[Attachment(s) from Al Faqir Ilmi included below]
5 DPD Hiswana Migas Tak Siap Kebijakan 2 Harga BBM
Ada 5 Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menyatakan tak siap menjalankan rencana kebijakan pemerintah menerapkan 2 harga BBM (jenis premium dan solar). Sebab, teknis kebijakan itu sangat menyulitkan penerapannya di lapangan dan membebani anggota Hiswana Migas.
"Problemnya di lapangan sangat komnpleks dan menimbulkan banyak kesulitan," kata Ketua DPD V Hiswana Migas, Hari Kristanto saat dihubungi beritajatim.com, Kamis (25/4/2013) siang. DPD V Hiswana Migas menbawahi wilayah Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara.
Selain DPD V Hiswana Migas, ada 4 DPD Hiswana Migas lainnya yang menegaskan sikap serupa, yakni DPD II, DPD III, DPD IV, dan DPD VII. "Kami menyampaikan pernyataan sikap kami bahwa para anggota Hiswana Migas bidang SPBU di wilayah kami (II, III, IV, V, dan VII) tidak siap melaksanakan kebijakan 2 harga tersebut, karena teknis pelaksanaan kebijakan 2 harga ini sangat menyulitkan dan membebani anggota kami. Sehingga kami meminta kepada Pemerintah agar opsi pemberlakuan 2 harga tersebut dikaji kembali," demikian salah satu isi pers rilis lima DPD Hiswana Migas yang diterima beritajatim.com, Kamis siang.
Kelima DPD Hiswana Migas itu wilayah operasinya meliputi Sumatera Bagian Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Dalam pers rilisnya, kelima DPD Hiswana Migas itu menyatakan bahwa sebagai pengusaha SPBU yang terhimpun dalam organisasi Hiswana Migas, prinsipnya mereka bisa memahami kondisi yang demikian urgensinya untuk mengatur penyaluran BBM subsidi dalam rangka melaksanakan amanat dari UU APBN 2013, agar kuota BBM yang sudah ditetapkan dalam APBN 2013 tak terlampaui. "Opsi 2 harga BBM subsidi menurut hemat kami justru akan mendatangkan masalah-masalah baru di lapangan dalam pelaksanaannya," tegasnya.
Masalah baru di lapangan itu antara lain, makin besar peluang penyimpangan karena adanya disparitas harga yang cukup besar untuk jenis produk yang sama, sehingga pengawasan di lapangan menjadi semakin sulit. Kedua, kendaraan dengan plat hitam yang digunakan untuk usaha kecil dan menengah yang merasa berhak untuk membeli dengan harga Rp 4.500 per liter. Ketiga, SPBU dihadapkan dengan masyarakat yang memaksa untuk membeli dengan harga Rp 4.500, sehingga dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dan keempat, penjual BBM subsidi eceran akan semakin marak dan berpotensi mengganggu kelanggengan usaha SPBU yang melayani kendaraan plat hitam.
Hari Kristanto mengatakan bahwa dari sekitar 870 unit lebih SPBU di Jatim, sekitar 70% di antaranya adalah SPBU yang menjual BBM bersubsidi. "Sebaran SPBU di tiap kabupaten/kota tak sama," katanya.
Misalnya, kebijakan 2 harga BBM itu diterapkan dan kuota BBM subsidi dibatasi dalam jumlah tertentu, secara empirik di lapangan akan timbul problem berat ketika BBM subsidi di SPBU itu habis kuotanya, sedangkan pemilik motor dan angkutan umum yang ingin membeli BBM subsidi tetap banyak. "Kita juga belum tahu seberapa besar kuota BBM subsidi itu," tukasnya.
"Petugas di lapangan yang menghadapi banyak problem kompleks dan menimbulkan banyak kerawanan. Kami tak mungkin bisa mengawasi dan memonitor apakah motor dan kendaraan umum yang membeli BBM subsidi itu sesuai kebutuhannya tiap hari ataukah mereka menimbun BBM subsidi untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Siapa yang bisa mengawasi hal-hal seperti itu. Masih banyak problem lain yang mungkin muncul dari penerapan kebijakan 2 harga BBM itu," tandas Hari Kristanto.
Ada 5 Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menyatakan tak siap menjalankan rencana kebijakan pemerintah menerapkan 2 harga BBM (jenis premium dan solar). Sebab, teknis kebijakan itu sangat menyulitkan penerapannya di lapangan dan membebani anggota Hiswana Migas.
"Problemnya di lapangan sangat komnpleks dan menimbulkan banyak kesulitan," kata Ketua DPD V Hiswana Migas, Hari Kristanto saat dihubungi beritajatim.com, Kamis (25/4/2013) siang. DPD V Hiswana Migas menbawahi wilayah Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara.
Selain DPD V Hiswana Migas, ada 4 DPD Hiswana Migas lainnya yang menegaskan sikap serupa, yakni DPD II, DPD III, DPD IV, dan DPD VII. "Kami menyampaikan pernyataan sikap kami bahwa para anggota Hiswana Migas bidang SPBU di wilayah kami (II, III, IV, V, dan VII) tidak siap melaksanakan kebijakan 2 harga tersebut, karena teknis pelaksanaan kebijakan 2 harga ini sangat menyulitkan dan membebani anggota kami. Sehingga kami meminta kepada Pemerintah agar opsi pemberlakuan 2 harga tersebut dikaji kembali," demikian salah satu isi pers rilis lima DPD Hiswana Migas yang diterima beritajatim.com, Kamis siang.
Kelima DPD Hiswana Migas itu wilayah operasinya meliputi Sumatera Bagian Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Dalam pers rilisnya, kelima DPD Hiswana Migas itu menyatakan bahwa sebagai pengusaha SPBU yang terhimpun dalam organisasi Hiswana Migas, prinsipnya mereka bisa memahami kondisi yang demikian urgensinya untuk mengatur penyaluran BBM subsidi dalam rangka melaksanakan amanat dari UU APBN 2013, agar kuota BBM yang sudah ditetapkan dalam APBN 2013 tak terlampaui. "Opsi 2 harga BBM subsidi menurut hemat kami justru akan mendatangkan masalah-masalah baru di lapangan dalam pelaksanaannya," tegasnya.
Masalah baru di lapangan itu antara lain, makin besar peluang penyimpangan karena adanya disparitas harga yang cukup besar untuk jenis produk yang sama, sehingga pengawasan di lapangan menjadi semakin sulit. Kedua, kendaraan dengan plat hitam yang digunakan untuk usaha kecil dan menengah yang merasa berhak untuk membeli dengan harga Rp 4.500 per liter. Ketiga, SPBU dihadapkan dengan masyarakat yang memaksa untuk membeli dengan harga Rp 4.500, sehingga dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dan keempat, penjual BBM subsidi eceran akan semakin marak dan berpotensi mengganggu kelanggengan usaha SPBU yang melayani kendaraan plat hitam.
Hari Kristanto mengatakan bahwa dari sekitar 870 unit lebih SPBU di Jatim, sekitar 70% di antaranya adalah SPBU yang menjual BBM bersubsidi. "Sebaran SPBU di tiap kabupaten/kota tak sama," katanya.
Misalnya, kebijakan 2 harga BBM itu diterapkan dan kuota BBM subsidi dibatasi dalam jumlah tertentu, secara empirik di lapangan akan timbul problem berat ketika BBM subsidi di SPBU itu habis kuotanya, sedangkan pemilik motor dan angkutan umum yang ingin membeli BBM subsidi tetap banyak. "Kita juga belum tahu seberapa besar kuota BBM subsidi itu," tukasnya.
"Petugas di lapangan yang menghadapi banyak problem kompleks dan menimbulkan banyak kerawanan. Kami tak mungkin bisa mengawasi dan memonitor apakah motor dan kendaraan umum yang membeli BBM subsidi itu sesuai kebutuhannya tiap hari ataukah mereka menimbun BBM subsidi untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Siapa yang bisa mengawasi hal-hal seperti itu. Masih banyak problem lain yang mungkin muncul dari penerapan kebijakan 2 harga BBM itu," tandas Hari Kristanto.
__._,_.___
Attachment(s) from Al Faqir Ilmi
1 of 1 File(s)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment