Tak dapat dipungkiri, salah satu kekuatan besar suatu Negara terletak pada kaum perempuannya. Kaum perempuan di seluruh dunia merupakan representasi kelahiran generasi-generasi yang menjadi ekspektasi yang luar biasa bagi suatu bangsa, kiprah politiknya telah memberikan andil bagi kemajuan dan kecemerlangan berpikir wanita-wanita lainnya di seluruh dunia.
Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan-akan politik bukan milik dan bagian perempuan. Pasalnya, dalam kacamata mereka politik identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipudaya yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkan pun mereka tidak mau. Akhirnya, kaum perempuan hanya mencukupkan diri untuk memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. Pada saat yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan. Akibatnya, menurut mereka persoalan perempuan tidak pernah terselesaikan. Asumsi ini seakan-akan menjadi keyakinan bagi mereka. Seolah-olah persoalan perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan. Wajar jika akhirnya kelompok ini berjuang mati-matian agar perempuan menguasai suara di legisatif ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.
Koalisi Kesetaraan Gender Menggerus Arah Politik Perempuan
Kapitalisme telah membawa keterpurukan di segala bidang. Perempuan telah menjadi korban eksploitasi kebengisan dan kerakusan Demokrasi-kapitalis, para TKW yang di kirim ke luar negeri tak kunjung kembali ke tanah air karena mengalami penyiksaan yang bertubi-tubi dan berujung pada kematian. Wanita yang identik dengan kecantikan dan kelembutannya telah menjadi komoditas seksual bagi iklan-iklan produk dalam maupun luar negeri. Tak sedikit komersialitas yang tak berhubungan dengan dunia wanita pun menggunakan sisi sensualitas wanita sebagai daya tarik produk mereka, seperti sepeda motor, parfum pria, hingga oli kendaraan. Belum lagi eksploitasi komoditas seksual yang dilegalkan dalam bentuk prostitusi yang menjadikan kaum wanita tak ada harganya di mata publik dan tidak berbeda dengan barang dagangan yang dijajakan di ruang publik.
Ini semua tak lain karena Negara tak mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat dengan menyediakan lapangan kerja dan penghasilan untuk membiayai penghidupan secara layak dan halal. Dalam situasi yang sedemikian carut marutnya, didukung dengan pemahaman yang minim akan penting dan urgennya aturan-aturan Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk pengaturan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, pemerintah dengan ringannya merancang RUU KKG yang sarat bertentangan dengan aqidah Islam.
Tengok saja Pasal 1 ayat 1 dalam RUU tersebut yang berbunyi, “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” Ditinjau dari kacamata Islam, hal ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islam. Islam memandang bahwa kedudukan dan posisi laki-laki dan perempuan disandarkan kepada wahyu Allah, bukan kepada sosial budaya yang mengacu kepada hukum kufur kapitalisme yang dapat di otak-atik sesuai keinginan pembuatnya. RUU ini pun secara implisit mendiskreditkan Islam yang berlaku diskriminatif terhadap perempuan.
Kondisi tersebut diperparah oleh ide-ide Feminisme yang disuntikkan secara paksa oleh kaum Feminis ke seluruh negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Awal kemunculan kaum feminis ini pun berwal dari ketertindasan kaum perempuan di Eropa pada masa kegelapannya atas kekecewaan mereka terhadap nasib perempuan. Dalam mindset mereka telah terhujam secara kuat bahwa setiap ide-ide Barat, termasuk RUU KKG yang merujuk kepada CEDAW (Convention on the Eliminaton of All Forms of Discrimination Against Woman) ini sebagai sesuatu yang mutlak harus diikuti. Mereka cenderung kurang kritis dan terjebak fakta sejarah, semangat mereka yang membara dimanfaatkan untuk menggugat fitrah, posisi, kedudukan serta kemuliaan yang Allah berikan. Akibatnya, feminisme telah mampu membentuk mindset masyarakat bahwa kiprah kaum wanita yang sesungguhnya ialah di sektor publik, dan mengesampingkan peran yang sesungguhnya di sector domestic.
Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki dan perempuan, terutama di ruang publik, maka pada pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen: “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).
Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga – dimana laki-laki sebagai pemimpinnya -- sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tidak terlintas di benak mereka, betapa bahagianya seorang Muslimah saat mentaati suami, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Khilafah Menjamin Hak-hak Perempuan
Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki bila tidak ada suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, serta jaminan Negara secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin. Dalam Khilafah Islam tidak akan ada perempuan yang terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai isteri dan ibu. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja, tapi mereka bekerja semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai isteri dan ibu juga tetap terlaksana.
Khilafah Islam akan menjamin hak perempuan mendapatkan Ilmu, karena menuntut ilmu adalah kewajiban semua: “Thalabul ‘ilmi faridhatin ‘ala kulli muslimin walmuslimatin”. Khilafah tidak akan membedakan kesempatan untuk menuntut ilmu antara laki-laki dan perempuan. Baginda Rasul bahkan menyediakan waktu khusus untuk perempuan Anshar berlajar. Khilafah memberikan hak politik kepada perempuan. Islam memberikan hak menyampaikan pendapat dan hak menjadi wakil untuk memberikan pendapat. Islam membolehkan perempuan mememilih dan dipilih menjadi anggota Majelis umat. Kehadiran Ummu’Ammarah binti Kalb dan Asma’ binti ‘Amr ibn ‘Adi dalam Baiat Aqabah merupakan bukti bahwa Rasulullah SAW mengakui hak politik perempuan dalam menyampaikan aspirasi.
Bagaimana dengan kehormatan dan keselamatan perempuan? Jelas, Islam akan menjaganya. Berbeda dengan sistem sekarang dimana kehormatan perempuan seolah tiada arti. Perempuan dalam sistem kapitalis harganya sama dengan barang, akan dianggap berarti jika mendatangkan keuntungan materi. Faktanya bisa kita lihat dam eksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan dalam sejumlah iklan atau tayangan film dan sinetron demi mendongkrak jumlah penjualan dan meningkatkan ratting tontonan. Di sisi lain, perempuan juga jadi korban pelecehan dan pemerkosaan yang terjadi di ranah publik, baik di jalan, angkot, kantor, bahkan di sekolah. Begitu mahalkah harga kenyamanan, kehormatan, dan keselamatan bagi perempuan di zaman sekarang? Ya, hanya Islam yang akan menyelamatkan perempuan. Dalam Islam perempuan dijaga kehormatannya dengan penerapan aturan pakaian yang menutup aurat dan larangan tabarruj; aturan pergaulan yang jauh dari khalwat; kewajiban disertai mahram bagi perempuan yang bepergian menempuh jarak safar termasuk ketika menunaikan ibadah haji. Catatan sejarah menunjukkan bukti bahwa Islam sangat melindungi perempuan, salah satu contohnya adalah Rasulullah SAW pernah melarang seorang laki-laki pergi berjihad dan menyuruh dia menemani isterinya pergi haji; atau bagaimana perhatian penuh yang diberikan seorang Khalifah ketika mendengar kabar bahwa ada seorang muslimah dilecehkan oleh seorang yahudi, beliau segera mengerahkan sejumlah pasukan untuk menyelesaikannya.
No comments:
Post a Comment