Khitbahkan kepada orang-orang Mukhallaf, yang dikarnakan ancaman hukuman, baik sangsi (hukuman) itu yang harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa, maupun Allah, baik tempat pelaksanaan hukuman itu didunia maupun diakhirat.
Setiap tindakan pidana (delik, jarimah) itu harus ada sangsi hukum (‘ukubat) yang dikenakan kepada sipelakunya (al-jany), baik berupa azab neraka, qishas, giat, had, kaparat maupun fidiah, dimana pelaksanaan sangsi itu Allah sendiri, penguasa atau peribadi itu sendiri, baik tempat pelaksanaannya itu didunia maupun diakhirat.
Menurut hukum pidana umum , yang dimaksud dengan “tindakan pidana” adalah suatu tindakan (berbuat atau tidak berbuat) yang bertentanngan dengan hukum nasional. Jadi yang bersifat tanpa Hak yang menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Jadi unsure yang penting sekali untuk peristiwa pidana (ditilik dari sudut objektif) adalah sifat tanpa hak (oncecht matgheid), yakni sifat melanggar hukum. Di tempat mana tak terdapat hukum tanpa hak, maka tidak ada peristiwa pidana.
Bertitik tolak pada prinsip bahwa hak menetapkan legislasi adalah hak Tuhan. Maka fungsi manusia sesungguhnya adalah pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia tidaklah berhak merekayasa sendiri hukum untuk diterapkan dalam kehidupan mereka, kecuali dalam batas-batas yang diperbolehkan, sebab hl ini merupakan pelanggran besar terhadap otoritas Tuhan Yang Maha Mengetahui sebagai legislator.
C.Kegunaan Pidana dalam al-Qur’an
Jika dilihat dari keberadaan hukum pidana dalam al-Qur’an, maka secara universal dapat dinyatakan kegunaanya untuk:
1.Memelihara agama;
2.Memelihara kehormatn manusia;
3.Melindungi akal;
4.Memelihara harta manusia;
5.Memelihara jiwa manusia dan
6.Memelihara ketentraman umum.
D.Bentuk-bentuk Tindakan pidana
Yang dianggap sebagai tindakan pidana dilukiskan al-Qur’an terdapat dalam bentuk-bentuk:
1.Pembunuhan: menghilangkaan jiwa, menghilangakn anggota badan, melukai, pengguguran janin (abortus) dll (al-baqarah: 178);
2.Pencurian (sirqah): termasuk kedalamnya mengambil milik umum (korupsi) makan harta orang lain tampa hak, makan harta anak yatim, makan riba dan lain-lain (an-Maidah:3-4);
3. Perzinahan: termasuk kedalamnya homoseksual (liwath), lebian (sihaq), mendatangi binatang dan lain-lain (an-nur:3-4);
4.Tuduhan perzinahan: tuduhan perzinahan bagi muslimah yang baik-baik dan tuduhan berzina terhadap istri (Ii’an) (an-Nur:4-5);
5.Perusuhan dan pengacawan keamanan: merampok menodong, menggarong dan lain-lain;
6.Pemberontakan: permusuhan sesame muslim dan memusuhi pemerintah;
7.Kemurtadan: meninggalkan Islam sebagai agama yang telah perluknya;
8.Minum Khamar: minum zat cair yang memabukkan, menggunakan zat lainnya yang dapat merusak akal dan kesehatan (al-Maidah:90-91);
9.Keengganan melaksanakan hukum Allah (al-Maidah:44-45);
10.Pelanggaran terhadap aturan Allah: yang menyebabkan seseorang harus membayar kafarah ataupun fidyah, termasuk kedalamnya melanggar sumpah, pelanggaran dalam ihram haji atau ‘umroh, terkepung pada musim haji, menzhihar istri dan lain-lain (al-Maidah:89. 95-96);
Dalam kajian ini diarahkan pada upaya pemahaman pada bentuk-bentuk teradisional mengenai pidana Islam sebagai mana ditentukan dalam Al-Qur’an dan al-sunnah serta dinamika penafsiran inopatif yang dilakukan oleh para ahli hukum, gagasan dasar yang dikandung oleh konsep pidana Islam, serta berbagai kemungkinan inovasi atau pengembangan bentuk-bentuk pidana Islam itu. Dari segi ini, studi yang dilakukan dalam tulisan ini, dapat disimpulkan ada beberapa bentuk antara lain:
Secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu adalah:
a.Pidana qishash atas jiwa;
b.Pidana qishash atas badan;
c.Pidana Diyat (denda ganti rugi);
d.Pidana mati;
e.Pidana penyaliban (salib);
f.Pidana pelemparan batu sampai mati (rajam);
g.Pidana potong tangan atau kaki;
h.Pidana potong tangan dan kaki;
i.Pidana pengusiran atau pembuangan;
j.Pidana penjara seumur hidup;
k.Pidana cambuk atau dera;
l.Pidana denda pengganti diyat (hukuman);
m.Pidana teguran atau peringatan;
n.Pidana penamparan atau pumukulan;
o.Pidana kewajiban religious yang disebut kaffarah;
p.Pidana tambahan lainnya (ta’zier)
q.Bentuk-bentuk pidana lainnya yang dapat dikembangkan sebagai konsekuensi dari pidana ta’zier.
Ketujuh belas betuk pidana itu, dapat dikelompokkan (diklasifikasikan)sebagai berikut:
a.Dari Segi objek ancamannya
1)Pidana atas jiwa, yang terdiri dari:
a.Pidana mati dengan pedang;
b.Pidana mati dengan digantung ditiang salib (disalib);
c.Pidana mati dengan dilempar batu (dirajam).
2)Pidana atas harta kekayaan, yang meliputi;
a.Pidana diyat ganti rugi:
b.Pidana ta’zier sebagai tambahan;
3)Pidana atas anggota badan, berupa:
a.Pidana potong tangan dan kaki;
b.Pidana potong tangan atau kaki;
c.Pidana penamparan atau pemukulan merupakan variasi bentuk pidana sebagai peringatan dan pengajaran.
4)Pidana atas kemerdekaan, berupa:
a.Pidana pengungsiran atau pembuangan;
b.Pidana penjara seumur hidup;
c.Pejara penahanan yang bersifat sementara;
5)Pidana atas rasa kehormatan dan keimanan,berupa;
a.Pidana teguran atau peringatan;
b.Kaffarah sebagai hukuman yang barsifat religious;
Di kalangan fukaha ada yang berpendapat bahwa dikenal tiga macam tindak pidana, bila ditinjau dari segi hukumnya, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash atau diyat dan jarimah ta’zir. Namun ada juga yang menggolongkan empat macam yaitu ‘uqabat itu dalam bentuk:
1.Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun.
2.Al-Qishash dan al-Diyat. Al-Qishash adalah sangsi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi. Sangsi hukum al-qishash dan al-Diyat adalah merupakan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
3.Al-Ta’zir, adalah sanksi hukum yang diserah kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan , mengasingkan dan lain-lain.
4.Kaffarat dan fidyah, adalah sanksi hukum dalam bentuk membayar denda , yang diserahkan pelaksanaannya kepada sipelanggar .
E.Tujuan dan Hikmah Pemidanaan
Pemidanaan atau hukuman merupakan salah satu perangkat dalam hukum pidana sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu ketika kita sepakati bahwa para kriminil dan tindak kejahatan yang dilakukannya merupakan objek dari pertanggung jawaban pidana (al-masuliyah al-jina’iyah) maka ketika seseorang terbukti melakukan tindakan pidana, ini mengharuskan dijatuhkannya hukuman bagi pelaku ini. Itu karena tindakan pidana yang berupa pelanggaran terhadap kaidah-kaidah dan norma-norma di masyarakat dan yang telah mengakibatkan adanya keresahan di masyarakat, mengharuskan tunduknya pelaku kejahatan terhadap hukuman. Karena merupakan sesuatu yang tidak dapat kita terima apabila pelaku kejahatan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat sembari menebar kerusakan tanpa adanya halangan. Ini di satu sisi, sedangkan disisi lain agar kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hidup masyarakat dapat ditegakkan dan dihormati masyarakat maka harus ada hukuman bagi yang melanggar kaidah-kaidah hukum ini.
Pemidanaan atau hukuman, dalam bahasa Arab disebut ‘uqubat. Lafaz ini diambil dari lafaz (عاقب) yang sinonimnya (جزاه سواء بما فعل), artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya. Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum ‘uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari ‘azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qisas bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Keberadaan ‘uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah diterangkan dalam al-Qur’an yang mengatur tentang hukuman qisas:
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah (2) : 179)
Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa dengan pelaksanaan hukuman yang dalam hal ini hukuman qisas, ada jaminan kelangsungan hidup bagi orang-orang yang berakal. Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qisas adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut (bagi orang-orang yang berakal) tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.
Sedangkan sebagai “penebus”, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Ubadah bin Shamit RA menyebutkan: “Dalam peristiwa Bai‘at ‘Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya.” Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu.
Tujuan pemidanaan sebagai “perbaikan dan pendidikan”, adalah untuk mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Setelah mendapatkan hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran, sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT untuk kembali lagi kepada masyarakat dengan akhlak yang lebih baik. Tentu saja tujuan ini hanya dapat berlaku pada hukuman selain hukuman mati, sebab pada hukuman mati tidak ada kesempatan lagi untuk kembali kepada masyarakat.
Selain itu, pemidanaan juga bertujuan untuk “mewujudkan keadilan”.
Tidak diragukan lagi bahwa para kriminal ketika melakukan tindak kejahatan berarti telah melakukan sebuah tindakan yang dianggap tidak mengindahkan kaidah hukum, dan juga dengan melakukan tindakan itu ia telah mengebiri rasa keadilan atau membuat resah masyarakat. Hal inilah yang akan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan ini, begitu juga hal ini akan menumbuhkan rasa dendam dari korban terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu rasa marah dan dendam yang ada pada korban terhadap pelaku kejahatan tidak akan terobati kecuali setelah melihat pelaku kejahatan itu dijatuhi hukuman sebagai balasan atas apa yang telah dilakukanya. Maka hukuman ini telah mengembalikan rasa keadilan yang sempat hilang karena akibat tindak kejahatan yang dilakukan kriminil, dan hukuman ini juga dapat mengembalikan rasa tentram di masyarakat terlebih pada korban dan keluarganya.
Pada prinsipnya hukum Islam dalam menetapkan hukuman yaitu menekankan pada aspek pendidikan dan pencegahan. Pendidikan dimaksudkan agar seseorang yang akan melakukan kejahatan membatalkan niatnya, sedangkan yang sudah terlanjur melakukannya tidak mengulangi lagi perbuatannya walaupun dalam bentuk yang berbeda. Selain mencegah, syari‘ah tidak lalai dalam memberikan pelajaran demi perbaikan pribadi pelakunya, sehingga apabila pelakunya tidak mengulangi lagi bukan karena takut hukuman, tetapi karena memang kesadaran diri.*
*Ket : Tugas makalah Agama Islam 3, Syakir Jamaluddin, M. Ag
No comments:
Post a Comment