Wednesday, January 18, 2012

Muhammad Hasan Tiro : Sang "Wali Nanggroe"

Teungku Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010) adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh yang tidak pernah padam, sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu dipertanyakan lagi. Jawa adalah bukti bahwa di Indonesia ada ketimpangan dan ketidak adilan, bahwasanya ada jurang pemisah antara Jawa-non Jawa. Kita mencatat, Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta, sehingga di taman raya Indonesia, Aceh mendapat status otonomi khusus yang luar biasa.
Beliau dapat ditempatkan sejajar dengan pemikir sekaliber Muhammad Hatta, Syahrir, Soekarno atau Marx dan Lenin sekalipun. Semangat patriotismenya bisa ditempatkan sebanding dengan Fidel Castro, Nelson Mandela atau George Washington.

Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925.
Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).
Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI di Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji. Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
  • Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
  • Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.
  • Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
  • Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
  • Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia. Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno.
Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.
Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia.  Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain,  “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.
Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda.  Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain. Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.

Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan.  Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi,  untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra

Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Lalu, Hasan Tiro dan elite GAM menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan Hasan Tiro dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.

Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya.
Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.

Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. “Sang Wali” terakhir itu akhirnya pergi. Terima kasih Teungku, selamat jalan Wali.

No comments:

Post a Comment