Thursday, September 20, 2012

Mengapa Foke-Nara Kalah?


Kekalahan yang diterima Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli atau Foke-Nara menurut penghitungan cepat disebabkan karena salah strategi sikap politik Foke-Nara. Sikap politik tersebut sudah melekat pada karakteristik Foke sejak putaran pertama.

"Stigma kegagalan periode pertama yang sudah lama melekat pada Foke membuatnya sulit bergerak di pilkada putaran kedua," kata Gun Gun Heryanto, pengamat dari The Political Literacy Institute kepada Kompas.com, Kamis (20/9/2012).

Gun memaparkan, stigma tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Foke menjadi sulit mengimplementasikan program-program di fase akhir jabatannya karena waktu yang terlalu pendek untuk bersosialisasi dan mengubah stigma. Karena kesulitannya itulah Foke terkesan kerja sebatas pencitraan saja.

Selain itu, kata Gun-Gun, Foke memiliki kesenjangan hubungan komunikasi politik antara dirinya dengan warga dan media massa. Foke juga cenderung kurang terbuka dengan media saat dia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Menurut Gun, kelemahan Foke adalah kurang bisa membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, ia kerap terbangun pada pola hubungan antagonistik antara dirinya dengan media dan sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.

Walaupun begitu, kata Gun, kemenangan Foke di 2007 didasari pada konsep penguasaan koalisi partai dan minimnya figur alternatif yang memiliki karakter transformatif pada pemilihan lalu. Sedangkan pada Pilkada DKI kali ini, penantang baru sudah lama memiliki karakter low profile, asketis dan dekat dengan warga.

Gun mengungkapkan, Jokowi telah sukses memosisikan brand-nya sebagai media ikon ditengah masyarakat. Ia juga mampu mentransformasikan kekuatannya dengan tetap mengusung kesederhanaan. "Identifikasi politik warga, jauh lebih berhasil masuk ke Jokowi daripada Foke yang lama berada dalam stigma elitis-birokratis," ungkap Gun.

Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan hasil penghitungan cepat Litbang Kompas menyatakan Jokowi-Basuki unggul dengan 53,26 persen sedangkan Foke-Nara mengumpulkan suara 46,74 persen.

LSI: Jokowi-Basuki 53,81 persen, Foke-Nara 46,19 persen



Perhitungan cepat atau quick count yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga memenangkan pasangan calon gubernur DKI Jakarta, besutan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.

Jokowi-Basuki mengungguli pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. "Pasangan Jokowi-Basuki mendapatkan suara 53,81 persen, lebih unggul dari pasangan Foke-Nara yang hanya mendapat 46,19 persen suara. Sampel diambil dari 400 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di Jakarta dengan tercatat ada 15.059 pemilih," kata Direktur Komunikasi LSI, Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, Kamis, (20/9/2012).

Sementara itu, toleransi kesalahan atau margin of error pada quick count ini 2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Angka yang diperoleh Jokowi-Basuki itu sudah melewati batas aman atau 51 persen.

"Angka 53 persen yang diperoleh Jokowi ini angka aman walaupun tidak besar perbedaannya tapi sudah lewat dari angka 51 persen yang merupakan batas aman," kata Burhanuddin.

Selanjutnya, dikatakan oleh Burhanuddin, pemanfaatan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) tidak berpengaruh secara signifikan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI putaran kedua.

Namun perolehan suara kandidat dari hasil quick count ini bisa bergeser ke bawah atau ke atas sebesar 2 persen.

Adapun berikut sebaran sampel TPS perhitungan cepat di tiap wilayah Jakarta. Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu dengan 2.630 populasi, sampel TPS sebanyak 70.

Jakarta Pusat dengan dengan 1.713 populasi, 45 sampel TPS. Jakarta Barat dengan 3.331 populasi, 88 sampel TPS. Jakarta Selatan 3.223 populasi, 86 sampel TPS. Dan di wilayah Jakarta Timur dengan 4.162 populasi, 111 sampel TPS.

Sementara itu, hasil penghitungan cepat untuk pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Basuki di setiap wilayah Jakarta yaitu, di Jakarta Barat sebanyak 46,04 persen - 53,96 persen, Jakarta Pusat 48,23 persen - 51,77 persen, Jakarta Selatan 46,77 persen - 53,23 persen, Jakarta Timur 46,72 persen - 53,28 persen, dan Jakarta Utara 43,36 persen - 56,64 persen.

Menurut Burhanuddin, dari hasil penghitungan cepat ini tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta adalah sekitar 67,35 persen.

Sunday, September 9, 2012

Konflik dan Kekerasan Negara


Dinamika kehidupan bernegara terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini  karena perbedaan pendapat dan kepentingan berbagai pihak bertemu dalam satu wadah dan saling berebut pengaruhnya. Negara haruslah menjadi penengah jika terjadi konflik antar warga negaranya. Tapi pertanyaannya bagaimana jika terjadi konflik antara rakyat dan Negara? Kekerasan Negara terhadap rakyatnya.

Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi yang suram. Hal itulah yang terjadi dari awal sampai akhir orde baru. Bahkan era pasca reformasipun masih ada kejadian-kejadian  serupa, peristiwa terakhir yaitu kejadian Mesuji dan Bima dan ini karena tipe dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin negaranya yang lemah.

Kasus Mesuji yang dilatarbelakangi sengketa lahan dan pihak pemodal perkebunan dan masyarakat. Masalahnya sudah jelas terlihat pengelolaan bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 dengan PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam). Masalah semakin meruncing karena keterlibatan polisi Brimob yang melakukan pengamanan dengan cara-cara kekerasan kepada warga sekitar

Peristiwa Bima pun tidak berbeda jauh keterlibatan aparat negara yang memicu konflik, laporan warga kabupaten Bima yang mengeluhkan berdirinya tambang awal 2011 di daerah mereka yang mengganggu pertanian, air bersih dan ternak warga sekitar tambang. Perijinan pendirian tambangpun bermasalah karena tidak mengantongi analisa dampak lingkungan (AMDAL). Penolakan dari wargapun tak digubris dan terus dibiarkan berlarut-larut. Padahal warga telah melaporkan dan sudah ada pengaduan aparat terkait. Tapi aktifitas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) masih tetap berjalan.

Kedekatan Pemerintah dengan Pemilik Modal

Ada apa dengan kebijakan penempatan Polisi Brimob dilokasi perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agrarian, ini menjadi pertanyaan besar. Terlihat jelas dekatnya hubungan antara POLRI atau pemerintah dengan pihak pemodal. POLRI yang seharusnnya mengamankan dan membela hak rakyat berbalik fungsinya, rasa aman yang diharap tembakan peluru, tendangan dan pukulan yang didapat.

Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dalam beberapa konflik terakhir, pertama bahwa konflik itu bukanlah konflik baru akan tetapi sudah cukup dan baru mencuat kepermukaan sekarang, ibarat fenomena gunung es. Lambannya birokrasi dan keberpihakan terhadap pemodal, selain itu pembangunan infrastruktur yang tidak merata, korupsi yang sudah menjalar disemua instansi dan penegakan hukum yang masih carut marut.

Presiden sebagai pemimpin negara dalam berbagai pidatonya yang menekankan pro rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi ternyata hanya retorika semata. Gaya kepemimpinan yang dimunculkan SBY cenderung pada laizes feier atau permisif, ini terlihat dari belum adanya tindakan tegas atau pernyataan tegas dari Sby menyikapi semua kejadi konflik dimana rakyat dan aparat saling berhadapan.

Bentuk ketidaktegasan dan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi merupakan bentuk kejahatan negara. Ini termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945 alenia 4 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sekarang jika negara melalui pemerintah ternyata belum mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya sendiri dan salah satu tujuan utama dari berdirinya Negara republik Indonesia masih menjadi angan setelah 66 tahun merdeka.

Lebih dari 70 Persen Masyarakat Tidak Dekat dengan Parpol


Lembaga survei Charta Politica hari ini merilis hasil survei dengan tema 'Stagnasi Perilaku Pemilih, dan Fenomena Partai Politik Mati Suri. Secara umum, tidak terlalu banyak terjadi perubahan terkait elektabilitas partai politik yang ada di Indonesia.

Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas dengan perolehan masing-masing Golkar 18 persen, Demokrat 12,5 persen, dan PDIP 10,8 persen.

Yang cukup mengejutkan ialah terjadinya perubahan besar pada komposisi kekuatan partai di lapis tengah, dimana Partai Gerindra memperoleh 4,7 persen, serta Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendapatkan 4,3 persen.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 3,9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,7 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2,6 persen, Partai Amanat Naional (PAN) 1,9 persen, dan Partai Hanura 1,6 persen. Sisanya 34,4 persen mengaku belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya menuturkan, ada beberapa hal yang menjadi bukti menguatnya stagnasi para pemilih. Misalnya tidak adanya perubahan pada posisi tiga teratas yang masih dihuni oleh partai-partai besar.

"Tidak munculnya captive market dan jaringan baru pemilih, undecided voters masih menjadi pemenang, 34 persen responden masih belum menentukan pilihan menjelang pemilu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/08/2012).

Selain itu, Yunarto juga menggaris bawahi poin yang mengatakan bahwa hanya sekitar 14 persen masyarakat yang mengaku dekat dengan partai politik yang didukungnya. Sedangkan 76 persen mengaku tidak memiliki hubungan dekat dengan parpol, dan 10 persen tidak memberikan jawaban.

"Tingkat kedekatan masyarakat dengan partai politik, atau istilahnya party id, hanya 14 persen responden yang mengaku dekat dengan partai politik," ungkapnya.

Survei ini dilakukan pada tanggal 8-22 Juli 2012 dengan melakukan wawancara secara tatap muka dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Quality control dilakukan terhadap hasil wawancara, yang dipilih secara random sebesar 30 persen dari total sampel.

Sampel tersebut dipilih secara acak (probability sampling) menggunakan metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang pada setiap PSU yang berjumlah 200 desa/kelurahan yang tersebar secara proporsional.

Survei ini dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 2.000 responden, dengan margin of error sebesar 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.


Demokratisasi Urban: Pilkada DKI 2012 Putaran Kedua


Beriring jungkir-baliknya prediksi lusinan lembaga survei, Pilkada DKI 2012 berlanjut ke putaran kedua. Menjadi tak sehat, saat isu SARA digulirkan masif. Potret praktik demokrasi yang masih saja, kekanak-kanakan.

Tak kurang tak lebih, Pilkada DKI 2012 sebenarnya merepresentasi pendewasaan politik masyarakat urban. Sebab, partisipasi sebagian masyarakat, yang merupakan pendatang itu, dapat menghitam-putihkan Jakarta. Termasuk bila hasil Pilkada akan mempengaruhi konstelasi politik nasional.

Namun menjadi mengkhawatirkan, bila embusan friksi negatif kemudian mewarnai kompetisi final event politik sarat gengsi dan kepentingan itu. Bukan berarti takut kalah bila kemudian kampanye hitam itu dianggap kekanak-kanakan. Sederhana saja. Masyarakat urban seperti Jakarta, yang tiba-tiba mau berpartisipasi, sementara biasanya mereka apolitis, lantaran hadirnya harapan tentang pemimpin baik,akan kembali tak mau tahu, bila politik selalu saja menjijikkan.

Bagaimana tidak? Jakarta dengan segudang ‘kepintaran’ publiknya harus diberi tontonan politik, yang semua sudah sama-sama mafhum, tak lebih dari ‘rebutan tulang’ kekuasaan. Praktik pencapaian yang tidak etis itulah penyebab utamanya.

Belum apa-apa,isu SARA sudah digelontorkan. Baru saja warga Jakarta berusaha percaya pada politik, ada saja yang menanamkan benih-benih tak sedap, tentang praktik politik yang tak ada bedanya dengan masa lalu. Begitu susah mewanti-wanti para politisi untuk belajar adat negarawan yang santun dan beradab.

Citra Politik Nothing to Lose

Apa sih yang sebenarnya dirindukan warga Jakarta? Tentu saja bukan nuansa menakut-nakuti layaknya zaman antah-berantah. Jelas bukan dengan gagah-gagahan, mengatakan, siapa pemilik sah Jakarta. Dan bukan calon pemimpin yang berbahagia dengan membiarkan warga Jakarta dilanda potensi kebencian yang sangat.

Sekali lagi, warga Jakarta adalah potret masyarakat terurban seantero republik ini. Salah satu tipikal masyarakat urban yang konsisten adalah kebebasan bersikap. Mereka bahkan punya rasionalitas sendiri yang terkadang melahirkan tradisi ekletik baru; bercampur-aduk membentuk socio anyar.

Tentu tak mudah membangun kepercayaan publik Jakarta. Namun, sekalinya mereka percaya, bukan mustahil, Jakarta dapat tumbuh menjadi kawasan megapolitan terkemuka di Asia Tenggara, lantaran didukung oleh pemimpin yang mengerti cara berpikir urban dan masyarakat urban yang dapat membangun konsesi.

Namun lihatlah. Aroma kebencian mulai terendus kuat pada putaran kedua Pilkada DKI 2012. Beberapa kelompok sangat menikmati cara mereka menakut-nakuti kalangan lain yang berbeda pandangan. Bukan lagi simpati yang dibangun, justru blunder strategis bernama apatisme publik urban.

Pemimpin Jakarta tentu bukan pemimpin yang penuh kepentingan sempit. Apalagi hanya memanjakan perut dan orang-orang di sekitarnya. Pemimpin Jakarta haruslah figur nothing to lose yang bersungguh-sungguh melayani warga Jakarta. Ia telah mandiri secara ekonomi. Ia memiliki gagasan yang dinamis seputar titik temu antara kekuatan modal yang menggurita dan kepentingan rakyat banyak.

Pemimpin Jakarta adalah pemimpin nyata, bukan di awang-awang. Ia duduk bersama warganya yang kebanjiran. Ia bersalaman dengan penduduk Jakarta yang tak punya rumah layak. Ia berdiri tegak menyelesaikan macet dan layanan kesehatan, bersama seluruh warga Jakarta.

Bukan untuk popularitas. Sebab, warga Jakarta sangat tahu cara yang tepat menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan untuk keuntungan semata. Sebab, Jakarta sangat tahu cara memutar transaksi bisnisnya. Juga bukan untuk reputasi khusus, agar dianggap merakyat; tapi benar-benar pemimpin yang susah-senang bersama rakyatnya.

Demokratisasi Urban

Kiranya perlu diketahui tentang partisipasi politik urban yang dipraktikkan masyarakat urban, seperti Jakarta. Hasilnya, demokratisasi urban pun tak seperti praktik demokrasi pada umumnya. Jakarta seperti dapat menentukan cara berdemokrasi, seperti yang warganya sendiri maui.

Sebutlah kompetisi ini benar-benar mewakili kepentingan Jakarta, warga Jakarta belum tentu mau mengakuinya dengan legawa. Bila hasilnya baik, dengan sendirinya, mereka akan membangun konsesi dan mematuhinya. Namun bila hasilnya buruk, warga Jakarta, bisa jadi, semakin mengeras ketidakpercayaannya pada elite politik di level apa pun.

Oleh karena itu, sudah semestinya bila momentum Putaran Kedua Pilkada DKI 2012 ini diwarnai dengan pendewasaan politik yang elegan. Sebab, sekali lagi, warga Jakarta sudah sangat tahu etika. Mereka akan berpartisipasi bila memang ‘servis’ politik juga memuaskan. Bukan dengan saling menjatuhkan lawan, bermuatan isu-isu ‘tidak berilmu’, yang justru akan membuat warga Jakarta antipati.

Selamat memilih, warga Jakarta.


Inilah 46 Partai Politik yang Ikut Pemilu 2014 (Verifikasi KPU)


Anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengatakan, pendaftaran verifikasi Partai Politik pemilu 2014 resmi ditutup hari ini.

"Meski sudah ditutup, masih ada sejumlah partai yang menjalani proses pendaftaran. Karena partai-partai itu mendaftar mendekati tenggat penutupan pendaftaran," ucapnya kepada wartawan di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jum'at (7/9/2012).

Namun, menurut Hadar, pihaknya akan memeriksa rincian kelengkapan dokumen dan persyaratan. "KPU akan memeriksa kedalaman atau rincian kelengkapan 17 dokumen persyaratan verifikasi partai politik. Setelah pendaftaran, KPU akan menjadwalkan pelengkapan dokumen verifikasi hingga 29 September mendatang," tambahnya.

Saat ini, kata Hadar, Partai Politik yang sudah mendaftar tercatat sebanyak 46 partai politik. "Jumlah total partai yang mendaftar ada 46, masih ada tiga partai yang masih melakukan proses pendaftaran, karena daftarnya mepet," tambahnya.

Kata Hadar, Seluruh berkas pendaftaran diserahkan ke KPU pusat, kecuali daftar keanggotaan yang seribu itu.

"Untuk itu, syarat keanggotaan itu harus terpenuhi untuk dilanjutkan ke tahap verifikasi faktual. Sebaiknya parpol menyerahkan itu sampai 29 september," tutupnya.

Berikut nama Partai Politik yang sudah terdaftar di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat :
  1. Partai Demokrasi Kebangsaan
  2. Partai NasDem
  3. Partai Pemuda Indonesia
  4. Partai Hati Nurani Rakyat
  5. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
  6. Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia
  7. Partai Kongres
  8. Partai Serikat Rakyat Independen
  9. Partai Kebangkitan Bangsa
  10. Partai Indonesia Sejahtera
  11. Partai Bulan Bintang
  12. Partai Pemersatu Bangsa
  13. Partai Amanat Nasional
  14. Partai Golongan Karya
  15. Partai Karya Republik
  16. Partai Nasional Republik
  17. Partai Keadilan sejahtera
  18. Partai Gerindra
  19. Partai Demokrasi Pembaruan
  20. Partai Buruh
  21. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
  22. Partai Pelopor
  23. Partai Republiku
  24. Partai Demokrat
  25. Partai Damai Sejahtera
  26. Partai Republik Nusantara
  27. Partai Islam
  28. Partai PNI Marhaenisme
  29. Partai Karya Peduli Bangsa
  30. Partai Persatuan Pembangunan
  31. Partai Pengusaha Pekerja Indonesia
  32. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
  33. Partai Aksi Rakyat
  34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama
  35. Partai Merdeka
  36. Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia  Baru
  37. Partai Republik
  38. Partai Kedaulatan
  39. Partai Persatuan Nasional
  40. Partai Patriot
  41. Partai Bhineka Indonesia
  42. Partai Peduli Rakyat Nasional
  43. Partai Barisan Nasional
  44. Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia
  45. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah  Indonesia
  46. Partai Matahari Bangsa