Wednesday, May 30, 2012

Politik Pencitraan Dari Masa ke Masa


Politik pencitraan itu amat perlu dalam komunikasi politik hanya saja kita harus melihat pencitraan kaitannya dengan implikasi yang dialami masyarakat, respon yang timbul sehingga menjadi bagian dari pemikiran, gairah dan tindakan-tindakan politik di kalangan masyarakat umum. Dalam sejarah modern Indonesia politik pencitraan dilakukan dilakukan oleh tiga pemimpin : Sukarno, Suharto dan SBY. Masing-masing memiliki kategori dan tujuan pencitraannya.
Pencitraan Gairah Revolusi Sukarno
Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Mangkanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat Turki.
Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”.
Pakaian berpotongan safari tanpa pangkat mulai ditinggalkan Sukarno di tahun 1959, ketika Sukarno harus berhadapan pada alam politik baru yaitu : “Mengantisipasi Politik Intervensi Modal Asing” yang sudah disiapkan Ike Eisenhower dalam melakukan okupasi politik terhadap Indonesia apalagi setelah keberhasilan Sukarno merebut Irian Barat, panasnya politik di Vietnam Selatan yang bakal merambat ke Indonesia dan berakibat pada perpecahan wilayah serta tindakan ofensif sekutu Inggris disekitaran wilayah Indonesia.
Sukarno melihat hanya ada tiga motor dalam melakukan pemikiran-pemikiran revolusi, yaitu : Dirinya sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan ide-ide revolusi (yang dimulai dari “Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita” sampai pada Manipol Usdek) –disini ia bertindak sebagai mesin ide, lalu massa rakyat disini Sukarno mengambil massa militan dari PKI yang kemudian dilambangkan dalam peci hitamnya dan motor ketiga adalah Militer, Sukarno memakai baju bergaya militer dengan bintang lima dan tongkat komando untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dalam militer, semua kekuatan itu berkumpul di dalam dirinya dengan tujuan besar : “Membebaskan Indonesia dari Politik Intervensi Modal Asing” – Hitung-hitungan Sukarno setelah politik berdikari Indonesia sukses maka Pemilu bisa dilangsungkan sekitar tahun 1975, “Pemilu hanya bisa dilangsungkan ketika rakyat sudah menyadari bahwa “Berdikari” adalah sumber dari segala sumber kesadaran dalam berpolitik. Disini kemudian Sukarno melakukan pencitraan terus menerus untuk menggenjot alam bawah sadar keberanian rakyat Indonesia untuk mempertahankan hak-hak atas modal bangsa (Sumber daya alam, wilayah dan penduduk).

Pencitraan Suharto Untuk Menutup-nutupi Kekerasan Politik
Pencitraan Suharto adalah Pencitraan yang bertujuan untuk menutup-nutupi “Kekerasan Politik dan Pemerintahan Junta Militer yang melingkari dirinya”. Ia menolak memakai baju-baju militer, baju-baju Jenderal resmi untuk membuat kesan Indonesia bukan negara neofasisme, bukan negara yang dipimpin oleh sebarisan Junta Militer.
Secara pribadi Suharto paralel dengan pencitraan, ia memang pendiam dan santun, ia tidak banyak berbicara. Pencitraan ini membuat situasi kekuasaannya menjadi angker dan kekuasaan yang angker secara tidak langsung menjadi motor yang efektif dalam menjalankan kekuasaan baik secara illegal maupun legal.

Pencitraan Bergaya Tontonan
Kepemimpinan SBY lahir dari masyarakat yang gemar menonton, bukan lahir dari masyarakat yang berpikir secara substantif. Doktrinasi masyarakat tontonan ini adalah akibat politik represif Orde Baru, dalam politik orde baru masyarakat tidak pernah sebagai pihak yang partisipatif, tapi sebagai pihak yang tidak terlibat dalam situasi politik keseharian, politik dan kebijakannya adalah milik kaum dewa yang berarti : Pejabat bersafari.
Dalam suasana yang frustrasi ini di tahun 1980-1998 masyarakat melarikan diri ke dalam dunia tontonan, ia bisa merasa jadi bagian ketika ia menonton sesuatu, pernah masyarakat melibatkan secara aktif dalam situasi politik keseharian tapi itu pada saat kerusuhan besar 1998, tapi selepas reformasi 1998 masyarakat kembali menjadi penonton.
Ketika masyarakat gemar menonton, maka yang muncul adalah tingkah politisi dan pejabat yang harus bisa melakukan akting politik di depan masyarakat, akting politik inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai : Bahasa Komunikasi Politik Pencitraan. SBY melakukan akting politik dengan lulus S-3 pada IPB untuk menghantam Megawati yang drop out dari IPB, tapi lucunya kemudian SBY dibodohi oleh orang yang mengenalkan padi super toy dan blue energy. SBY melakukan pencitraan politik berlebihan pada iklan yang mirip Mie Instan sehingga memancing politisi lain mencitrakan diri. Apabila dulu alat komunikasi politik adalah melakukan pendidikan kader-kader yang dilakukan agen-agen politik, atau di masa Orde Baru melakukan penataran P4 untuk melakukan doktrinasi atas pembenaran-pembenaran kekuasaan Suharto, maka di masa SBY komunikasi politik dan pencitraannya dilakukan dengan cara amat instan yaitu dengan masang spanduk, baliho-baliho dan jargon-jargon yang tak jelas, penyakit ini kemudian meluas menjadi penyakit pencitraan yang diidap para penguasa.
Korban politik pencitraan yang merusak ini ternyata juga dialami Dahlan Iskan entah ia sadar atau tidak, pada awalnya ia mempesona rakyat dengan kemampuannya bertahan hidup, rakyat terpesona dengan daya juangnya yang keras, ia hanya lulusan SMA tapi dengan kemauan baja ia berhasil memiliki perusahaan media nasional terbesar kedua setelah KOMPAS. Pada titik ini Dahlan Iskan menemui otensitasnya, lalu Dahlan Iskan menjabat direksi PLN, belum ditemukan titik penting dalam kerjanya di PLN ia kemudian didapuk menjadi menteri BUMN. Lalu Dahlan Iskan melakukan sidak dan sampai-sampai ingin naik ke atap kereta rel listrik di depan wartawan. Apa yang ia lakukan secara sadar atau tak sadar adalah bagian pencitraan, rakyat senang dan bertepuk tangan melihat kabar itu dan membanding-bandingkan dengan pejabat lain yang tak memiliki daya sensitifitasnya terhadap kesusahan rakyat. – Padahal keinginan naik atap kereta rel listrik ini adalah bentuk pelecehan terhadap hukum transportasi PJKA dan Lalu Lintas Publik-.
Dalam politik pencitraan substansi tidak lagi menjadi penting, karena ketika Dahlan Iskan melakukan sidak, kesusahan dialami ribuan orang, kebijakan terhadap sistem lalu lintas dengan mengorbankan masyarakat pengguna KRL jadi tak terlihat, padahal kebijakan ini amat tak adil bagi kepentingan masyarakat umum.
Ciri umum dalam politik pencitraan bergaya SBY adalah “Mengaburkan substansi masalah ke dalam pesona-pesona personal sehingga masalah itu tidak dapat terurai dengan jelas orang dikaburkan pada titik penting persoalan”.
Semoga di tahun 2014 Politik Pencitraan berdasarkan tontonan dan artifisial-artifisial ini sudah bisa dihentikan. Sayang bila bangsa besar ini larut ke dalam dunia artifisial politik tanpa ujung.

Friday, May 25, 2012

Praktik Good Governance Dalam Manajemen Kota Solo

Solo merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota Solo berhasil mentransformasikan dirinya menjadi kota wisata yang dikenal hingga tingkat internasional. Hal ini tidak luput dari upaya Pemerintah Kota Solo dalam menciptakan branding Kota Solo sebagai kota wisata budaya yang menarik dan nyaman untuk dikunjungi. Berbagai perbaikan dilakukan oleh pemerintah Kota Solo, baik secara fisik maupun nonfisik. Perbaikan secara fisik dilakukan dengan menata Kota Solo sehingga rapi, indah, dan nyaman serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana transportasi dan akomodasi yang memadai. Upaya perbaikan secara fisik ini tentu tidak dapa dilakukan tanpa adanya perbaikan secara nonfisik, yaitu dari segi kapasitas SDM pemerintah dan masyarakat Kota Solo karena pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang berperan dalam menciptakan Kota Solo yang berhasil tersebut.
Beberapa sumber dan penelitian menyebutkan bahwa peran Joko Widodo sebagai Walikota Solo sangat besar dalam transformasi Kota Solo seperti saat ini. Prinsip kepemerintahan yang diterapkan oleh Walikota Solo ini sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang tumbuh di Kota Solo. Pendekatan secara personal, membaur dengan masyarakat, memberikan keteladanan tehadap jajaran pemerintahan, dan memulai tindakan dari hal-hal kecil yang memberi dampak langsung kepada masyrakat dinilai tepat dilakukan di Kota Solo. Komunikasi yang terus menerus dan partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah secara terbuka dinilai berhasil dalam menciptakan keharmonisan antar golongan di Kota Solo. Relokasi PKL secara besar-besaran yang di daerah lains ering mengalami kesulitan bahkan tidak jarang berujung pada konflik, berhasil dilakukan di Kota Solo dengan damai.
Prinsip keteladanan adalah hal utama yang dianut oleh pemerintah Kota Solo. Keteladanan ini dimulai dari pimpinan tertinggi Kota Solo, yaitu Walikota, kemudian diikuti oleh jajaran pemerintah yang lain kemudian diikuti oleh masyarakat secara luas. Peningkaan kapasitas masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan kota yang bersih dan nyaman dihuni serta pengetahuan akan pentingnya melayani wisatawan yang datang, dilakukan secara bertahap. Pendelegasian tugas kepada masyarakat sudah mulai dilakukan, diantaranya dengan membentuk paguyuban-paguyuban PKL, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya untuk menjaga kestabilan ekonomi mikro (agar jumlahnya tidak berlebihan) serta meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi mikro.
Beberapa prinsip Good Governance yang tampak kuat di Kota Solo adalah responsiveness, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan dan keadilan, serta partisipasi. Responsiveness terlihat dari adanya kepekaan dan respon yang tanggap terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat dibebaskan untuk melakukan pengaduan secara langsung kepada pemerintah.
Transparansi dicirikan dengan adanya keterbukaan dari pemerintah mengenai proses pembangunan yang terjadi di Kota Solo melalui bebrgai media. Akuntabilitas dilihat dari adanya pertanggungjawaban di dalam pemerintah, baik secara vertikal maupun horizontal, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan yang nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kesetaraan dan keadilan dilihat dari perlakuan yang sama kepada pejabat pemerintah maupun berbagai strata dalam masyarakat. Hal ini dilihat dari pelayanan yang sama diberikan untuk smeua gologan, salah satunya adalah kebebasan untuk melakukan pengaduan kepada pemerintah kota ataupun kepada Walikota sendiri dan tetap mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya tanpa membeda-bedakan strata.
Kesederhanaan Walikota Solo juga menjadi suatu keteladanan bagi jajaran pemerintah yang lain dan menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap kepemimpinannya. Partisipasi bermula dari adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dalam kasus relokasi PKL Pemerintah Kota Solo melakukan komunikasi secara terus menerus sampai PKL-PKL tersebut secara sukarela bersedia untuk di relokasi. Selanjutnya, pihak PKL dilibatkan dalam menyelenggarakan paguyuban untuk mengontrol dan menjaga kepentingan mereka. Antisipasi secara langsung dalam pembangunan memang masih belum terlihat, pihak pemerintah masih mendominasi berbagai pembangunan di Kota Solo. Pihak sawasta pun masih belum berperan secara signifikan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, swasta hanya berperan dalam mengerakkan ekonomi Kota Solo.


SUMBER

Good Governance Sebagai Proses Dalam Manajemen Perkotaan

Pendahuluan
Siklus manajemen perkotaan seperti hal nya perencanaan melalui beberapa tahapan, yaitu input, poses, output, dan outcome. Makalah ini akan membahas mengenai proses dalam manajemen perkotaan, yaitu konsep dan praktek Good Governance dalam manajemen kota di Indonesia. Konsep good governance merupakan salah satu konsep kunci dalam manajemen perkotaan karena implemetasi dari perencanaan kota melibatkan semua aktor, lintas sektor dan lintas disiplin. Dengan demikian, semua komponen dan aktor dalam lingkungan perkotaan terlibat dalam implemenatsi dari perencanaan kota atau manajemen perkotaan, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan semua komponen ini harus dipayungi oleh dasar dan konsep yang kuat sehingga menghasilkan hubungan yang harmonis satu dengan yang lainnya. Makalah ini akan membahas mengeai konsep good governance ditinjau dari teori-teori yang ada dan praktiknya dalam manajemen Kota Solo.

Konsep Good Governance
Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD 45) maupun tidak berfungsi dengan baiknya lembaga teringgi dan lembaga tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial. Kemudian dari sini lah berkembang sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good Governance.
Munculnya istilah governance mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur diluar pemerintah. Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 dimensi:
  1. Dimensi actor. Governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta baik yang berasal dari sektor publik maupun privat yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Adapun governmentdicirikan dengan sangat sedikit dan terbatasnya jumlah peserta dalam proses pengaturan kebijakan tersebut, faktor yang terlibat pun biasanya merupakan badan-badan (lembaga) pemerintahan.
  2. Dimensi fungsi. Governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi adanya kerjasama dalam pembuatan kebijakan antara aktor-aktor yang terlibat sehingga issue-issue kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih sempit. Adapun government  dicirikan dengan sedikitnya konsultasi, tidak adanya kerjasama antar aktor dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan luasnya issue kebijakan yang dihasilkan.
  3. Dimensi struktur. Governance dicirikan dengan adanya batas-batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka selain keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Batas-batas yang didefinisikan secara fungsional disini berarti pertimbangan pengaturan kebijakan didasarkan atas kebutuhan fungsional. Adapun government mendefinisikan batas-batas berdasarkan kewilayahan dan bersifat tertutup selain tentu saja keanggotaannya yang tidak sukarela, artinya untuk dapat masuk sebagai struktur harus merupakan anggota dari organisasi sector publik.
  4. Dimensi konvensi interaksi. Governancedicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan.Government dicirikan dengan adanya hirarkhi kewenangan sehingga pola hubungan yang terjadi lebih banyak bersifat konflik dan dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.
  5. Dimensi distribusi kekuasaan. Governancedicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Adapun government dicirikan dengan adanya dominasi negara yang dalam banyak hal tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat serta tidak adanya keseimbangan antar actor yang terlibat.
Adapun prinsip-prinsip Good Governance menurut LAN (Lembaga AdministrasiNegara) adalah sebagai berikut :
  1. Partcipation.Semua warga negara berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, langsung maupun melalui DPR; dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif
  2. Rule of law.Proses mewujudkan cita GG harus diimbangi dengan komitmen untuk penegakan hukum (gakkum), dengan karakter : (a) supremasi hukum, (b) kepastian hukum, (c) hokum yang responsif, (d) gakkum yang konsisten dan non-diskriminatif, dan (e) independensi peradilan.
  3. Transparency.Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk memberantas KKN diperlukan keterbukaan dalam transaksi dan pengelolaan keuangan negara, serta pengelolaan sektor-sektor publik.
  4. Responsiveness.Peka dan cepat tanggap terhadap persoalan masyarakat. Pemerintah harus memiliki etik individual, dan etik sosial. Dalam merumuskan kebijakan pembangunan sosial, pemerintah harus memperhatikan karakteristik kultural, dan perlakuan yang humanis pada masyarakat.
  5. Consensus orientation. Pengambilan keputusan melalui musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama.
  6. Kesetaraan dan Keadilan. Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
  7. Effectiveness and efficiency. Berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Pemerintah harus mampu menyusun perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyayarakat, rasional, dan terukur.
  8. Accountability.Pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberikan kewenangan mengurus kepentingannya. Ada akuntabilitas vertikal (pemegang kekuasaan dengan rakyat; pemerintah dengan warga negara; pejabat dengan pejabat di atasnya), dan akuntabilitas  horizontal (pemegang jabatan publik dengan  lembaga setara; profesi setara).
  9. Strategic vision.Pandangan strategis untuk menghadapi masyarakat oleh pemimpin dan publik. Hal ini penting, karena setiap bangsa perlu memiliki sensitivitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan akibat kemajuan teknologi, agar dapat merumuskan berbagai kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi permasalahan.
Dalam governance ada 3 komponen yang sejajar, setara, saling mengontrol, untuk menghindari terjadinya eksploitasi satu terhadap lainnya, yaitu state (negara/pemerintah), society (masyarakat), dan pihak swasta. Yang termasuk ke dalam state adalah negara termasuk lembaga-lembaga sekor publik dan lembaga-lembaga sektor publik. Swasta adalah perusahaan swasta yang bergerak diberbagai sektor informal lain dipasar, mempunyai pengaruh terhadap kewajiban sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan itu sendiri. Adapun society adalah  individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan lain-lain.
Good governance merupakan sebuah konsep yang netral, untuk menggambarkan pola-pola relasi antara negara, masyarakat, dan pasar. GG dibagi menjadi empat model, berdasarkan dua kriteria utama, yaitu basis politik (negara atau masyarakat); dan basis ekonomi (pasar atau nonpasar).
Libertarian bercirikan system ekonomi pasar dan system politik berbasis masyarakat. Contohnya adalah Amerika Utara dan Eropa Barat. Coporatist ditandai oleh system politik yang dikendalikan oleh negara (otoriter-monosentris), tetapi dari sisi ekonomi berbasis pada pasar. Contohnya adalah Singapura. Communitarian ditandai oleh system politik yang berbasis masyarakat dan sistem ekonomi yang berbasis nonpasar, terutama komunitas. Contoh yang menerapkan sistem ini adalah pemerintahan dan masyarakat di Bali dan Sumatera Barat. Model ini bisa disebut demokrasi sosialis. Statis (totaliter) ditandai oleh system politik yang dikendalikan negara secara total dan system ekonomi nonpasar, terutama negara. Dalam model ini negara adalah segala-galanya yang mengandalikan secara total dan monosentris terhadap proses politik dan mode of production.
Model GG yang diterapkan di suatu negara akan mempengaruhi penyelenggaraan manajemen perkotaan di negara tersebut karena manajemen perkotaan juga menyangkut kewenangan pemerintah daerah sebagai eksekutor sekaligus regulator, dan menyangkut pula keterlibatan masyarakat dan pasar (swasta) dalam implmentasinya. Good governance akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan manajemen perkotaan melalui berbagai proses di dalamnya, termasuk proses birokrasi, partisipasi masyarakat, dan kerjasama dengan dunia swasta. Konsep good governance merupakan konsep yang ideal yang dalam pelaksanaannya sulit dilakukan. GG membutuhkan komitmen kuat, daya tahan dan waktu yang tidak singkat, diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai kepemerintahan yang baik pada seluruh stakeholder. Perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimistik yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indicator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator quality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bias juga secara sektoral (produksi tertentu), peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat danpenyebaran pendidikan). Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indicator keberhasilan atau kegagalan dilakukanantara lain mengenai :
  • Pelayanan publik UU No.I/1995
  • Koordinasi sector public dan swasta (terutama dari keluhan sector swasta/masyarakat )
  • Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000.
  • ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu.
  • Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran/indikator kualitas produk.
  • MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara.
  • Audit Report, Neraca Untung Rugi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.
  • Beberapa manfaat utama diterapkannya konsep Good Governance adalah sebagai berikut.
  • Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi pemerintahan
  • Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, professional, dan akuntabel
  • Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat
  • Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah

Wednesday, May 23, 2012

Inspiratif : Penggusuran Damai PKL Ala Satpol PP Solo


Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Veteran, Jumat 13 Desember 2012. Sekitar 104 PKL dipindahkan ke Pasar Notoharjo dan Pasal Gading, Solo.
Tak ada pemandangan adu jotos antara petugas dengan para pedagang -seperti penggusuran-penggusuran di tempat lainnya. Para petugas juga tak membawa pentungan, pedagang yang digusur pun tak lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dan barang dagangannya. Bahkan, tak ada acara adu mulut yang seolah sudah menjadi ritual wajib dalam berbagai penggusuran oleh Satpol PP di berbagai tempat.
Yang terlihat dalam penertiban PKL di Solo ini adalah keramahan petugas dan kerelaan dari para pedagang untuk meninggalkan tempat yang telah mereka pakai sejak 1994. Satpol PP yang selama ini identik dengan kekerasan tampak berbaur dengan para pedagang, membantu mengemas dan mengangkut barang milik pedagang. Nir-kekerasan.
Tak hanya ramah, petugas juga memperlakukan para pedagang dengan istimewa. Para PKL dikirab, diangkut dengan empat kendaraan bak terbuka milik Satpol PP. Selain itu, mereka diperlakukan layaknya pejabat, dikawal dengan mobil patroli lalu lintas dan kendaraan roda dua milik DLLAJ yang lengkap dengan sirine.
Salah satu PKL yang menjual pakaian bekas di Jalan Veteran Solo, Sri Handayani mengaku senang dengan perlakuan ini. Dia mengatakan senang dan tidak keberatan. "Sebelumnya kami diberi pemahaman tentang ketertiban oleh Pemkot, terus diminta pindah ke Pasar Notoharjo untuk PKL klithikan dan PKL pakaian bekas ke Pasar Gading," kata dia kepadaVIVAnews.com.
Tak hanya menerima penggusuran, Handayani mengaku senang dengan relokasi ini. Karena, pemerintah Kota Solo memberikan tempat baru untuk para pedagang. Bahkan, lapak baru di Pasar Gading diberikan secara cuma-cuma dan tidak dipungut biaya. Selain itu, kondisinya jauh lebih bagus. "Semoga ditempat baru nanti laris dagangannya," harapnya.

Sejarah Kelam
Diakui atau tidak, selama ini Satpol PP sering diidentikkan dengan kekerasan. Ketegangan dan bentrokan yang melibatkan Satpol PP dengan warga bisa dibilang sudah tak terhitung jumlahnya. Tak jarang, korban berjatuhan, luka-luka hingga meninggal dunia.
Sejarah kelam bentrok Satpol PP dengan warga yang mungkin tak kan terlupakan adalah peristiwa penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada April 2010 yang lalu. Saat itu, Satpol PP terlibat bentrokan dengan ahli waris dan masyarakat setempat yang menolak penggusuran makam yang 'dikeramatkan' itu.
Berdasar hasil investigasi PMI, peristiwa itu memakan korban sebanyak 231 orang. Korban meninggal dunia tiga orang, luka berat termasuk di dalamnya cacat fungsi 26 orang, luka sedang sebanyak 35 orang, dan luka ringan sebanyak 167 orang.
Selang tiga bulan kemudian, atau Juli 2010, Satpol PP juga terlibat bentrokan dengan di Desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kali ini, Satpol PP justru masuk dalam konflik yang berbau agama. Satpol PP berhadapan dengan jamaah Ahmadiyah. 
Peristiwa itu berawal penyegelan Mesjid An-Nur milik jamaah Ahmadiyah. Kericuhan itu sudah yang kesekian kali terjadi. Bermula saat warga sekitar (non Ahmadiyah) menuntut agar jemaah Ahmadiyah tidak lagi menjalankan segala aktivitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Jamaah Ahmadiyah yang merasa terancam sampai meminta perlindungan polisi.
Selain dua peristiwa-peristiwa itu, masih banyak lagi bentrokan-bentrokan yang menghadapkan Satpol PP dengan warga. Baik dengan skala kecil maupun besar. Namun, bentrokan berdarah itu tidak berlaku untuk Satpol PP di Kota Solo.

Trik
Kepala Satpol PP Kota Solo, Tri Puguh Priyadi mengatakan pasukannya tak pernah memandang remeh para pedagang kaki lima itu. Para pedagang itu selalu ditempatkan sebagai saudara, sahabat, dan mitra kerja, bukan sebagai musuh yang harus dilawan. "Intinya, penertiban petugas Satpol PP itu nguwongke (memanusiakan manusia), jadi tidak ada kekerasan," kata Puguh.
Pendekatan kepada para pedagang adalah kunci sukses yang sangat berperan. Menurut dia, Satpol PP dan pemerintah Solo selalu mencari tahu permasalahan para pedagang itu. Langkah persuasi selalu dikedepankan. "Pertama kita beri tahu mereka. Kita persuasi, kalau belum ada titik temu, kita ulur lagi," ujar Puguh. "Negosiasi lagi dengan cara yang menentramkan para pedagang hingga ketemu solusinya."
Puguh juga mengatakan, pasukannya telah menyingkirkan jauh-jauh pentungan dan tameng yang selama ini identik dengan Satpol PP. Tujuannya satu, menghindarkan mereka dari tindakan represif. Pentungan dan tameng mereka telah digudangkan oleh Sang Walikota, Joko Widodo. "Kita sengaja menghindari alat-alat yang merujuk ke arah represif," katanya.
Seperti halnya penertiban PKL di jalan Veteran itu. Pasukan Satpol PP membaur dengan para pedagang. Mereka membantu para pedagang memindahkan barang-barangnya ke lokasi baru yang telah disiapkan. "Kita dari pihak Satpol PP menawarkan kendaraan kepada pedagang untuk mengangkut barangnya. Untuk mengangkut barang milik pedagang di Veteran, kita kerahkan 4 truk, sampai bolak-balik 6 kali," ujar Puguh.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo, Subagiyo mengatakan proses relokasi humanis ini memang tak mudah dilakukan. Dibutuhkan waktu lama untuk proses ini, yaitu sekitar 6 bulan. Langkah pertama adalah memberikan pemahaman tentang keberadaan PKL di jalur hijau tersebut yang melanggar aturan.
"Setelah diberikan pemahaman dan pengertian, kami beri solusi dengan memberikan lokasi tempat berjualan yang baru di Pasar Notoharjo dan Pasar Gading. Semua shelter PKL digratiskan," jelas Subagiyo.

Solusi Konkrit
Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Gotong Royong Veteran, Sriyanto menyebutkan dari 104 PKL yang direlokasi itu terdiri dari 30 pedagang pakaian bekas dan 74 pedagang klithikan onderdil. "Kami siap direlokasi di tempat yang baru. Hanya saja kami meminta supaya fasilitas pelengkap seperti toilet yang rusak, jalan kurang bagus dan listrik segera diperbaiki," ujarnya.
Di tempat baru tersebut, diakui Sriyanto, untuk sementara waktu omzet penjualan akan turun, mengingat ditempat baru ini harus mulai dari nol lagi. "Kami meminta kepada pemerintah untuk promosikan tempat relokasi PKL ini supaya tidak terpuruk," papar dia.
Sebagai Kadis Pengelolaan Pasar, Subagiyo memahami keluhan para pedagang tersebut. Namun dia meminta para pedagang yang direlokasi tak perlu khawatir. Pemerintah, kata dia, telah mengerahkan berbagai upaya untuk menyosialisasikan tempat baru itu, bahkan promosi melalui media. Selain itu, pemerintah kota juga memasang spanduk di titik strategis supaya lokasi relokasi PKL yang baru diketahui oleh masyarakat umum.
"Itulah cara-cara untuk promosikan tempat PKL yang baru. Kita akan melaksanakan berbagai even di lokasi itu supaya masyarakat tahu keberadaan PKL itu," tutur dia.
Terkait keluhan fasilitas pelengkap dari pedagang, dia menjawab bahwa semua fasilitas telah diperbaiki. "Mulai hari ini fasilitas sudah beres. Listrik sudah hidup, WC sudah diperbaiki," tegasnya.

Senjata Peluit
Konsep Satpol PP yang humanis itu memang diinginkan oleh Walikota Solo, Joko Widodo. Pria yang akrab disapa Jokowi itu membuat langkah berani dengan menggudangkan tameng dan pentungan yang selama ini menjadi senjata Satpol PP. Menurut dia, pasukan ini hanya perlu dipersenjatai dengan peluit.
Jokowi menginginkan setiap kali Satpol PP Solo beroperasi maupun melakukan relokasi terhadap hunian liar penduduk maupun pedagang kaki lima liar, selalu mengedepankan pendekatan komunitas, kelompok, dan personal. "Kami selalu intensif melakukan persuasi dengan warga sebelum melakukan penggusuran. Kami mencari langkah solusi terbaik. Kadang nanti hasilnya mereka dengan kesadaran sendiri akan pindah," kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Hasilnya, berbagai penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Solo memang tak menggunakan kekerasan. Antara lain: penggusuran hunian liar di Balekambang, Tirtonadi, Kali Gajah Putih, Kalianyar, dan bantaran Bengawan Solo. Bahkan, ada juga penggusuran ribuan pedagang kaki lima di Banjarsari.
Saat menghadiri acara 'Deklarasi Nasional Menuju Indonesia Bangkit: Birokrasi Bersih dan Melayani' di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis, 8 Desember 2011 yang lalu, Jokowi mengaku prihatin dengan berita-berita kekerasan aparat saat melakukan penggusuran PKL di kota tertentu. 
Dia pun memperlihatkan gambar traktor besar yang sedang meruntuhkan bangunan liar, serta penertiban PKL oleh aparat Satpol PP. "Ini jelas bukan di Solo. Di kota saya tidak ada yang seperti ini. Zaman seperti ini, kok, masih ada yang main gebuk-gebukan," ucapnya sambil tersenyum.
Dia mengatakan penggusuran PKL dengan menggunakan kekerasan fisik, bukanlah bentuk pelayanan pemerintah. "Tugas kita ini sebagai pemerintah adalah melindungi rakyat, melayani kepentingan umum, pimpinan-pimpinan sudah lupa ini. Ini kekeliruan yang harus sudah diubah," ujarnya.
Dia mengisahkan, dulu di Solo, kurang lebih sosok yang dipilih sebagai Kepala Satpol PP sama seperti di kota-kota besar lainnya. Tinggi besar, berwajah seram, berkumis lebat. Namun, Jokowi berani mengubah ini semua demi pelayanan yang lebih baik bagi rakyatnya.
"Sekarang lihat, Satpol PP saya wanita. Pakai kebaya. Cantik 'kan?" kata Jokowi sambil menunjukkan foto pasukan Satpol PP Kota Solo pilihannya.

Wednesday, May 9, 2012

Teori Manajemen Pelayanan

Momen Kritis Pelayanan / Moment of Truth  (Albrecht & Bradford ,1990)
Ia mendefinisikannya sebagai kontak yang terjadi antara konsumen dengan setiap aspek organisasi yang akan membentuk opini konsumen tentang kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut. Untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, setiap organisasi harus mengidentifikasikan dan mengelola momen kritis pelayanan tersebut secara baik. Dengan kata lain, harus ada kesesuaian/kompatibilitas antara 3 faktor dalam pengelolaan momen kritis pelayanan; yaitu:
  • Konteks pelayanan (service context)
  • Referensi yang dimiliki konsumen (customer’s frame of reference)
  • Referensi yang dimiliki anggota organisasi penyelenggara pelayanan (employee’s frame of reference)
Bagan Teori Momen Kritis Pelayanan

Lingkaran Pelayanan / The Cycles of Service  (Albrecht & Bradford ,1990)
Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima, pandangan produsen dan konsumen harus sama. Hal ini sulit diwujudkan karena biasanya organisasi penyelenggara sudah merumuskan sistem dan prosedur pelayanan. Untuk mengatasi hal tersebut, Albrecht & Bradford, merumuskan konsep lingkaran pelayanan yang berarti serangkaian momen kritis pelayanan yang dialami oleh konsumen ketika ia memanfaatkan jasa layanan tersebut.
Dari model tersebut terlihat bahwa, bagi konsumen hampir setiap detik adalah momen kritis pelayanan yang mungkin tidak disadari oleh penyelenggara pelayanan dan orang-orang yang ada di dalamnya. Konsep lingkaran pelayanan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi momen-momen kritis pelayanan yang harus dikelola secara profesional.
Contoh Lingkaran Pelayanan

Teori Exit & Voice (Albert Hirschman)
Menurut teori ini, kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme  exit dan voice. Mekanisme exit  mengandung arti bahwa jika  pelayanan publik tidak berkualitas, maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik lain yang disukainya. Mekanisme voiceberarti ada kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.
Penghambat mekanisme exit:
  • Kekuatan pemaksa dari negara
  • Tidak tersedianya lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif
  • Tidak tersedianya biaya untuk menciptakan lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif
Penghambat mekanisme voice:
  • Pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang ada
  • Aksesbilitas dan biaya untuk mempergunakan mekanisme tersebut
Dengan demikian untuk meningkatkan pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara klien dengan lembaga penyelenggara layanan. Kesetaraan posisi tawar dapat dicapai dengan:
  • Memberdayakan klien
  • Mengontrol kewenangan/kekuasaan lembaga penyelenggara pelayanan
Keseimbangan posisi tawar antara klien dengan lembaga penyelenggara pelayanan dapat dicapai dengan menerapkan konsep-konsep (salah satu atau beberapa konsep yang sesuai dengan karakteristik pelayanan umum yang diselenggarakan) sebagai berikut:
  • Customer’s charter:
  • Customer service standard
  • Customer redress
  • Quality guarantees
  • Quality inspectors
  • Customer complaint systems
  • Ombudsmen
  • Competitive public choice systems
  • Vouchers and reimbursement programs
  • Customer information systems and brokers
  • Competitive bidding
  • Competitive benchmarking
  • Privatization
  • Sistem penggajian berdasarkan prestasi
  • Sistem kerja berdasarkan kontrak
  • Sistem Evaluasi kerja tiga ratus enam puluh derajat (3600) 

Model Segitiga Pelayanan (The Service Triangle)
Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pelayanan yang sangat berhasil memiliki tiga kesamaan, yaitu:
strategi pelayanan yang tersusun secara baik
orang di lini depan berorientasi pada pelanggan
sistem pelayanan yang ramah.
Setiap organiisasi penyelenggara pelayanan harus mengelola tiga faktor tersebut untuk mewujudkan kepuasan pelanggan. Interaksi ketiga faktor tersebut dengan pelanggan akan menentukan keberhasilan manajemen dan kinerja pelayanan organisasi.
Model Segitiga Pelayanan

Model Gap (Zeithaml, Parasuraman & Berry, 1990)
Ketiga pakar ini mengemukakan bahwa manajemen pelayanan yang baiktidak dapat terwujud karena adanya 5 (lima) gap, yaitu :
  1. Gap 1 (gap persepsi manajemen): terjadi apabila terdapat perbedaan antara  konsumen dengan persepsi manajemen mengenai harapan-harapan konsumen. Exp: harapan konsumen mendapatkan pelayanan prima (harga tidak mjd soal); sebaliknya manajemen mempunyai persepsi bahwa konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah.
  2. Gap 2 (persepsi kualitas) : terjadi apabila terdapat perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan.
  3. Gap 3 (penyelenggaraan pelayanan) : terjadi jika pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi yang telah dirumuskan.
  4. Gap 4 (komunikasi pasar) : terjadi akibat adanya perbedaan antara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen.
  5. Gap 5 (kualitas pelayanan) : terjadi karena pelayanan yang diharapkan konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima/dirasakan oleh konsumen.
Model GAP
Penyebab terjadinya GAP.
  • Gap 1: Kurang/tidak dimanfaatkannya riset pemasaran. Top down komunikasi yang kurang efektif. Terlalu banyak tingkatan manajemen.
  • Gap 2: Komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan yang lemah. Persepsi tentang fasibilitas yang tidak tepat. Standarisasi tugas yang tidak tepat. Perumusan tujuan yang kurang tepat.
  • Gap 3: Ketidak jelasan peran. Ada konflik peran. Karakteristik pekerja dengan pekerjaan yang tidak cocok. Karakteristik pekerjaan dengan teknologi yang tidak cocok. Sistem pengawasan yang tidak tepat; kontrol yang lemah. Tim yang tidak kompak.
  • Gap 4: Kurangnya komunikasi horizontal. Cenderung mengobral janji.
  • Gap 5: Akumulasi dari  empat  macam GAP tersebut.


Sumber Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Perbedaan Antara Organisasi Manajemen Publik (OMP) Dengan Organisasi Manajemen Swasta (OMS)


Organisasi publik mempunyai karakteristik yang berbeda dengan organisasi swasta, sekalipun ada beberapa bagian yang sama secara fungsional. Berikut tiga perbedaan yang bisa saya jelaskan, perbedaanya antara lain :
Sifat Organisasi
Organisasi publik sangat identik dengan organisasi pemerintahan dan orientasinya bersifat publik. Kemudian organisasi publik di dasarkan pada peraturan negara, dibiayai oleh keuangan negara, dan dioperasionalkan oleh aparat yang mempunyai jenjang karir tertentu,  organisasi publik memiliki ciri khusus dalam melaksanakan kebijakan publik, seperti: kontrol politik, akuntabilitas, pemakaian birokrasi pemerintah, pembuatan kebijakan pemerintah, dan penegakan hukum.
Sementara itu organisasi swasta lebih pada perseorangan yang mana kekuasaan tertinggi dari organisasi swasta dipegan oleh pendiri dari organisasi swasta tersebut, dalam pengambilan kebijakannnya organisasi swasta bebas dari intervensi pemerintah.
Contoh dalam pariwisata : Dinas Pariwisata (Publik), Hotel Ritz Charlton (Swasta)

Jabatan
Jabatan dalam organisasi publik dibatasi dalam jangka waktu tertentu atau periodik, karena pejabat yang menduduki suatu jabatan tertentu diangkat oleh pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu (partai politik).
Berbeda dengan jabatan di organisasi swasta bisa dikatakan relatif yaitu bisa sebentar bahkan bisa lama sekali, hal itu tergantung pada hasil capaian atau kinerja dari yang menjabat, apabila selama menjabat dia mampu memberikan kontribusi yang membawa organisasi ke arah yang maju, maka jabatannya akan dipertahannkan selama mungkin atau bisa naik jabatan. Sebaliknya jika yang menjabat tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan maka posisinya tidak akan bertahan lama, bisa jadi diturunkan pangkatnya bahkan dipecat.
Contoh dalam asuransi jiwa : Jasa Raharja (Publik), Prudential (Swasta)

Arah Organisasi
Berbicara tentang arah atau tujuan, organisasi publik didirikan bertujuan untuk melayani masyarakat secara luas untuk mensejahterakan kehidupan rakyat. Pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik rata-rata gratis, kecuali dalam beberapa hal. Pendapatan yang didapatkan oleh organisasi public biasanya berasal dari pajak, bea cukai, dan sebagiannya.
Kalau dari organisasi swasta tujuan organisasinya adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pelayanan dari organisasi swasta dipastikan berbayar. Pendapatan yang didapatkan berasal dari pelanggan, dan bisa juga dari saham.
Contoh pelayanan kesehatan : RSU Yogyakarta, RS PKU Muhammadiyah

Sunday, May 6, 2012

Koalisi Politik Dalam Islam

Pengertian
Pegertian koalisi dan aliansi di dalam Islam sepadan dengan istilah at-tahaluf as-siyasi  yang artinya secara etimologi dari kata al-hilfu yakni al-‘ahdu yaitu perjanjian dan sumpah, selanjutnya disebut at-tahaluf. Dalam hadits Nabi Shalallahu ‘allaihi wa sallam disebutkan :
Anas berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan perjanjian (mempersekutukan) antara Quraisy dan al-Anshar di rumahnya di Madinah.” (HR Muslim: bab muakhookh: 16/82)
Lebih jauh Ibu al-Atsir mengatakan bahwa pada dasarnya tahaluf adalah saling mengikat dan saling berjanji dalam tolong menolong, bantu membantu dan kesepakatan. (Ibnu Katsir: Nihayah fi Gharibil Hadits; I/424)

Hukum Tahaluf Siyasi
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. ‘  (Qs. At-Taubah 71)
“Darah kaum muslimin satu dengan yang lain adalah sederajat. Yang lemah di antara mereka dapat member jaminan (kepada yang lain). Yang jauh di antara mereka dapat melindungi yang lainnya dan mereka adalah tangan atas kaum muslimin yang lain.”(HR Abu Dawud: 3/183-185)
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk tahaluf adakalanya sesame muslim (ideologis), ada yang lintas agama sebagaimana dilakukan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum yahudi di Madinah dan dukungannya terhadap hilful fudhul.
Tahaluf yang pertama ini selanjutnya disebut tahaluf ideologis hanya dapat dilakukan dengan kelompok atau orang yang memiliki ideology dan agama yang sama dalam berbagai persoalan dari yang paling prinsip hingga yang paling sederhana sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan bentuk tahaluf yang kedua adalah bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, memerangi kezhaliman serta kemaslahatan kaum muslimin. Oleh karena itu imam Syafi’I menegaskan bahwa yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya tahaluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat Mughni al-Mahtaj; 4/221). Dalam hal ini imam Ibnu Taimiyah juga sepakat bahwa pemberlakuan tahaluf tidak harus bertendensi kepada ideology melainkan kepada maslahat umat agar tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Rassulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan 100 persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat” (HR Bukhari; kitabul Buyu’) (Lihat Ibnu Taimiyah; al-Majmu’ al-Fatawa 35/92-97).

Sumber : Dr. H. Salim Segaf Al Jufri, M.A. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah (Jakarta: ROBBANI PRESS, 2005), hlm 191-197.

Pengertian : Coercion (Paksaan)

1. Pengertian
Pemaksaan (diucapkan / co-er-Shon / atau / koʊɜrʃən) adalah praktek memaksa pihak lain untuk berperilaku dengan cara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, intimidasi, penipuan, atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Tindakan seperti itu digunakan sebagai leverage, untuk memaksa korban untuk bertindak dengan cara yang dikehendaki.
Pemaksaan mungkin melibatkan hukuman fisik yang sebenarnya sakit / cedera atau kerusakan psikologis dalam rangka untuk meningkatkan kredibilitas dari sebuah ancaman. Ancaman bahaya lebih lanjut dapat menyebabkan kerjasama atau ketaatan orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang paling ekstrem yaitu pemaksaan sakit parah yang diderita korban untuk mengekstrak informasi yang dikehendaki dari partai disiksa.

2. Paksaan Dalam Politik & Hukum
Paksaan merupakan cara yang mengharuskan seseorang atau kelompok untuk mematuhi suatu keputusan. Peragaan kekuasaan atau ancaman berupa paksaan yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pemilik kekuasaan, dalam konteks kenegaraan bisa dicontohkan pihak pemerintah.
Dalam masyarakat yang bersifat homogen ada konsensus nasional yang kuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Paksaan tidak selalu memengaruhi dan tidak tampak. Dengan demikian, di negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya digunakan seminimal mungkin dan hanya digunakan untuk meyakinkan suatu pihak. Contoh dari paksaan yang diberlakukan sekarang adalah sistem ketentuan pajak. Sifat pajak ini memaksa wajib pajak untuk menaati semua yang diberlakukan dan apabila melanggar akan dikenai sanksi.
Coercion, secara hukum, yang melanggar hukum untuk memaksa seseorang untuk melakukan, atau untuk tidak melakukan, sesuatu dengan mencabut dirinya dari pelaksanaan kehendak bebas-Nya, terutama dengan menggunakan atau ancaman fisik atau kekuatan moral. Dalam konteks kenegaraan, pemaksaan kehendak pemerintah sering terjadi, contohnya dalam pembuatan kebijakan. Dalam pembuatan kebijakan terkesan seperti adanya pemaksaan, karena masyarakat harus menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah karena ada dorongan keterpaksaan bukan karena kerelaan.
Dalam konteks hukum di banyak negara-negara Amerika Serikat, undang-undang menyatakan seseorang bersalah melakukan kejahatan ringan jika ia, dengan kekerasan atau cedera kepada orang lain, keluarga, atau properti, atau dengan mencabut dia dari pakaian atau alat apapun atau melaksanakan, atau dengan mengintimidasi dengan ancaman ancaman, secara hukum, deklarasi niat untuk melukai orang lain dengan melakukan tindakan yang melanggar hukum, dengan maksud untuk menahan kebebasan bertindak. Ancaman dapat dibedakan dari serangan, karena serangan fisik memerlukan beberapa tindakan yang muncul mungkin terwujud dalam kekerasan.

Pengertian : Persuasion (Ajakan)

1. PENGERTIAN
Persuasi adalah suatu tindakan yang berdasarkan segi-segi psikologis, yang dapat membangkitkan kesadaran individu. (Oemi Abdurrachman, MA, 1989: 62).
Persuasi adalah usaha yang didasari untuk mengubah sikap, kepercayaan, atau perilaku orang melalui tranmisi pesan (Dan Nimmo, 1993: 119) Karakteristik.
Pace, Peterson dan Burnett (1979) dalam Venus 2007:30 mendefinisikan persuasi sebagai tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan (penerima pesan) mengadopsi pandangan komunikator (pengirim pesan) mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam kegiatan persuasi selalu ditandai empat hal, yaitu:
  • Melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak
  • Ada tindakan secara sengaja mempengaruhi
  • Adanya pertukaran/transaksi pesan persuasive
  • Adanya kesukarelaan menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan
Jadi bedasarkan beberapa pengertian diatas, dapat kita artikan bahwa persuasi adalah kemampuan untuk mengajak orang lain agar mengubah sikap dengan argumentasi, untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan orang yang mengajak. Dalam politik, persuasi diperlukan untuk memperoleh dukungan. Persuasi disini dilakukan untuk ikut serta dalam suatu komunitas dan mencapai tujuan komunitas tersebut. Persuasi bersifat tidak memaksa dan tidak mengharuskan ikut serta, tapi lebih kepada gagasan untuk melakukan sesuatu. Gagasan ini dinyatakan dalam argumen untuk memengaruhi orang atau kelompok lain.



2. PERSUASI DALAM POLITIK
Ada tiga pendekatan kepada persuasi politik: propaganda, periklanan dan retorika. Dengan persamaannya adalah semuanya bertujuan, disengaja dan melibatkan pengaruh. Sedang perbedaannya meliputi : Pertama, perbedaan dalam meneruskan pesan dengan tekanan ke satu, ke dua, dan ke banyak arah. Kedua, orientasi pendekatan, perorangan atau kelompok. Ketiga, pandangan berbeda yang memungkinkan adanya masyarakat. Dan keempat, masing-masing menggunakan fokus yang berbeda dalam merumuskan masalah.


a. Persuasi Politik Sebagai Propaganda
Propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri dari individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi. (Jacques Ellul, 1993: 123)
Jadi propaganda adalah suatu syarat mekanisme kontrol sosial dengan menggunakan lambang untuk meningkatkan ketertiban sosial melalui kepercayaan bersama, nilai yang diakui bersama, dan pengharapan yang saling melengkapi.
Tipe-tipe propaganda :
  • Propaganda yang disengaja yaitu dengan sengaja mengindoktrinasi komunikan dengan pandangan-pandangan tertentu. Contoh: Guru ekonomi dengan sengaja mengidoktrinasi siswa dengan pandangan Marxis.
  • Propaganda yang tidak disengaja, yaitu jawaban spontan dari suatu pertanyaan dengan menunjukkan segi-segi positif dari suatu pandangan tertentu. Contoh: ketika guru ekonomi menjawab spontan pertanyaan siswanya dengan menunjukkan segi-segi positif ajaran Marxiz.
Leonard Doob membedakan propaganda menjadi :
  • Propaganda yang tersembunyi, yaitu propagandis menyelubungi tujuan yang sebenarnya. Misalnya ketika seorang presiden menyelenggarakan konferensi pers dengan cara mengembalikan pertanyaan wartawan agar menguntungkan baginya.
  • Propaganda terang-terangan menyiapkan tujuan yang sebenarnya. Contoh : ketika kandidat anggota DPR secara terang-terangan berusaha memperoleh suara dalam pemilu.
Jacques Ellul membedakan propaganda menjadi;
  • Propaganda politik, yaitu propaganda yang melibatkan usaha-usaha pemerintah, parpol atau golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis.
  • Propaganda sosiologis, biasanya kurang kentara dan lebih berjangka panjang. Melalui propaganda ini orang disuntik dengan suatu cara hidup, suatu ideologi berangsur-angsur merembes ke dalam lembaga politik, sosial dan ekonomi.
  • Agitasi, berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanaan yang besar bagi tujan yang langsung, dengan mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita.
  • Integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang diharapkan mengabdikan diri mereka kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun, bahkan selama mereka hidup.
  • Propaganda vertikal, penebaran imbauannya ditujukan satu kepada banyak dan terutama mengandalkan media massa.
  • Propaganda horizontal, imbauannya lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi ketimbang melalui komunikasi massa- misalnya anjang sono (convassing), pelatihan kader partai dsb.

b. Persuasi Politik Sebagai Periklanan
Periklanan massal adalah komunikasi satu ke banyak. Namun berbeda dengan propaganda yang ditujukan pada orang-orang sebagai anggota kelompok, periklanan mendekati mereka terutama sebagai individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat. Bila orang bertindak secara independen sampai pada pilihan yang sama, maka pilihan individual itu berkonvergensi.
Periklanan ditujukan kepada setiap individu yang anonim, hubungan antara iklan denngan calon pembeli adalah hubungan langsung-tidak ada organisasi atau kepemimpinan yang seakan-akan dapat mengirimkan kelompok pembeli itu kepada penjual. Akan tetapi, setiap individu bertindak berdasarkan pilihannya sendiri.
Dan Nimmo (2000) membagi tipe periklanan menjadi komersial dan nonkomersial. Periklanan komersial meliputi periklanan konsumen untuk menjual produk dan jasa dan periklanan perusahaan yang ditujukan kepada manajemen industri, profesional serta pedagang grosir maupun eceran.
Periklanan politik termasuk ke dalam periklanan non komersial. Periklanan politik ialah periklanan citra, yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau menghendaki menjadi pejabat pemerintah; memberi informasi kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang politikus, dan meningkatkan prospek pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan kebijakan tertentu, misalnya iklan tentang pemilihan umum, dll.
Periklanan dapat juga dibagi menjadi periklanan produk dan periklanan institusional. Periklanan produk mempromosikan penjualan barang atau jasa. Dalam dunia politik, periklanan ini berkenaan dengan citra. Menurut Newman, citra merupakan subyek yang menyurutkan dan menaikkan kemampuan politisi dalam menghadapi bermacam isu dan skandal yang muncul. Kesuksesan penciptaan citra menghendaki perhatian terhadap opini publik dan apa yang diperdebatkan publik secara konstan.
Periklanan institusional mempromosikan reputasi sebuah industri, badan usaha, bisnis atau kegiatan komersial lainnya. Periklanan institusional mirip dengan hubungan masyarakat. Periklanan ini berusaha meyakinkan orang bahwa sebuah institusi memiliki reputasi di belakang suatu merk dagang. Hal itu untuk menjawab anggapan bahwa orang lebih cenderung berurusan dengan lembaga yang dipercaya daripada yang tidak dipercayainya.
Fokus kampanye periklanan, menurut Dan Nimmo adalah kepada siapa dan dengan akibat apa. Beberapa pertanyaan kepada siapa yang harus dijawab pengiklan politik dalam merumuskan kampanye adalah apa yang memotivasi khalayak dan apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak. Sedangkan dengan akibat apa, lebih cenderung menfokuskan pada bagaimana komunikasi persuasif melibatkan orang-orang dalam menciptakan kembali citra mereka tentang politik.


c. Persuasi Politik Sebagai Retorika
Retorika adalah komunikasi dua arah, satu kepada satu, dalam arti bahwa satu atau lebih (seseorang berbicara kepada beberapa orang maupun seseorang berbicara kepada seseorang) Masing-masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal baik.
Retorika politik adalah suatu proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi, yang berbeda dengan propaganda yang melibatkan mekanisme kontrol sosial dan periklanan mengandalkan keselektifan konvergen.
Aristoteles mengidentifikasi tiga cara pokok retorika :
  • Retorika liberatif, dirancang untuk mempegaruhi orang-orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif dalam melakukan segala sesuatu. Fokusnya pada yang akan terjadi di masa depan, jika ditentukan kebijakan tertentu. Jadi si orator menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas ihwal yang akan datang.
  • Retorika forensik adalah yuridis. Ia berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban atau hukuman dan ganjaran. Settingnya yang biasa adalah ruang pengadilan, tetapi terjadinya di tempat lain, contohnya adalah pemeriksaan kasus pelecehan seksual dari presiden Clinton.
  • Retorika demonstratif, adalah wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga, atau gagasan. Contoh: kampanye politik dan dukungan editorial dari surat-kabar, majalah, televisi danradio terhadap seseorang kandidat anggota parlemen.
Retorika merupakan bentuk persuasi yang menonjolkan komunikasi dua arah, dialektika, negosiasi dan drama. Melalui retorika, yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas.
Karena merupakan komunikasi dua arah, satu ke satu dan bukan satu ke banyak, retorika politik, merupakan proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi. Melalui retorika politik, kita menciptakan masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung tentang makna situasi dan tentang identitas kita dalam situasi tersebut.

Dari ketiga cara berpikir tentang persuasi politik yang telah disebutkan diatas, nampak bahwa persuasi merupakan transaksi kreatif yang dimana yang dipersuasi ikut memberi tanggapan terhadap lambang dalam imbauan persuader. Hal itu membantah argumentasi di banyak literatur bahwa persuasi hanya manipulatif dimana khlayak bereaksi terhadap lambang-lambang secara otomatik. Dalam pengertian Burke, yang dipersuasi terlibat secara aktif dalam persuasi itu sendiri.
Agar persuasi tidak seperti robot yang digerakkan oleh propaganda, periklanan dan retorika, William McGuire (1968) mengatakan bahwa ada enam tahap pemrosesan informasi agar persuasi itu terjadi : harus ada imbauan persuasif, orang harus memperhatikannya, harus memahaminya isinya, menerimanya, tetap pada opini yang baru dianutnya serta bertindak lebih lanjut berdasarkan pandangan itu. Keenam langkah persuasi McGuire dapat dipandang sebagai tahap-tahap yang diidentifikasikan di dalam proses persuader dan yang dipersuasi menyusun makna atau citra bersama tentang pesan persuasif. Dengan mengikuti langkah McGuire kita dapat menggabungkan tahap penyusunan citra dengan kelima unsur komunikasi Lasswell: sumber (siapa?), pesan (mengatakan apa?), saluran, penerima (dengan siapa?) dan tujuan (dengan akibat apa?)



3. TEKNIK PERSUASI POLITIK
Lembaga untuk analisis propaganda, menurunkan tujuh sarana untuk merangkum berbagai teknik propaganda terpenting untuk memanfaatkan kombinasi kata, tindakan, dan logika untuk tujuan persuasif:
  • Penjulukan (name calling), yaitu memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek, atau tujuan agar orang menolaknya tanpa menguji kenyataannya terlebih dulu.
  • Iming-iming (glittering generalities), yaitu dengan menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar memperoleh du’kungan, tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Contoh: koperasi merupakan “sokongan guru” ekonomi pancasila. Generasi muda sebagai “pewaris masa depan”, dll.
  • Transfer, yaitu mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang otoritas. Contoh: H.M. Soeharto telah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi presiden ketujuh kalinya, demikianlah ujar Ketua Umum Golkar.
  • Testimonial, menggunakan ucapan yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Sarana yang paling mudah kita kenal dalam dukungan politik oleh suatu surat kabar, oleh tokoh terkenal, dll. Contoh: Menolong masyarakat “jangan hanya memberi ikan”.
  • Merakyat (plain folk), imbauan yang menyatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayak dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, saya salah seorang dari anda, hanya rakyat jelata.
  • Memupuk kartu (card stacking), memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis atau tidak logis, dsb. Untuk membangun suatu kasus. Contoh: Apa yang saya ucapkan adalah “amar ma’ruf nahi munkar”, “orang bijak tepat bayar pajak”, dll.
  • Gerobak musik (bandwagon technique); usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan turut naik (turut serta). Contoh: dengan cara pawai atau arak-arakan dengan atau tanpa kendaraan dengan mengumandangkan yel-yel dan jargon.
Dari berbagai sumber