Memimpin Frustrasi Rakyat
by Rocky Gerung
Siapa kini yang sanggup memimpin frustrasi rakyat? Pers lebih tergiur mengamati bahasa tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda mengolok-olok model komunikasi politik pemerintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi HAM karena kurang biaya. Universitas lebih suka menerima riset pesanan birokrasi dan dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan. Parlemen amat gembira memagari diri dari gangguan rakyat. Dalam kondisi itu, politik "arus bawah" mengalir deras.
Isu "arus bawah" kini tidak memiliki nama, kecuali ia hanya akibat dari harapan yang hampir putus terhadap perubahan. Untuk sementara harapan itu bisa disambung melalui kebijakan "politik uang" yang bernama BLT (bantuan langsung tunai), sekadar untuk menunda instabilitas politik. Karena itu, kita berhasil memelihara stabilitas politik yang semu selama satu triwulan lalu.
Menabung risiko
Namun, sebelum tahun yang lalu berakhir, gelombang PHK sudah mulai, bahkan merata ke seluruh provinsi. PHK berarti frustrasi ekonomi bagi kelas menengah. Dan, ini adalah kondisi politik yang tidak dapat disubsidi karena ia menyangkut defisit harga diri para penganggur.
Seorang penganggur bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Menurut rumus sosiologi, huru-hara adalah fasilitas sosial bagi ekspresi politik harga diri! Sekali pintu itu terbuka, dendam-dendam politik lama akan berhamburan menuju pintu yang sama. Begitulah rawannya kondisi transisi demokrasi kita kini. Tetapi siapa peduli?
Kabinet yang baru tentu bersiap untuk meredam teori ini. Tetapi, samakah kepentingan politik di antara anggota kabinet sehingga suatu dirigisme ekonomi dapat dijalankan secara koheren, yaitu dengan asumsi yang satu dan dalam arah yang sama? Misalnya, apakah bidang "kesra" (yang berparadigma subsidi) akan dikelola secara "moneteristik" sama seperti bidang "ekuin" (yang berparadigma efisiensi)? Atau apakah paradigma bidang "ekuin" sendiri dapat dikendalikan secara disipliner oleh Menko Perekonomian tanpa halangan politik dari menteri-menteri teknisnya yang berbendera partai? Bukankah hasil reshuffle kabinet adalah amat politis ketimbang keahlian sehingga political utility seorang menteri mendahului intellectual capability-nya? Dapatkah Menko Perekonomian mengabaikan itu?
Tentu saja problem ini akhirnya memerlukan kata akhir presiden. Tetapi hingga kini demarkasi antara wilayah "teknokrasi" dan "politik" belum dapat ditetapkan presiden sebagai kepala kabinet. Padahal, garis inilah yang akan menentukan iklim investasi jangka panjang, kepastian pemberantasan korupsi, sekaligus dasar dari suatu sistem pemerintahan presidensial yang efektif.
Dunia bisnis yang rasional tentu ingin menghormati politik, untuk jaminan investasi jangka panjang. Tetapi bila demarkasi itu tidak tegas, dunia bisnis akan mengeksploitasi politik demi keuntungan jangka pendek. Ini pasti berakibat memperdalam pelembagaan korupsi dan memperlebar dendam ketidakadilan. Suatu langkah mundur reformasi!
Garis demarkasi yang tidak tegas juga mengaburkan teori legitimasi pemilu langsung karena presiden terus bekerja dalam teori parlementarian semu. Dalam sistem presidensial yang efektif, seorang presiden memerlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko. Sebaliknya, presiden yang menggabung-gabungkan teori, menumpuk-numpuk asumsi, niscaya sedang menabung banyak risiko.
Instabilitas politik
Suatu skenario tentang instabilitas politik sudah harus dibayangkan oleh presiden, mengingat periode "bulan madu" presiden dengan publik sudah selesai. Sebenarnya, hanya karena ketiadaan figur oposisilah maka kita masih menikmati ujung eforia politik pascapemilu, yaitu harapan terhadap perubahan. Selebihnya sebetulnya, "politik arus bawah" sudah berakumulasi bukan lagi akibat putusnya harapan, tetapi justru karena memburuknya kualitas hidup. Yang "ada" memburuk, apalagi yang "akan"!
Sambungan antara politik "arus bawah" dan kepentingan "kelas menengah" amat mudah dibuat dalam situasi di mana kebijakan ekonomi justru memerosotkan daya beli mereka. Sinyal pasar uang, kurs, dan suku bunga terlalu pendek jangkauannya untuk meyakinkan psikologi para penganggur tentang bakal kembalinya pekerjaan mereka. Bahkan sebaliknya, persepsi terhadap indikator-indikator ekonomi yang membaik sekalipun akan segera diterjemahkan sebagai bertumpuknya keuntungan di tingkat elite. Jalan pikiran ini adalah juga "jalan pikiran ekonomis" bagi mereka yang terjepit.
Hal yang berbahaya adalah menganggap daya tahan masyarakat amat kuat dalam menjalani kesulitan ekonomi di masa transisi ini. Percobaan politik yang dilakukan pemerintah melalui kenaikan harga BBM "sekali pukul" Oktober lalu, tanpa menimbulkan gejolak politik, adalah harga yang dibayar publik untuk memperoleh sebuah kabinet baru yang hanya ahli menyelesaikan masalah dan bersih dari pertimbangan-pertimbangan politis. Tetapi, karena bukan itu yang terjadi, masuk akal bila kini angka popularitas presiden turun. Kemanakah arus delegitimasi itu bermuara? Masalahnya kembali pada fakta, kita tidak memiliki pemimpin oposisi.
Bahaya dari kondisi politik semacam ini adalah, frustrasi rakyat lebih cepat bermuara ke dalam politik destruktif ketimbang mengalir menjadi politik alternatif. Inilah bahaya laten bagi presiden yang menggantungkan legitimasi formil pada konfigurasi politik parlementarian dalam kondisi di mana lembaga oposisi tidak bekerja. Siapa yang akan memimpin frustrasi rakyat? Rakyat akan mencari pemimpinnya sendiri. Itu benar, tetapi setelah destruksi terjadi.
------------------------------
Rocky Gerung. Pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
SUMBER: KOMPAS, 17 Januari 2006
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment