Tuesday, January 31, 2012

K. H. Ahmad Dahlan : Sang Pencerah

Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang Pahlawan Nasional. Merupakan putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Keluarga dan Pendidikan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).  Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K. H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah . Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Siddiq Amanah Tabligh Fathonan (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul Aba, Ta'aqanu ala birri, Ta'aruf bima kanu wal Fajri, Wal Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).

Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Rapublik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 
Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
  1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
  2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
  3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
  4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Sunday, January 29, 2012

Teori Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa telah menjadi fenomena penting dalam perubahan politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Setelah 32 tahun pemerintahan dibawah kendali Presiden Soeharto, krisis ekonomi melanda Indonesia yang diakibatkan pengendalian sumber daya keuangan yang tidak proporsional. Bantuan luar negeri yang semula membantu proses pembangunan menjadi sandaran utama dalam pembiyaan modernisasi. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat berpendidikan dan sehari-harinya bergelut dengan pencarian kebenaran dalam kampus melihat kenyataan yang berbeda dalam kehidupan nasionalnya. Kegelisahan kalangan mahasiswa ini kemudian teraktualisasikan dalam aksi-aksi protes yang kemudian mendorong perubahan yang reformatif dalam sistem politik di Indonesia hingga tahun 2009 ini.
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik.[1] Arbi Sanit memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik.[2] Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefinisikan Nan Lin[3] sebagai upaya kolektif untuk memajukan atau melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Rudolf Heberle[4] menyebutkan bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Bahkan Eric Hoffer menilai bahwa gerakan sosial bertujuan untuk mengadakan perubahan. Teori awal menyebutkan, sebuah gerakan muncul ketika masyarakat menghadapi hambatan struktural karena perubahan sosial yang cepat seperti disebutkan Smelse. Teori kemacetan ini berpendapat bahwa “pengaturan lagi struktural dalam masyarakat seperti urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan hilangnya kontrol sosial dan meningkatkan “gelombang menuju perilaku antisosial”. Kemacetan sistemik ini dikatakan menjadi penyebab meningkatnya aksi mogok, kekerasan kolektif dan gerakan sosial dan mahasiswa Pakar kontemporer tentang gerakan sosial mengkritik teori-teori kemacetan dengan alasan empirik dan teoritis.
Denny JA[5] juga menyatakan adanya tiga kondisi lahirnya gerakan sosial seperti gerakan mahasiswa. Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluasnya gerakan sosial. Ketiga, gerakan sosial semata-masa masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan. Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya.
Gerakan moral ini diakui pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Mahasiswa, tulis Arief Budiman,[6] sering menekankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik”. Aksi protes yang dilancarkan mahasiswa berupa demonstrasi di jalan dinilai juga sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis. Arief Budiman juga menambahkan, konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik.[7]Setelah pendobrakan dillakukan maka adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan yang melakukan pembenahan.
Sependapat dengan Arief Budiman, Arbi Sanit menyatakan komitmen mahasiswa yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik mahasiswa.[8] Karena itu politik mahasiswa digolongkan sebagai kekuatan moral. Kemurnian sikap dan tingkah laku ,mahasiswa menyebabkan mereka dikategorikan sebagai kekuatan moral, yang dengan sendirinya memerankan politik moral.
Namun seperti halnya gerakan sosial umumnya senantiasa melibatkan pengorganisasian. Melalui organisasi inilah gerakan mahasiswa melakukan pula aksi massa, demonstrasi dan sejumlah aksi lainnya untuk mendorong kepentingannya. Dengan kata lain gerakan massa turun ke jalan atau aksi pendudukan gedung-gedung publik merupakan salah satu jalan untuk mendorong tuntutan mereka. Dalam mewujudkan fungsi sebagai kaum intelektual itu mahasiswa memainkan peran sosial mulai dari pemikir, pemimpin dan pelaksana. Sebagai pemikir mahasiswa mencoba menyusun dan menawarkan gagasan tentang arah dan pengembangan masyarakat. Peran kepemimpinan dilakukan dengan aktivitas dalam mendorong dan menggerakan masyarakat. Sedangkan keterlibatan mereka dalam aksi sosial, budaya dan politik di sepanjang sejarah merupakan perwujudan dari peran pelaksanaan tersebut.
Bentuk lain dari aktualisasi peran gerakan mahasiswa ini dilakukan dengan menurunkan massa mahasiswa dalam jumlah besar dan serentak. Kemudian mahasiswa ini mendorong desakan reformasi politiknya melakukan pendudukan atas bangunan pemerintah dan menyerukan pemboikotan. Untuk mencapai cita-cita moral politik mahasiswa ini maka muncul berbagai bentuk aksi seperti umumnya terjadi dalam, gerakan sosial. Arbi Sanit menyatakan, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa fungsinya sebagai penguat tuntutan bukan sebagai kekuatan pendobrak penguasa. Strategi demonstrasi diluar kampus merupakan bagian dari upaya membangkitkan semangat massa mahasiswa.
Arbi Santi menyebutkan, reformasi politik mahasiswa terfokus kepada suksesi kepemimpinan, penegakan pemerintahan yang kuat-efektif sehingga produktif, penegakan pemerintahan yang bersih, penetapan kebijakan puiblik yang adil dan tepat dan demokratisasi politik. Arbi menyajikan sebuah analisa sistematik mengenai peran strategis pembaharuan mahasiswa Asia dalam dekade 1990-an. [9]Namun sayang, gerakan moral mahasiswa ini seringkali menimbulkan kerusuhan dan tindakan anarki, untuk itulah diperlukan strategi baru dalam melakukan aksi untuk menuntut perubahan kebijakan, yakni dengan menggunakan strategi negosiasi.



[1] Dikutip dari Asep setiawan, Gerakan Mahasiswa Tinjauan Teoritis, 2007, globalisasi.wordpress.com
[2] Lebih lanjut dapat dibaca dalam  Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1984.
[3] Nan Lin, Social Movement dalam Encyclopedia of Sociology, New York, MacMillan Publishing Company, 1998, hal. 1880.
[4] Dikutip Asep Setiawan, Gerakan Sosial, Jakarta, Jurusan Ilmu Politik, FISIP UMJ, 1998, hal.10
[5] Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Kompas, 25 April 1998.
[6] Arief Budiman, Peranan mahasiswa sebagai Inteligensia dalam Cendekiawan dan Politik,
Jakarta, LP3ES
, 2005.
[7] Arief Budiman, Catatan Kritis Mencoba Memahami Si Bintang Lapangan 1998, dalam Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Jakarta, LP3ES, 2005, hal. xvi.
[8] Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, hal.267.
[9] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

Saturday, January 28, 2012

Komunikasi Politik Sebagai Kajian Dalam Ilmu Politik

Komunikasi politik merupakan studi multidisipliner yang melibatkan beberapa cabang ilmu terutama cabang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Hal ini bisa dilihat dari kajian komunikasi politik yang secara umum membahas keterkaitan antara proses komunikasi dan proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem politik. Kesulitan yang dialami oleh kebanyakan studi multidisipliner seperti studi komunikasi politik adalah sulitnya menemukan keberimbangan penekanan ataupun perspektif dan penguasaan metodologi lintas ilmu.
Selama ini studi komunikasi politik masih lebih banyak menjadi perhatian ilmuwan komunikasi ketimbang ilmuwan politik, sehingga bisa dipahami ketika ada perspektif yang berbeda dalam melihat proses komunikasi politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik. Perbedaan penekanan dan perspektif antara ilmuwan komunikasi dan ilmuwan politik dalam melihat komunikasi politik terletak pada:
  1. Ilmuwan komunikasi lebih cenderung melihat peran media massa dalam komunikasi politik, sedangkan ilmuwan politik (khususnya penganut mazhab behavioralisme) cenderung melihat proses komunikasi politik dari segi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam kegiatan kemasyarakatan.
  2. Ilmuwan komunikasi cenderung melihat saluran komunikasi politik dalam bentuk media massa sebagai saluran terpenting. Sedangkan ilmuwan politik melihat saluran media massa dan saluran tatap muka yang melibatkan pemimpin opini (opinion leader) memainkan peran yang sama pentingnya.
Penelusuran yang dilakukan dengan cara memperlihatkan bahwa kajian komunikasi politik berawal dari kajian tentang propaganda dan opini publik pada tahun 1922 dimana Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann melakukan penelitian tentang opini publik, disusul oleh peneliti-peneliti berikutnya. Pada tahun 1027 Harold Lasswell dalam disertasinya melakukan penelitian tentang propaganda berjudul “Propaganda Technique in the World War”. Berdasar pada disertasi Lasswell, Amerika Serikat yang semula memandang propaganda memiliki arti yang negatif, justru kemudian memanfaatkannya dalam Perang Dunia II dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dan praktisi. Berkat rintisan Lasswell dalam disertasinya yang dipandang sangat penting, Wilbur Schramm ahli di bidang content analysis menempatkan Lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik.  
Istilah komunikasi politik dalam ilmu politik memang terbilang masih relatif baru, sekalipun obyek kajiannya sudah lama mendapatkan perhatian dalam ilmu politik  seperti partisipasi politik, perilaku pemilih, sosialisasi politik, lembaga politik, dan lain-lain. Istilah Komunikasi Politik dalam ilmu politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Adapun fungsi yang dijalankan oleh sebuah sistem politik tersebut menurut Almond adalah:
  1. Sosialisasi Politik, internalisasi nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Rekrutmen Politik, penyeleksian individu-individu yang berkompeten untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
  3. Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat.
  4. Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik.
  5. Komunikasi Politik, proses penyampaian pesan-pesan politik dalam infra struktur politik, supra struktur politik, maupun dalam masyarakat.
  6. Pembuatan Peraturan, proses pembuatan kebijakan.
  7. Penerapan Peraturan, proses implementasi kebijakan.
  8. Ajudikasi Peraturan, proses pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari penjabaran fungsi system politik tersebut terlihat bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tapi inhern dalam setiap sistem politik dan dapat ditemukan dalam tiap-tiap fungsi sistem politik yang lain. Proses komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik yang terjadi pada saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Dengan kata lain, komunikasi politik melekat pada fungsi-fungsi yang lain dan merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungnya fungsi-fungsi yang lain. Ketika fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan peraturan, penerapan aturan, dan ajudikasi peraturan berjalan, sesungguhnya didalamnya sedang berlangsung pula proses komunikasi politik. 
Sumbangan pemikiran yang diberikan Almond tersebut adalah bahwa semua sistem politik, dimanapun dan kapanpun, memiliki persamaan yang mendasar, yaitu ditinjau dari fungsi yang dijalankan. Sekalipun bentuk atau sifat dari fungsi tersebut bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, lingkungan, budaya, dan lain-lain, namun menurut Almond perbedaan itu tidak bersifat mendasar. Dengan demikian, kajian komunikasi politik dalam ilmu politik yang perlu dicermati adalah:
  • Adanya perhatian yang sama besar terhadap arus komunikasi dari atas ke bawah (dari pemerintah/penguasa politik pada masyarakat) dan dari bawah ke atas (dari masyarakat pada pemerintah/penguasa politik).
  • Indikator arus komunikasi politik dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke penguasa politik (bottom up) paling tidak bisa dilihat dari agregasi kepentingan dan partisipasi politik.
  • Komunikasi politik yang ideal dalam sebuah sistem politik adalah ketika dikaitkan dengan demokratisasi. Frekuensi penggunaan komunikasi politik oleh masyarakat merupakan salah satu indikator peningkatan demokratisasi politik, yang menunjukkan arus komunikasi politik tidak sekedar datang dari atas ke bawah, melainkan juga dari bawah ke atas. Hal yang penting di sini adalah keterbukaan saluran komunikasi politik dan keterbukaan penguasa politik.
  • Peran sebagai komunikator yang dijalankan masyarakat dalam komunikasi politik memerlukan beberapa kualifikasi, yaitu:
  1. Masyarakat harus mengerti dengan baik masalah yang akan dikomunikasikan. Masyarakat dituntut untuk bisa menjelaskan masalah secara argumentatif dan rasional.
  2. Masyarakat harus mampu merumuskan masalah atau tuntutan dengan jelas supaya bisa diterima dan dipahami dengan baik.
  3. Masyarakat harus mampu untuk tidak menyinggung soal diri pribadi pejabat tertentu. Masalah politik adalah masalah rakyat keseluruhan, karena itu tuntutan yang diwarnai oleh sentimen pribadi bisa mengurangi kualitas tuntutan itu sendiri.
  4. Kualifikasi tersebut berpangkal pada adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dalam sebuah masyarakat.
  • Adanya ketidakjelasan dan ketumpangtindihan (overlap) konsep komunikasi politik dengan fungsi-fungsi sistem politik lainnya ataupun dengan konsep-konsep lain dalam ilmu politik. Hal ini menyebabkan studi komunikasi politik dalam ilmu politik tidak terlihat nyata, meskipun sebenarnya obyeknya telah banyak dikaji dalam ilmu politik.
  • Masih kurangnya penggunaan metode dan pendekatan yang biasa digunakan ilmu komunikasi dalam mengkaji proses komunikasi. Oleh karena itu, untuk memperjelas eksistensi studi komunikasi politik, ilmuwan politik perlu menggunakan bantuan dari ilmu komunikasi yang telah berhasil menciptakan berbagai pendekatan, metode, dan konsep yang bermanfaat bagi para ilmuwan politik.

Sumber : Diktat Komunikasi Politik, Dian Eka Rahmawati, S.IP, M.Si

Wednesday, January 25, 2012

Menjadi Murabbi Itu Mudah : Tips-tips Dasyat Untuk Menjadi Seorang Murabbi

Aga Sekamdo pernah mengkomparasikan pertumbuhan kader Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Partai Keadilan di Indonesia. Keduanya memiliki sistem kaderisasi yang serupa yaitu halaqah. Pada tahun 1954 (sekitar dua dasawarsa efektif kaderisasi) anggota Ikhwanul Muslimin telah mencapai 3 juta kader. Sedangkan pertumbuhan PK (kini PKS) sendiri jauh dibawah itu. Lalu ia menyimpulkan bahwa ada masalah dengan kaderisasi harakah di Indonesia ini.
Salah satu yang menjadi permasalahan serius kaderisasi dengan sistem halaqah adalah murabbi. Jika sebuah harakah hendak mencapai pertumbuhan kader yang tinggi dengan sistem ini, maka ia harus menyediakan murabbi dengan jumlah yang signifikan. Rekrutmen yang massif tidak akan berarti banyak jika setelahnya tidak di follow-up dengan halaqah karena kuranggnya murabbi. Tapi inilah permasalahan yang menggejala hingga saat kini.
Usia tarbiyah yang lama bukan jaminan bahwa seorang kader siap menjadi murabbi. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak kader lama yang tidak kunjung siap untuk menjadi murabbi. Ada pula yang terpaksa dalam ketidaksiapan. Jika kemudian ia belajar tentu akan menjadi lain ceritanya. Namun keterpaksaan itu sering berujung pada “pembubaran halaqah”.
Buku “Menjadi Murabbi Itu Mudah” yang ditulis oleh Muhammad Rosyidi berusaha menyajikan solusi untuk menjawab permasalahan diatas. Judulnya yang menarik, mengajak kita optimis bahwa menjadi murabbi itu tidak sesulit yang dibayangkan. Dengan persepsi awal yang mencerahkan ini, diharapkan kader dakwah siap untuk diamanahi menjadi murabbi, siap memulai halaqah, dan sambil berjalan diharapkan untuk terus meningkatkan kafaah-nya sebagai murabbi agar halaqahnya berjalan efektif.
Mengapa Tidak Menjadi Murabbi?
Ada enam alasan mengapa kader dakwah ragu untuk menjadi murabbi yang direkam dalam buku ini. Alasan-alasan itu adalah merasa belum siap, merasa belum pantas, merasa tidak cocok, belum mendapatkan kelompok binaan, sibuk atau trauma pengalaman.
Alasan yang pertama bisa dijawab dengan langsung menjadi murabbi tanpa membayangkan hal yang belum terjadi. Action! Untuk ketidaksiapan teknis ketika mengisi halaqah, Muhammad Rosyidi memberikan tips : cermati murabbi mengisi halaqah dari awal sampai akhir, jiplak saja. Selebihnya konsultasikan ke murobbi.
Alasan kedua, merasa tidak pantas, harus segera diatasi. Pertama, pahamkan diri bahwa seorang yang berdakwah tidak harus menunggu sempurna. Sambil terus memperbaiki diri. Para sahabat Nabi langsung mendakwahkan apa yang mereka terima dari Rasulullah tanpa menunggu turunnya semua surat turun lengkap. Kedua, buat target kapan pantas jadi murabbi. Kekurangan yang telah disadari harus dibenahi dalam tenggang waktu tertentu. Jika tidak ada waktu yang bisa dijadikan batasan sampai pantas, barangkali alasan yang sebenarnya adalah ketidakmauan atas nama ketidakpantasan.
Merasa tidak cocok biasanya menimpa kader yang nervous bicara didepan orang banyak, atau kurang menguasai materi. Banyak juga keraguan ini menimpa mereka yang pernah gagal menjadi murabbi. Saran dalam buku ini adalah dengan memberanikan diri menjadi murabbi. Jangan pernah merasa tidak cocok kalau hanya pernah gagal satu atau dua kali. Sambil terus meng-upgrade diri sebagai langkah antisipasi.
Alasan keempat bisa dijawab secara personal, kelompok tarbawi, atau struktur. Secara personal berarti meningkatkan kemampuan rekrutmen, berupaya melakukan dakwah fardiyah. Secara kelompok, ini bisa disikapi dengan menggelar rekrutmen yang difasilitasi murabbi. Tentu adanya peran struktur menjadi solusi yang lebih baik. Misalnya dengan adanya bursa murabbi dan mutarabbi disamping secara berkala menggelar acara-acara rekrutmen.
Untuk alasan sibuk, justru murabbi adalah tugas biasa yang dijalankan dengan baik oleh mereka yang terbiasa sibuk. Kesulitan waktu bisa diatasi dengan mengkomunikasikan kepada struktur sehingga murabbi yang bisa disatu waktu dipertemukan dengan mutarabbi yang bisanya juga diwaktu itu.
Sedangkan trauma pengalaman biasanya dialami oleh mereka yang pernah “ditinggalkan” oleh mutarabbi. Bisa jadi karena sikapnya yang berbeda dalam masalah khilafiyah. Seharusnya kegagalan tidak menjadikan kader trauma untuk memegang halaqah lagi. Justru dengan banyakknya pengalaman ia akan menjadi expert. Maka solusinya adalah just do it!
Karena Menjadi Murabbi Itu Luar Biasa
Motivasi itu penting. Dan motivasi berangkat dari pemahaman yang benar. Menjadi murabbi itu luar biasa. Banyak keutamaannya. Kesiapan kader untuk menjadi murabbi akan semakin kokoh jika ia memiliki motivasi tinggi disamping keberhasilannya menepis keraguan-keraguan diatas.
Pada bab 3 dan 5 buku ini, Muhammad Rosyidi menhuraikan bahan motivasi itu. Bahwa kita perlu memahami status murabbi dan untungnya menjadi murabbi. Keduanya bahkan diletakkan sebelum alasan tidak menjadi murabbi pada bab 6.
Setidaknya, ada beberapa hal yang dijelaskan dalam buku ini terkait status murabbi. Pertama, murabbi itu menyambung mata rantai dakwah. Tanpa murabbi dakwah akan terputus. Dan jangan sampai kita menjadi pemutus rantai itu. Kedua, menjadi murabbi berarti berkontribusi bagi dakwah. Kontribusi yang teramat besar nilainya bagi seorang kader dakwah. Kontribusi special. Apapun amanah kader di dalam struktur atau wajihah, menjadi murabbi adalah amanah utama yang tidak boleh dikesampingkan. Ketiga, tidak ada out sourcing dalam menjadi murabbi. Jadi seorang ikhwah tidak boleh berpikir; saya merekrut saja, biar orang lain yang membina. Saya distruktur saja, atau mengisi taklim, biar saya wakilkan halaqah kepada ikhwah yang lain.
Sedangkan untungnya menjadi murabbi diuraikan dalam bab 5 sebagai berikut; memperoleh pahala sebagai dai, mendapatkan multi level pahala, menjadi lebih memahami tarbiyah, termotivasi untuk terus meningkatkan amal, menjadi sarana pendewasaan diri, dan aplikasi taawun.
Segera Menjadi Murabbi, Siapkan Mental, Pilih Gaya Sendiri!
Cara terbaik menjadi murabbi adalah memulainya. Maka motivasi yang telah ada harus segera menemukan kerannya. Bisa jadi halaqah itu murni baru, bisa jadi ia lanjutan dari taklim rutin yang dikhaskan, atau yang lainnya. Sambil jalan murabbi baru perlu mensetting mentalnya. Bahwa murabbi itu pantang menyerah, bersikap tenang, dan bijak menyikapi realitas binaan. Tidak menyerah meski hujan datang, tidak menyerah meski lelah. Bijak menyikapi realitas binaan yang berbeda latar belakang maupun sangat tidak ideal dalam Islam. Murabbi perlu bijak, karena mereka masih baru.
Dalam menyampaikan materi, kita bisa memilih gaya kita sendiri. Bisa gaya tekstual dengan cara membacakan materi halaqah. Bisa gaya multimedia dengan membawa laptop dan menyajikan materi dalam bentuk powerpoint. Bisa gaya mengkaji kitab, dengan membaca kitab lalu menguraikan sendiri penjelasannya. Atau gaya paparan dengan cukup menuliskan rasmul bayan lalu menjelaskannya.
Masih banyak tips-tips berikutnya dalam mengelola halaqah dalam buku ini. Membaca buku ini, insya Allah menjadi pencerahan dan penyemangat bagi calon murabbi bahwa “Menjadi Murabbi Itu Mudah”. Meski demikian, buku ini juga perludibaca para murabbi sebagai upaya in’asy, pengembangan, peningkatan, dan up-grade kualitas. Wallahu a’alam bish shawab.

Monday, January 23, 2012

Mubahalah : Sumpah Pocongnya Indonesia

Definisi Mubahalah
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah, yang berarti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Akan tetapi secara terminologi, mubahalah adalah memohon kutukan kepada Allah Swt untuk dijatuhkan kepada orang yang berdusta, sebagai bukti kebenaran salah satu pihak. Mubahalah dilakukan ketika orang-orang berdebat tentang masalah penting agama, lalu berkumpul di sebuah tempat dan memohon kepada Allah Swt untuk menghukum mereka yang berbohong dan menentang kebenaran.
Hukum mubahalah adalah Al-Jawaz (diperbolehkan) dan disyari'atkan ketika tampak kejelasan hujjah atas orang yng membantah, dan nampak jelas rusaknya tuduhannya. Apabila tidak mengakui dan tidak mau ikut, maka boleh mengajaknya kepada mubahalah.

Mubahalah Pada Zaman Nabi Muhammad
Pada tanggal 24 Dzulhijjah tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad Saw melayangkan sebuah surat kepada kaum Nasrani Najran untuk menyeru mereka kepada agama Islam. Mereka yang tidak bersedia menerima Islam pada akhirnya mengutus pembesar-pembesar Nasrani untuk datang ke Madinah, lalu Nabi Saw membacakan beberapa ayat al-Quran tentang Isa bin Maryam. Ketika mereka menolak kebenaran itu, maka turunlah surat yang berbunyi : 
 "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (Ali Imran:61)
Allah SWT sebelum menurunkan ayat mubahalah, terlebih dahulu menjelaskan tentang penciptaan Nabi Isa as dalam beberapa ayat sebelumnya. Langkah ini bertujuan mengajak Nasrani Najran menggunakan akal sehat dan logika dalam berdebat. Pada awal diskusi, Rasul Saw telah berusaha menyadarkan mereka dengan argumentasi-argumentasi yang kuat dan tegas. Namun, itu semua tidak membuat mereka sadar, tapi malah bersikeras pada keyakinannya. Pada akhirnya, Allah SWT pun menurunkan ayat tentang bernuhabalah.
Keesokan harinya, Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang terdekatnya untuk bermubahalah dengan Nasrani Najran. Mereka adalah Ali, Fatimah serta Hasan dan Husein. Akan tetapi, para wakil Nasrani membatalkan niat mereka dan memilih membayar jizyah daripada melakukan Mubahalah. Najran adalah sebuah derah di barat daya Arab Saudi, dekat perbatasan Yaman. Pada permulaan Islam, kawasan itu dihuni oleh kaum Nasrani yang mengikuti ajaran Nabi Isa as daripada menyembah berhala.
Di Indonesia, pada tahun 1930-an, A Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) juga pernah menantang kelompok Ahmadiyah untuk bermubahalah. Namun tantangan mubahalah itu tak pernah berani dilakukan oleh Ahmadiyah sampai saat ini. Meski begitu, nabi palsu yang juga pentolan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad pernah melakukan mubahalah yang berakibat pada tewasnya Mirza Ghulam Ahmad dalam keadaan sakit parah di tempat buang hajat.

Amalan Hari Mubahalah
Dalam buku doa Mafatih al-Jinan, ada sejumlah amalan khusus yang dilakukan tepat di hari ini seperti berikut:
  • Mandi, amalan ini menunjukkan upaya untuk membersihkan badan lahiriah dari kotoran dan menandakan kesiapan jiwa untuk berhias dengan doa-doa yang akan dibaca.
  • Berpuasa, amalan ini membuat batin manusia menjadi lebih segar.
  • Melakukan dua rakaat shalat.
  • Membaca doa khusus hari Mubahalah yang disebut doa Mubahalah yang agak mirip dengan doa Sahar bulan Ramadhan.
  • Begitu juga di hari ini ditekankan agar membaca ziarah Amirul Mukmini, khususnya Ziarah Jamiah. Berbuat baik kepada orang miskin, mengikuti apa yang dilakukan oleh Imam Ali as yang di hari ini memberikan cincinnya kepada seorang peminta saat tengah melakukan ruku.

Sumpah Pocong
Sumpah pocong yang konon merupakan tradisi masyarakat pedesaan adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dengan kondisi terbalut kain kafan layaknya orang yang telah meninggal. Sumpah ini tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (mesjid). Di dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan seperti ini. Sumpah ini merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang sedikit atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali.
Di dalam sistem pengadilan Indonesia, sumpah ini dikenal sebagai sumpah mimbar dan merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, walaupun bentuk sumpah pocong sendiri tidak diatur dalam peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat, biasanya berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.
Dalam suatu kasus perdata ada beberapa tingkatan bukti yang layak diajukan, pertama adalah bukti surat dan kedua bukti saksi. Ada kalanya kedua belah pihak sulit menyediakan bukti-bukti tersebut, misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu. Bila hal ini terjadi maka bukti ketiga yang diajukan adalah bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bukti ini agak rawan dilakukan. Bila ketiga macam bukti tersebut masih belum cukup bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara maka dimintakan bukti keempat yaitu pengakuan. Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim
Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah. Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.

Wednesday, January 18, 2012

Muhammad Hasan Tiro : Sang "Wali Nanggroe"

Teungku Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010) adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh yang tidak pernah padam, sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu dipertanyakan lagi. Jawa adalah bukti bahwa di Indonesia ada ketimpangan dan ketidak adilan, bahwasanya ada jurang pemisah antara Jawa-non Jawa. Kita mencatat, Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta, sehingga di taman raya Indonesia, Aceh mendapat status otonomi khusus yang luar biasa.
Beliau dapat ditempatkan sejajar dengan pemikir sekaliber Muhammad Hatta, Syahrir, Soekarno atau Marx dan Lenin sekalipun. Semangat patriotismenya bisa ditempatkan sebanding dengan Fidel Castro, Nelson Mandela atau George Washington.

Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925.
Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).
Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI di Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji. Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
  • Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
  • Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.
  • Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
  • Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
  • Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia. Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno.
Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.
Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia.  Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain,  “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.
Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda.  Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain. Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.

Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan.  Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi,  untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra

Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Lalu, Hasan Tiro dan elite GAM menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan Hasan Tiro dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.

Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya.
Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.

Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. “Sang Wali” terakhir itu akhirnya pergi. Terima kasih Teungku, selamat jalan Wali.

Wednesday, January 11, 2012

Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun 1998 telah  berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang  politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip  clean government dan  good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, program utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi. Dengan demikian, reformasi birokrasi gelombang pertama pada dasarnya secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004.
Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.
Sementara itu, pada pidato kenegaraan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI di depan Sidang DPR RI tanggal 14 Agustus 2009, Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk lima tahun mendatang, yaitu melaksanakan  reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi birokrasi. Reformasi gelombang kedua bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.
Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan  mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
  • Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan
  • Menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy
  • Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat
  • Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi
  • Meningkatkan  efsiensi  (biaya  dan waktu)  dalam  pelaksanaan  semua segi tugas organisasi
  • Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih (overlapping) antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Selain itu, reformasi birokrasi pun perlu menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough)  dengan  langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfkir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada  (out of the box thinking),  perubahan paradigma   (a new paradigm shift), dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living document.
Reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 atau  lebih dari sepuluh tahun terakhir telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance). Dalam bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu membawa kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik.
Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia. Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,  masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International  pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan  kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari data  International Finance Corporation pada tahun 2009. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menempati peringkat  doing business ke-122 dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global. 
Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government effectiveness  yang dilakukan  Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Kondisi ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%. Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini.

Kondisi yang Diinginkan
Reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Pada tahun 2014 diharapkan sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut:
  • Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  • Kualitas pelayanan publik;
  • Kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi;
  • Profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta  memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.
Pada tahun 2019, diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, serta mind-set  dan  culture-set yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi.
Pada tahun 2025, diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Kondisi di atas dapat dikemukakan pada gambar berikut.

Permasalahan Birokrasi
Ada beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan birokrasi, yaitu: 
  • Organisasi. Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
  • Peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak peraturan perundang-undangan yang  belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat.
  • SDM Aparatur. SDM aparatur negara Indonesia (PNS) saat ini berjumlah 4,732,472 orang (data BKN per Mei 2010). Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta  tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan golongan/pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan.
  • Kewenangan. Masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan belum mantapnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
  • Pelayanan public. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan  pelayanan publik  belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.
  • Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set). Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efsien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).

Arah kebijakan reformasi birokrasi adalah:
  • Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).
  • Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantaan pelaksanaan reformasi birokrasi (Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014).

Visi Reformasi Birokrasi
Visi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Visi  tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik  pada tahun 2025.
Penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L dan Pemda,  manajemen pemerintahan dan manajemen SDM aparatur yang efektif, serta  sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing K/L dan Pemda  akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.
Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek KKN, pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat, kualitas pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik meningkat, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil-hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat. Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kondisi ini akan menjadi profl birokrasi yang diharapkan.
Kondisi tersebut di atas akan dicapai melalui berbagai upaya, antara lain dengan penerapan program quick wins, yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum awal yang positif dan meningkatkan kepercayaan instansi untuk melakukan sesuatu perubahan yang berat. Penyelesaian sesuatu yang berat merupakan inti dari suatu program besar. Quick wins dilakukan di awal dan dapat berupa quick wins untuk penataan organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan penataan budaya kerja aparatur.
Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi harus disertai monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik dan melembaga. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi bila terjadi kesalahan/penyimpangan arah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Selain itu, perlu juga didukung oleh beberapa hal berikut:
  • Penerapan  manajemen perubahan (change management) agar tidak terjadi hambatan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi;
  • Penerapan knowledge management agar terjadi suatu proses pembelajaran dan tukar pengalaman yang efektif bagi K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi;
  • Penegakan hukum agar terwujud batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan masing-masing pihak.

Misi Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi memiliki beberapa misi sebagai berikut:
  • Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik;
  • Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan,  akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set  dan culture set;
  • Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif;
  • Mengelola sengketa administratif secara efektif dan efsien.

Tujuan Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, seperti yang dikemukakan pada tabel di bawah ini.

Sasaran reformasi birokrasi adalah:
  • Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  • Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat;
  • Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
  
Prinsip-prinsip Reformasi Birokrasi
Beberapa prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi dapat dikemukakan sebagai berikut.
  • Outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang  mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir  (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.
  • Terukur. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan  outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya.
  • Efisien. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan  outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efsien dan profesional.
  • Efektif. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.
  • Realistik. Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal.
  • Konsisten. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.
  • Sinergi. Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antarkegiatan di setiap instansi.
  • Inovatif. Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan  best practices  untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. 
  • Kepatuhan. Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  • Dimonitor. Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.

Sasaran Lima Tahunan Reformasi Birokrasi
  • Sasaran lima tahun pertama (2010-2014). Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta  meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
  • Sasaran lima tahun kedua (2015-2019). Selain implementasi hasil-hasil yang sudah dicapai pada lima tahun pertama, pada lima tahun kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama. 
  • Sasaran lima tahun ketiga (2020-2024). Pada periode lima tahun ketiga, reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada lima tahun kedua.
Pada tahun 2025, pencapaian sasaran-sasaran di atas secara bertahap, diharapkan telah menghasilkan  governance yang berkualitas. Semakin baik kualitas governance, semakin baik pula hasil pembangunan (development outcomes) yang ditandai dengan:
  • Tidak ada korupsi;
  • Tidak ada pelanggaran;
  • APBN dan APBD  baik;
  • Semua program selesai dengan baik;
  • Semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat;
  • Komunikasi dengan publik baik;
  • Penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif;
  • Penerapan  reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan; 
  • Hasil pembangunan nyata (pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, dan pro pengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat).

Strategi Pelaksanaan
Langkah-langkah strategi pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi tingkat pelaksanaan, pelaksana, program, dan metode pelaksanaan. Birokrasi pemerintah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan profesional. Birokrasi harus sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bekerja untuk memberikan pelayanan prima, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semangat inilah yang mendasari pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah di Indonesia.
Pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah harus mampu mendorong perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kinerja akan meningkat apabila ada motivasi yang kuat secara keseluruhan, baik di pusat maupun di daerah. Motivasi akan muncul jika setiap program/kegiatan yang dilaksanakan  menghasilkan keluaran (output), nilai tambah (value added), hasil (outcome), dan manfaat (beneft) yang lebih baik dari tahun ke tahun, disertai dengan sistem reward dan  punishment yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Kunci Keberhasilan
Kunci keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi terletak pada beberapa hal berikut.
  • Komitmen Nasional. Komitmen nasional ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menegaskan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama, dan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
  • Penggerak Reformasi Birokrasi. Penggerak reformasi birokrasi secara nasional adalah Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Selanjutnya, secara instansional penggerak reformasi birokrasi adalah pimpinan K/L dan Pemda. Penggerak  reformasi birokrasi   harus berdaya tahan tinggi terhadap tantangan dan hambatan serta memiliki daya dobrak dan kreativitas untuk melaksanakan program-program terobosan, baik secara horisontal maupun vertikal.
  • Muatan Reformasi Birokrasi. Muatan reformasi birokrasi dirumuskan dalam GDRB 2010-2025,  RMRB 2010-2014, RMRB 2015-2019, dan RMRB 2020-2024. Pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan dengan penetapan prioritas K/L dan Pemda berdasarkan kepentingan strategis bagi negara dan manfaat bagi masyarakat.

Proses Reformasi Birokrasi
Proses reformasi birokrasi dilakukan dengan cara:
  • Desentralisasi. Setiap K/L dan Pemda melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi dengan mengacu kepada GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, sesuai dengan karakteristik masing-masing institusi.
  • Serentak dan bertahap. Penyebarluasan pemahaman tentang GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, dilakukan secara serentak kepada seluruh K/L dan Pemda dalam rangka efektivitas pencapaian target sasaran pelaksanaan reformasi birokrasi. Setiap K/L dan Pemda memiliki karakteristik yang berbeda sehingga reformasi birokrasi dilakukan dengan titik awal dan kecepatan yang berbeda. Format yang sama diterapkan untuk K/L dan Pemda secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing K/L dan Pemda.
  • Koordinasi. Reformasi birokrasi dilakukan dengan langkah-langkah yang terkoordinasi secara nasional dengan acuan GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya. Reformasi birokrasi dikoordinasikan secara nasional oleh Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional, pelaksanaan sehari-hari dilaksanakan oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional, dan implementasi program-program dilaksanakan oleh K/L dan Pemda, serta dimonitor dan dievaluasi secara periodik, berkelanjutan, dan melembaga. Aparatur harus sadar bahwa reformasi birokrasi akan mengubah birokrasi pemerintah menjadi birokrasi yang kuat dan menjadi pemerintahan kelas dunia, yang mampu memberikan fasilitasi dan pelayanan publik yang prima dan bebas dari KKN. Untuk itu, reformasi birokrasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai  bidang. Kegiatan ekonomi akan semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin luas, akan tersedia basis penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai keberlanjutan  reformasi birokrasi dan pembangunan di bidang lainnya yang lebih luas.

Ket : Tulisan di atas merupakan hasil yang admin review dari sumber "Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025" untuk file lengkapnya bisa langsung di download DISINI!!!