Wednesday, June 29, 2011

SNMPTN : Antara Untung dengan Buntung

Deg-degan, itulah suasana hati yang dirasakan oleh para peserta SNMPTN 2011 di seluruh penjuru tanah air dalam menunggu hasil pengumuman SNMPTN 2011, sebelumnya mereka telah berjuang habis-habisan untuk mengalahkan soal-soal SNMPTN yang terkenal mematikan, ujian tersebut telah selesai diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 31 Mei dan 1 Juni 2011 yang lalu. Kemari sore pada tanggal 29 Juni 2011 mereka telah mengetahui hasil perjuangan keras mereka, namun tidak semua dari mereka akan merasakan hal yang sama, karena pastinya nanti akan ada yang untung dan juga buntung.
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau yang dikenal SNMPTN merupakan salah satu hajat besar dunia pendidikan Indonesia dalam rangka menjaring anak bangsa yang berkualitas untuk mengenyam pendidikan di Perguruan tinggi Negeri (PTN) dengan cara menyeleksi para calon mahasiswa yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tersebut. Ujian ini pada awalnya disebut SKALU (Sekretariat Kerja sama antar Lima Universitas) yang pertama kali diadakan secara serentak oleh lima perguruan tinggi negeri pada tahun 1976. Ke lima PTN ini merupakan lima PTN paling diminati (favorit) oleh para calon mahasiswa. Perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlibat dalam program rintisan itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. Beranjak pada tahun 1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memperbarui kondisi ini, dengan melibatkan semua PTN bergabung pada sebuah sistem penerimaan mahasiswa baru yang dikenal dengan SIPENMARU.  Kemudian pada tahun 1989, SIPENMARU pun ikut berubah nama menjadi UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri). Hingga tahun 2001, UMPTN pun kembali bermetamorfosis menyusul dikeluarkannya SK Mendiknas No 173/U/2001 yang mengubah namanya menjadi SPMB. Dan akhirnya ujian saringan masuk perguruan tinggi tersebut bertransformasi menjadi SNMPTN dari tahun 2008 hingga sekarang.
Dan pada tahun 2011 ini sebanyak 540.928 peserta mengikuti ujian tertulis (utul) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang telah berlangsung selama dua hari, yaitu Selasa 31 Mei hingga Rabu 1 Juni 2011 yang lalu dan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Mereka akan memperebutkan 110.149 kursi di 60 PTN di seluruh Indonesia.
Di Aceh sendiri Sebanyak 15.744 calon mahasiswa baru mengikuti ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Unsyiah dan Unimal. Dengan rincian jumlah pelamar di Unsyiah mencapai 13.077 orang peserta dan Unimal 2.667 orang peserta.
Dan khususnya peserta SNMPTN yang bertarung memperebutkan kursi di Unsyiah, mengalami peningkatan jumlah peminat setiap tahunnya, peminat Unsyiah pada tahun ini meningkat sebanyak 1.695 orang atau 15 persen dari 11.382 orang pada tahun 2010 yang lalu menjadi 13.077 orang peserta pada tahun ini. Dan sebanyak 13.077 peserta tersebut akan memperebutkan 2.500 kursi yang disediakan oleh pihak Universitas untuk jalur yang satu ini.
Sejak digulirkannya pada tahun 2008, SNMPTN telah banyak memakan korban, korban yang dimaksudkan disini adalah mereka para peserta yang tidak lulus dalam SNMPTN, bahkan sang juara olimpiade pun tidak luput ikut menjadi korban SNMPTN, sementara itu orang-orang yang berkemampuan biasa-biasa saja mampu menembus tembok kokoh yang bernama SNMPTN. Jadi tidak salah jika ada argumen yang menyatakan bahwa lulus SNMPTN tidak lepas dari faktor keberuntungan, namun dengan modal “lucky” saja tidak cukup untuk bisa lulus SNMPTN, karena walaupun begitu kita juga tidak boleh menafikan bahwa pintar merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan seseorang dalam menaklukan SNMPTN.
Ketidak beruntungan seseorang dalam SNMPTN bisa diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, kesalahan dalam mengisi LJK, tidak sedikit dari para calon mahasiswa yang gagal pada fase pengisian identitas nomor peserta atau kode-kode tertentu di LJK, kelihatannya sepele, tapi jika antara identitas verifikasi data pendaftaran berbeda dengan identitas LJK apa mungkin opscan akan menerima? Tentu saja tidak. Pengoreksian secara komputer berbeda dengan pengoreksian secara manual sehingga kesalahan sedikit pun akan berakibat fatal. Kemudian lebih fatal lagi apabila LJK nya rusak karena sobek atau kotor, sangat mungkin opscan tidak bisa membacanya.
Sistem penilaian SNMPTN yang berbeda mungkin menjadi salah satu faktor juga, karena kita mengetahui sistem penilaian dalam SNMPTN berbeda dengan sistem nilai pada ujian-ujian lainnya termasuk UAN. Sistem penilaian pada SNMPTN memiliki nilai MINUS SATU (-1) pada soal yang dijawab salah, PLUS EMPAT (+4) pada soal yang dijawab benar, dan NOL (0) untuk soal yang tidak di jawab. Jadi ketidak hati-hatian dalam menjawab mensoal bisa menyebabkan kebuntungan.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah dalam hal pemilihan jurusan juga sangat berpengaruh dalam menentukan kelulusan, seringkali para peserta memilih jurusan tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, contohnya : seseorang yang memaksakan minatnya untuk masuk ke jurusan pilihan sejuta ummat yaitu kedokteran misalnya, namun jurusan tersebut berbanding terbalik dengan kemampuannya atau bakatnya katakanlah biasa saja, nah dalam hal ini besar kemungkinan bahwa peserta tersebut akan gagal dalam SNMPTN. Jadi peserta terlebih dulu menginstropeksikan diri sejauh manakah kemampuaanya itu.
Jadi, semboyan keberuntungan dalam SNMPTN sedikit menyakitkan bagi para peserta SNMPTN yang tidak lulus, karena kemungkinan besar mereka telah banyak mengabiskan waktu dan uang hanya untuk mendapatkan satu kursi di PTN, mulai dari mengeluarkan kocek untuk ikut bimbel dan juga ikut “try out” SNMPTN. Dan tidak salah jika muncul pernyataan seperti ini :”orang pintar kalah sama orang rajin, dan orang rajin kalah sama orang yang beruntung”.
Namun, bagi calon mahasiswa yang tidak lulus masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lewat jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) tidak perlu khawatir, pasalnya panitia lokal bersama perguruan tinggi wilayah barat membentuk seleksi Ujian Masuk Bersama (UMB). Paling tidak ada 12 (dua belas) Perguruan Tinggi Negeri dan 8 (Delapan) Perguruan Tinggi Swasta dan 1 International Development Program (IDP), dan termasuk dua PTN yang menjadi “jantong hate” masyarakat Aceh yaitu Unsyiah dan Unimal didalamnya. UMB sendiri akan serentak dilaksanakan di 21 kota pada tanggal 9 Juli 2011.
UMB bisa menjadi kesempatan kedua, sekaligus ajang penembusan dosa bagi para calon mahasiswa yang sangat berhasrat untuk menduduki kursi panas PTN. Akhirnya saya mengucapkan selamat bagi peserta yang lulus SNMPTN, dan untuk peserta yang belum beruntung, semoga bisa lulus di UMB.

Wednesday, June 15, 2011

Penambangan Pesir Kulon Progo : Merupakan Konflik Vertikal Antara Pemerintah Pusat dengan Masyarakat

Sejak 2006, masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Yogyakarta, Indonesia berjuang mempertahankan Hak Asazi Manusia dan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mereka. Keberadaan dan keberlanjutan hak-hak tersebut menjadi terancam karena Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja di kawasan pemukiman penduduk. Kebijakan itu muncul dari desakan korporasi kepada pemerintah. Korporasi tersebut, PT Jogja Magasa Iron yang merupakan anak perusahaan dari PT. Jogja Magasa Mining, adalah perusahaan keluarga penguasa politik di Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman. Kawasan yang terletak di pesisir Pulau Jawa (Indonesia) dan berbatasan langsung dengan samudera Hindia itu telah diubah oleh masyarakat setempat menjadi kawasan pertanian lahan pasir yang produktif semenjak 1980an.
Perubahan ekosistem dari gurun menjadi ladang ini bermula dari kemunculan pengetahuan setempat, dan telah berperan bagi pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang cukup penting. Konflik antara masyarakat dan pemerintah yang berkolaborasi dengan korporasi telah berlangsung selama 4 tahun dan berpotensi menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat sipil.
Terkait dengan ditandatanganinya Kontrak Karya Proyek Tambang Pasir Besi Disepanjang Pesisir Pantai Selatan Kulonprogo seluas 2.987 Hektar selama 30 tahun, seharusnya Pemerintah mempertimbangkan banyak faktor. Alasan untuk pendapatan negara tidaklah menjadi dasar utama. Seharusnya faktor kesejahteraan sosial, kerusakan lingkungan dan alasan kemanusiaan lainnya juga menjadi dasar pertimbangan Pemerintah.
Banyak alasan dan faktor sosial mengapa warga petani pesisir menolak atas rencana penambangan tersebut. Komnas HAM juga pernah melakukan investigasi dan melakukan monitoring terkait rencana eksploitasi tersebut. Sebagaimana surat Komnas HAM tertanggal 2 Juli 2008 menyatakan bahwa proyek tambang biji besi berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, dan hak-hak dasar petani pada khususnya. Komnas HAM dalam rekomendasinya juga menyatakan bahwa rencana penambangan pasir besi berpotensi menimbulkan konflik horisontal (antar masyarakat).

APA makna pertambangan tersebut bagi masing-masing pihak?
  • Pemerintah memaknai pertambangan itu sebagai kesempatan untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah dalam jumlah besar secara cepat. Sistem politik desentralisasi memberi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom.
  • Korporasi memaknai pertambangan itu sebagai bagian dari akumulasi modal dengan memanfaatkan ketidakpastian hukum agraria. Kedudukan Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemimpin politik, raja, dan pengusaha membuat tekanan-tekanan kepentingan swasta ini semakin memperoleh legitimasi politik.
  • Masyarakat sipil memaknai pertambangan itu sebagai ancaman bagi keberlanjutan fungsi ekosistem; evolusi pengetahuan; dan eksistensi komunitas lokal.


Apa isu-isu yang menjadi materi konflik?
  • Kerusakan ekosistem gumuk pasir. Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, yang merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami . Rencana pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, April 2008).
  • Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman. Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan, dan jaringan). Menurut Mulyono, Wakil Bupati Kulon Progo periode 2009-2014, rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan pemukiman yang dihuni lebih dari 30.000 jiwa.
  • Penghapusan lapangan kerja. Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana pertambangan pasir besi yang akan menggusur lahan akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008).
  • Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok. Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu sayuran. 
  • Pemiskinan Struktural secara sistematis. Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa remarginalisasi kawasan yang mana komunitasnya telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA. Kebijakan Pemkab tersebut tak hanya menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dan SDA antara komunitas lokal; pemerintah daerah; dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi komunitas lokal (Kompas, April 2008).


Apa akar konflik sebenarnya?
  • Manifest

Agraria
Tanah adalah basis material yang mendasari konflik di pesisir Kulon Progo. Menurut UU No 5 tahun 1960, masyarakat adalah pihak yang berhak mengelola lahan pesisir karena mereka memiliki sertifikat yang sah. Akan tetapi, pemerintah masih memberi celah bagi pelanggaran kosntitusi dengan pengakuan klaim Sultan Ground dan Paku Alaman Ground di seluruh wilayah propinsi DIY yang didasarkan pada hukum kolonial. Perebutan kepentingan keberlanjutan matapencaharian dan ekosistem (yang diwakili masyarakat) berlawanan dengan kepentingan penetrasi modal (yang diwakili oleh pemerintah dan swasta).
Ketimpangan kekuasaan dalam desentralisasi
Otonomi daerah adalah sistem politik pasca Soeharto yang mendekatkan akses aktor ekonomi global kepada sumberdaya di tingkat lokal. Di dalam sistem desentralistik, daerah dikondisikan untuk dapat menggali potensi lokalnya agar tercipta pertumbuhan. SDA menjadi komoditas yang diperebutkan antaragen pembangunan. Ekosistem adalah ruang di mana berbagai kepentingan bertemu, wajah ekosistem tergantung dari keputusan-keputusan politik.
  • Laten

Kepentingan kapitalisme global
Kepentingan kapitalisme global justru semakin terfasilitasi dengan adanya desentralisasi kekuasaan. Desentralisasi justru menjadi kesempatan elit baru untuk mengeksploitasi sumberdaya alam ketimbang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam keputusan politik. Dalam konteks pesisir Kulon Progo, penetrasi modal dari kapitalisme global terjadi dalam dua bentuk, yaitu 1) pertambangan pasir besi, dan 2) proyek Jalan Lintas Selatan Jawa.
Ketidakadilan
Di dalam ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria dan kekuasaan, rakyat adalah korban ketidakadilan yang utama. Ketidakadilan itu tampak pada substansi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan proses-proses politik atas kebijakan yang mengabaikan eksistensi rakyat. Dalam konteks pesisir Kulon Progo, ketidakadilan itu ditanggapi oleh rakyat dengan perlawanan terhadap negara sebagai alat kapitalisme.

SIAPA jaringan masing-masing pihak dan bagaimana perannya?
  • Pemerintah. Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo didukung oleh struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Peran pemerintah adalah sebagai legislator proyek melalui seperangkat prosedur yang diatur dalam perundang-undangan, terutama yang perundang-undangan tentang otonomi daerah dan pertambangan.
  • Korporasi. Korporasi didukung oleh sistem pemerintahan dan kultur politik setempat. PT JMI beraliansi dengan Indo Mines Ltd (Australia) dengan pembagian keuntungan.
  • Masyarakat Sipil. Dukungan kepada masyarakat datang dari berbagai pihak, namun yang mendukung secara kelembagaan hanyalah LBH sebagai pengawal proses hukum. Resistensi masyarakat terhadap NGO disebabkan oleh 2 hal: Kecenderungan NGO untuk turut mengambil keputusan internal lembaga masyarakat yang independen, Kecenderungan NGO untuk bersikap mengambil keuntungan dari situasi yang ada.

Penambangan pasir besi di pesisir pantai selatan Kulonprogo ini akan berimplikasi terhadap 123.601 jiwa yang menaruhkan harapan pada 4.434 ha lahan pertanian produktif di 4 kecamatan yakni Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Implikasi juga akan terjadi di sepanjang area rencana ekploitasi pasir besi dengan luas bentang alam dan alih fungsi lahan sekitar 22kmx1,8km (6,8%) dari total luas Kabupaten Kulonprogo 586.27km2. Dampaknya penambangan pasir di wilayah pantai dipastikan akan menyebabkan abrasi kian parah dan kerugian bagi masyarakat sekitarnya serta akan terjadi perubahan ekosistem dan keseimbangan ekologi yang ada di kawasan pesisir selatan. Hal ini dikhawatirkan akan membahayakan daerah di sekitar penambangan sebab gumuk pasir akan menjadi berkurang sehingga tidak dapat lagi meredam terjadinya gelombang besar yang ada di laut selatan, baik karena cuaca maupun ancaman tsunami.

Tuesday, June 14, 2011

Anatomi Konflik Dalam PEMILUKADA

Beberapa  Ilmuwan politik mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik.Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik tersebut.
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik dalam Pilkada,dan jika hal ini tidak diantisipasi maka akan melahirkan sebuah kerugian yang besar yang akan di terima oleh masyarakat. Beberapa hal yang menyebabkan konfli itu diantaranya :

  1.       Pertama, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada. Terlepas belum jelasnya aturan pelaksana putusan MK, namun konflik dan sengketa mulai muncul akibat adanya calon independen di beberapa daerah yang ikut pendaftaran calon Bupati/wakil Bupati namun secara tegas ditolak oleh KPUD, seperti kasus di pilkada Cilacap tahun 2007 yang lalu.
  2.      Kedua, tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman pilkada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Tahapan ini yang juga biasanya mengalamai kekisruhan akibat pendataan pemilih yang kurang valid adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Barat yang sempat berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan karena diduga banyak terjadi kecurangan dan banyak pemilih tidak terdaftar.
  3.           Ketiga, konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Berbagai upaya melakukan untuk memasarkan politik (marketing of politics) untuk meraih simpati publik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakan menyerang, mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada.
Ketiga konflik tersebut, ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa Pilkada yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti disebut diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum. Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang terjadi dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No 32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun 2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Pasal 106 UU 32 Tahun 2005: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Solusi yuridis ini memberi pesan bahwa seperti apapun konflik dan perselisihan yang ada dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada.
Kemudian, konflik pilkada yang semakin ramai mendominasi pelaksanaan pilkada akhir-akhir ini mesti segera disikapi dengan langkah antisipatif. Pertama, KPUD, Panwaslu, dan Bawaslu hendaknya secara sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen dan mampu memberikan pelayanan yang objektif kepada semua kandidat. Ketidak netralan KPU/KPUD akhir-akhir ini menjadi salah satu pemicu munculnya konflik pada pilkada. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan pilkada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Misalnya soal pendaftaran pemilih. Sudah saatnya persoalan sistem pendaftaran pemilih dikoreksi total dengan mengfungsikan kembali kerja Dinas Kependudukan secara maksimal. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran.
Umumnya, konflik pilkada dimulai dari minimnya lambatnya Panwaslu dalam merespon pelanggaran yang terjadi. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian main hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi,hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen Siap Menang dan Siap Kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Namun pada prakteknya, sebagian besar kandidat justru siap Menang dan tak siap Kalah. Selain itu, segenap stakeholders pilkada mesti memiliki komitmen bersama untuk memposisikan pilkada sebagai kekuatan awal konsolidasi demokrasi di daerah. Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, maka sengketa politik yang diawali oleh kekecewaan akibat kekalahan mestinya diakhiri dengan duduk bersama antar semua kandidat, baik yang kalah maupun yang menang.

Monday, June 13, 2011

PEMILUKADA Sebagai Ajang Pesta Demokrasi Rakyat

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah (bupati, walikota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ternyata membawa kekecewaan masyarakat. Karena, pertama, politik oligarki yang dilakukan DPRD dalam memilih kepala daerah, dimana kepentingan partai, bahkan kepentingan segelintir elit partai, kerap memanipulasi kepentingan masyarakat luas. Kedua, mekanisme pemilihan kepala daerah cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala-kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Dampak lebih lanjutnya adalah kolusi dan money politics, khususnya pada proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota DPRD. Ketiga, terjadi pencopotan atau tindakan lain dari para anggota DPRD terhadap kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan, yang berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal.

Keputusan politik untuk memilih sistem Pilkada langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendorong munculnya sistem pilkada langsung tersebut. Adapun faktor-faktor pendorong tersebut antara lain :
Sistem Pemilihan Perwakilan (Lewat DPRD) diwarnai banyak kasus. Sebagai sebuah sistem, Pilkada selama ini yang melalui DPRD terdapat 3 kelompok kasus. Pertama proses pemilihan dan pelantikan, dugaan kasus politik uang dan intervensi pengurus Partai Politik di level lokal maupun pusat. Kedua laporan LPJ. Kasus suap untuk meloloskan LPJ tahunan sering menggunakan politik uang. Ketiga proses pemecatan. Kasus pemecatan atau pemberhentian akibat kepentingan DPRD tidak di akomodasi.
Rakyat Dapat Berperan Langsung. Pilkada Langsung sering disebut sebagai kemenangan demokrasi rakyat atas demokrasi perwakilan. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan sejati sehingga menjadi wajar apabila kepercayaan yang diberikan kepada wakil rakyat tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, maka kepercayaan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya sendiri. Dengan demikian memanipulasi dan intervensi berlebihan gaya politisi lokal (Anggota DPRD) dapat dihindarkan. Negara berkewajiban memfasilitasi rakyat untuk mewujudkan kedaulatan tersebut.
Peluang Terjadinya Politik Uang Akan Makin Tipis. Politik uang merupakan fenomena yang tak terhindari dalam pilkada dengan sistem perwakilan. Mekanismenya, calon Kepala Daerah memberi uang kepada Anggota DPRD untuk memilihnya, karena jumlah Anggota DPRD sedikit (20-100 orang) maka kontrol terhadap penerima uang menjadi sangat mudah. Berbeda dengan Pilkada langsung, yang memilih adalah rakyat secara langsung sehingga politik uang tidak akan efektif karena calon yang memberi uang tidak mudah melakukan kontrol.
Peluang Campur Tangan Partai Politik Berkurang. Seringkali terjadi calon Kepala Daerah merupakan calon drop-dropan atau calon rekayasa yang terkesan dipaksakan sehingga terkadang calon tersebut tidak populer. Adanya campur tanggan atau intervensi partai politik tingkat lokal maupun pusat sering terjadi menyingkirkan calon yang memiliki basis massa dan dikenal masyarakat.
Hasil Akan Lebih Obyektif. Siapapun yang terpilih dalam Pilkada Langsung itulah kehendak mayoritas rakyat. Hasil obyektif ini tidak selalu indentik dengan terpilihnya kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik dan dibutuhkan daerah. Namun hal itu harus diterima sebagai bagian dari proses pembelajaran demokrasi.
Dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat berpartisipasi langsung menentukan pemimpin daerah. Pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas. Melalui pemilihan secara langsung, kepala daerah harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Pilkada langsung lebih accountable, karena rakyat tidak harus menitipkan suara melalui DPRD tetapi dapat menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat. Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Bangsa yang belajar adalah bangsa yang setiap waktu berbenah diri. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah ada dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalahan, tetapi itu semua wajar karena indonesia baru menghadapi Pemilukada untuk pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapar berjalan dengan lancar. Aamien…

Thursday, June 9, 2011

Buku Tamu

Assalamualaikum Wr. Wb.
Selamat datang pengunjung yang terhormat di MCN Blog,
Silahkan mengisi Buku Tamu yang sudah disediakan...


Bila berkenan tolong di Follow MCN Blog dan Like Fans Pagenya,
You Comment, I Follow,
Terima Kasih sudah berkunjung, besok datang lagi ya... :)