Negeri Ini Milik Kita Bersama
by Rahman Tolleng
Wy zyn de bouwers van de temple niet
Wy zyn enkel de sjouwers van de stenen
Wy zyn het geslacht dat moet vergaan
Op date en hetere ryze wit onze graven
(Henriette Roland Holst)
Terus terang saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar telah mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu, 60 tahun silam, saya baru duduk di bangku SMA. Puisi yang digubah oleh seorang perempuan sosialis Belanda ini seakan melekat dibenak saya. Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafalkan terjemahan bebasnya di luar kepala: "Kami ini bukanlah pembangun candi/ Kami hanyalah pengangkut bebatuan/ Kami adalah angkatan yang musti punah/ Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami"/.
Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Dari segi sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para kesatria yang telah mendahului kita. Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: "Merdeka atau Mati"—sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, "agar tumbuh generasi yang lebih sempurna…".
Apa lacur? Generasi demi genarasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh. Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki sebagai "Kaum Republiken". Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukanlah kerajaan—sungguhpun tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan seorang monarki di jaman kerajaan sekarang. Bangsa inipun kian kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.
Frasa "cinta tanah air" juga mengalami penyimpangan makna. Konsep "patriotism", padanannya, sepertinya terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep "nasionalisme". Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentiment nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi dibalik kesamaan itu ada garis yang memisahkannya. Patriotisme menununtut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak orang lain, sedangkan nasionalisme memuja kebesaran bangsa dan apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda. Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi nasionalisme yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.
Elan "cinta tanah air" dalam arti "patriotism" itulah yang seharusnya disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan "tugas patriotik" — meminjam istilah Carlo Rosseli seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II tidaklah berarti dan harus berupa tindakan heroik. Patriotism bukanlah "penyerahan" diri kepada tanah air mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting.
Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama. Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan yang reaksioner dipersiapkan atau disyahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan. Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan, sembari Anda tetap bergembira, belajar, atau bekerja untuk menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing.
Bebebrapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambing negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang, saya terperangah dan kagum melihatnya. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam tradisi Republikansime.
Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda "Your Country Needs You"—Negeri membutuhkan anda.
Jakarta, 1 Oktober 2012
Sumber: "Surat dari & untuk Pemimpin" Tempo Institute
Wy zyn de bouwers van de temple niet
Wy zyn enkel de sjouwers van de stenen
Wy zyn het geslacht dat moet vergaan
Op date en hetere ryze wit onze graven
(Henriette Roland Holst)
Terus terang saya tidak tergolong akrab dengan puisi. Tapi puisi yang satu ini benar-benar telah mencuri hati saya sejak pertama kali membacanya. Ketika itu, 60 tahun silam, saya baru duduk di bangku SMA. Puisi yang digubah oleh seorang perempuan sosialis Belanda ini seakan melekat dibenak saya. Hingga kini, selain syairnya, saya masih menghafalkan terjemahan bebasnya di luar kepala: "Kami ini bukanlah pembangun candi/ Kami hanyalah pengangkut bebatuan/ Kami adalah angkatan yang musti punah/ Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami"/.
Saya membacanya dari sebuah buklet yang terbit dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Dari segi sastra, saya tak mampu menilainya. Tapi bagi saya, puisi Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para kesatria yang telah mendahului kita. Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: "Merdeka atau Mati"—sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, "agar tumbuh generasi yang lebih sempurna…".
Apa lacur? Generasi demi genarasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh. Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki sebagai "Kaum Republiken". Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukanlah kerajaan—sungguhpun tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan seorang monarki di jaman kerajaan sekarang. Bangsa inipun kian kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.
Frasa "cinta tanah air" juga mengalami penyimpangan makna. Konsep "patriotism", padanannya, sepertinya terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep "nasionalisme". Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentiment nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi dibalik kesamaan itu ada garis yang memisahkannya. Patriotisme menununtut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak orang lain, sedangkan nasionalisme memuja kebesaran bangsa dan apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda. Musuh patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi nasionalisme yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.
Elan "cinta tanah air" dalam arti "patriotism" itulah yang seharusnya disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan "tugas patriotik" — meminjam istilah Carlo Rosseli seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II tidaklah berarti dan harus berupa tindakan heroik. Patriotism bukanlah "penyerahan" diri kepada tanah air mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting.
Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama. Ini mengimplikasikan bahwa kita selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan yang reaksioner dipersiapkan atau disyahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan. Tugas-tugas itu sesungguhnya bisa dijalankan, sembari Anda tetap bergembira, belajar, atau bekerja untuk menghidupi keluarga. Pokoknya, Anda tak perlu meninggalkan kehidupan privat masing-masing.
Bebebrapa waktu lalu, istri saya menerima oleh-oleh dari adiknya yang baru saja berkunjung ke London. Sehelai sarung bantal sofa yang sederhana saja. Pada salah satu sisinya terpampang lambing negara Kerajaan Inggris dan di bawahnya tertera suatu seruan singkat yang tertata rapi. Terus terang, saya terperangah dan kagum melihatnya. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam tradisi Republikansime.
Apa bunyi seruan itu? Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda "Your Country Needs You"—Negeri membutuhkan anda.
Jakarta, 1 Oktober 2012
Sumber: "Surat dari & untuk Pemimpin" Tempo Institute
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment