Komposisi pegawai negeri sipil di Indonesia sangatlah paradoks. PNS dengan keahlian tertentu atau tenaga fungsional sangat sedikit. Di pelosok Nusantara, kekurangan tenaga medis dan guru, misalnya, sangat mencolok sehingga menjadi problem yang kerap kali mengganggu aktivitas kehidupan. Sebaliknya, tenaga administrasi umum bercokol di mana-mana.
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional dan administrasi umum ibarat bumi dan langit. Jumlah tenaga fungsional, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, hanya 20 persen dari keseluruhan PNS yang jumlahnya sekitar 4,7 juta orang. Sebagian besar atau 80 persen PNS adalah tenaga administrasi umum.
Ini baru sekadar jumlah. Belum lagi masalah mentalitas bekerja PNS kita yang seadanya, lamban, dan selalu mengharapkan ”uang lelah”. Moto ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat” seakan-akan tak lepas dari komunitas pegawai kita walaupun pada era reformasi birokrasi. Memang, kultur itu tak bisa dipukul rata. Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun, jumlah mereka minoritas.
Kronis
Sesungguhnya, kompleksitas masalah birokrasi di Indonesia kian rumit membelit ketika ditambah kooptasi politik. Tarikan kepentingan politik ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua.
Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.
Penyakit Kronis
Bertahun-tahun birokrasi seperti terjangkiti penyakit kronis dan akut. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Akan tetapi, sejak era reformasi birokrasi, pembenahan dilakukan secara intensif. Paling pokok adalah deteksi postur birokrasi. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Satu-satunya jalan harus melalui pemangkasan. Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya dirampingkan. Di tingkat pusat saja saat ini terdapat 34 kementerian, 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan 88 lembaga nonstruktural (LNS). Padahal, setelah desentralisasi, semestinya organisasi di tingkat pusat semakin ramping karena sudah banyak kewenangan diserahkan kepada birokrasi di daerah.
Namun, runyamnya, struktur di daerah pun setali tiga uang. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Apalagi sejak era otonomi daerah yang telah berjalan lebih satu dasawarsa ini, pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) bisa melakukan apa saja karena kewenangan ada di tangan mereka.
PNS Tambah Terus
Walaupun birokrasi sudah tambun, penerimaan PNS berlangsung terus. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Bayangkan saja, hal yang sangat tidak logis, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) di sejumlah kabupaten justru lebih banyak untuk belanja pegawai, bahkan bisa di atas 50 persen hingga 70 persen. Artinya, anggaran untuk pembangunan, proyek infrastruktur, sarana dan prasarana, pemberdayaan ekonomi masyarakat sangatlah kecil. Anggaran pembangunan justru hanya untuk memberikan makan birokrasi saja.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Ketika terjadi kekacauan, hal itu justru membuka peluang untuk saling lempar tanggung jawab. Indeks efektivitas pemerintah pada 2009, minus 0,29. Dengan kinerja yang terjadi sekarang ini, bisakah dicapai target 0,5 persen pada tahun 2014? Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Adapun jumlah lembaga yang menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) juga pada 2009, hanya 24 persen!
Pembenahan Internal
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Pembenahan akan dilakukan dalam jangka panjang sebab memerlukan komitmen politik luar biasa. Sebaliknya, pembenahan internal birokrasi dirasakan lebih mungkin dilakukan bertahap mulai saat ini. Setidaknya, proses perekrutan dan promosi pegawai ditata. Promosi eselon 1 dan eselon 2 dilakukan terbuka untuk semua PNS yang memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian, yang penilaiannya dilakukan tim independen.
Agar tidak lagi mendapatkan tenaga yang sia-sia, proses perekrutan PNS berbagai instansi harus berbasis kebutuhan. Tes berbasis komputer serta penilaian kompetensi diharapkan mampu menyaring PNS dengan keahlian dan integritas. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Namun, semua itu masih harus menunggu karena masih dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang masih dibahas di DPR. Dalam masa peralihan ini, setiap daerah hanya diharuskan membuat analisis beban kerja dan analisis jabatan sebagai syarat merekrut PNS baru. Selain itu, seleksi ditangani konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri.
Secara umum, pembenahan birokrasi akan diterapkan pada organisasi, proses kerja, sumber daya manusia, perekrutan, akuntabilitas kerja, pengawasan, pelayanan publik, serta perbaikan pola pikir dan budaya birokrasi. Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Bangsa Indonesia terjerat mentalitas jalan pintas dan berorientasi hasil (result oriented).
Kalau diumpamakan, mestinya berproses menjadi batik tulis, bukan batik cap. Proses menenun dan membatik dengan keringat, ketekunan, kerja keras, sampai menghasilkan selembar kain cantik nan bermutu seharusnya melandasi mental birokrat kita.