Opini: Komite Etik Etis? Maju Samad!
by Iwan Piliang, citizen reporter
Saya orang "beruntung" pernah mengenal dekat Komite Etik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di era jilid II lalu. Paling tidak dua dari tujuh anggota pernah saya kenal, seperti Nono Makarim, Buya Syafii Maarif.
"Beruntung" saya maksud, karena diundang secara khusus berdialog berkait kasus M. Nazaruddin. Komunikasi saya melalui skype dengan Nazar ingin mereka gali lebih dalam sebagai latar bagi Komite Etik bekerja. Dan Nazar kala itu menuding beberapa pimpinan KPK bertemu dengannya dan Anas Urbaningrum.
Saya masih ingat bagaimana saya menunggu di ruang tamu sesuai jadwal. Kala itu tim dari redaksi majalah Tempo masih di dalam ruangan. Setelah hampir sejam menunggu, barulah giliran saya.
Bila mengacu ke dialog di media sosial dan bahasa media kala itu, saya bak pesakitan. Dipanggil KPK sesuatu agaknya dianggap tabu, salah. Sementara faktanya di dalam ruangan hanya berdialog. Tim mendengar pengalaman saya ber-skype. Saya masih ingat bagaimana Nono Makarim nyeletuk di akhir pertemuan, menyarankan saya untuk maju sebagai Ketua KPK di era mendatang.
Usai pertemuan hendak keluar KPK, kawan-kawan wartawan sudah menyemut. Saya dicecar pertanyaan ihwal ramah-tamah itu.
Kini setelah menonton konperensi pers Komite Etik KPK jilid III, dipimpin oleh Anis Baswedan, saya merasa alpa. Lupa menanyakan siapa memilih anggota komite etik? Apa kriterianya, bagaimana cara kerjanya? Mengapa pertanyaan itu penting?
Pertama. Pada sebuah wawancara dengan tabloid di gedung KPK. Abraham Samad, Ketua KPK, pernah mengatakan bahwa ia merasa seakan-akan KPK itu ada yang punya. Itu ungkapan personalnya. Mengingat, di awal masa menjabat, ia merasa banyak diatur-atur, diawasi.
Lantas beranjak dari keterangan pers Komite Etik kini membahas soal bocornya Sprindik Anas Urbaningrum, saya menduga-duga seakan yang "punya" KPK itu Komite Etik
Kedua. Jika yang "punya" KPK adalah Komite Etik, siapa memilih anggota Komite Etik? Inilah yang saya sesalkan kini, mengapa dulu saya tak bertanya siapa yang memilih mereka? Dasarnya apa?
Jika ditelisik Komite Etik kini, duduknya Anis Baswedan sebagai ketua saya anggap kurang etis. Karena ada hubungan keluarga antara Novel Baswedan - - penyidik pernah "bermasalah" - - dengan Anis Baswedan.
Kedua. Menjawab cara-cara yang dilakukan di saat konperensi pers, bagi saya yang belum tentu benar, terasa sebagai pengadilan publik untuk Abraham Samad.
Logika saya, komite etik cukup mengumumkan ke publik melalui rilis. Sementara situasi internal, body language, sosok yang berhadapan tanpa harus dipertontonkan ke publik. Namun itu semua hanyalah penilaian subjektifitas.
Akan tetapi ada fakta nyata, bagaimana dari Komite Etik pertama dan kedua ini topiknya sama: Nazar dan Anas. Di kedua ini fakta mengemukan pula bagaimana sosok pejabat dan penyidik di KPK memang terindikasi tajam membela Anas Urbaningrum karena keterkaitannya hubungan sesama di organisasi mahasiswa Islam. Bukan rahasia pula sosok seperti Busyro Muqodas acap bertemu tokoh Kyai Krapyak, juga mertua Anas Urbaningrum.
Nah dalam kerangka inilah, sekretaris Samad membocorkan sprindik. Artinya ada urusan etika pejabat KPK yang ingin menghambat TSK-nya seseorang sebagai latar. Dan atau tak bergeraknya pengusutan mereka yang terindikasi korup sebagai latar kuat.
Bila sudah demikian, premis utama pemberantasan korupsi sebagai premis mayor menjadi seakan nomor dua, kita lalu sibuk ranah sprindik. Bukankah di balik ini semua ada laku tambun mengakali anggaran APBN terindikasi dikorupsi dikolusi? Inilah yang harus dibongkar total.
Fakta utama lain, negara ini seakan hanya diributkan oleh kasus Nazar-Anas. Nazar ingin semua dibongkar. Anas sebaliknya. Dan KPK terjebak oknumnya di dualisme itu.
Bekerjanya komite etik, saya nilai sumbang menerjemahkan makna etika: mereka buat berkadar, rendah sedang, dan besar. Padahal bila mengacu ke etika dasar: etik itu ranah hitam putih saja, beretika dan tidak.
Bila sudah demikian, saya memilih mendukung Abraham Samad dan pimpinan bekerja total football. Jangan pernah berubah, toh komite etik itu juga "bermasalah". Konsisten saja sikat koruptor! Banyak kasus korupsi di luar Anas-Nazar. Untuk mereka berdua, ya, secepatnya saja gerakkan penyidik membongkar total. Sekali lagi dukung Samad!
Saya orang "beruntung" pernah mengenal dekat Komite Etik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di era jilid II lalu. Paling tidak dua dari tujuh anggota pernah saya kenal, seperti Nono Makarim, Buya Syafii Maarif.
"Beruntung" saya maksud, karena diundang secara khusus berdialog berkait kasus M. Nazaruddin. Komunikasi saya melalui skype dengan Nazar ingin mereka gali lebih dalam sebagai latar bagi Komite Etik bekerja. Dan Nazar kala itu menuding beberapa pimpinan KPK bertemu dengannya dan Anas Urbaningrum.
Saya masih ingat bagaimana saya menunggu di ruang tamu sesuai jadwal. Kala itu tim dari redaksi majalah Tempo masih di dalam ruangan. Setelah hampir sejam menunggu, barulah giliran saya.
Bila mengacu ke dialog di media sosial dan bahasa media kala itu, saya bak pesakitan. Dipanggil KPK sesuatu agaknya dianggap tabu, salah. Sementara faktanya di dalam ruangan hanya berdialog. Tim mendengar pengalaman saya ber-skype. Saya masih ingat bagaimana Nono Makarim nyeletuk di akhir pertemuan, menyarankan saya untuk maju sebagai Ketua KPK di era mendatang.
Usai pertemuan hendak keluar KPK, kawan-kawan wartawan sudah menyemut. Saya dicecar pertanyaan ihwal ramah-tamah itu.
Kini setelah menonton konperensi pers Komite Etik KPK jilid III, dipimpin oleh Anis Baswedan, saya merasa alpa. Lupa menanyakan siapa memilih anggota komite etik? Apa kriterianya, bagaimana cara kerjanya? Mengapa pertanyaan itu penting?
Pertama. Pada sebuah wawancara dengan tabloid di gedung KPK. Abraham Samad, Ketua KPK, pernah mengatakan bahwa ia merasa seakan-akan KPK itu ada yang punya. Itu ungkapan personalnya. Mengingat, di awal masa menjabat, ia merasa banyak diatur-atur, diawasi.
Lantas beranjak dari keterangan pers Komite Etik kini membahas soal bocornya Sprindik Anas Urbaningrum, saya menduga-duga seakan yang "punya" KPK itu Komite Etik
Kedua. Jika yang "punya" KPK adalah Komite Etik, siapa memilih anggota Komite Etik? Inilah yang saya sesalkan kini, mengapa dulu saya tak bertanya siapa yang memilih mereka? Dasarnya apa?
Jika ditelisik Komite Etik kini, duduknya Anis Baswedan sebagai ketua saya anggap kurang etis. Karena ada hubungan keluarga antara Novel Baswedan - - penyidik pernah "bermasalah" - - dengan Anis Baswedan.
Kedua. Menjawab cara-cara yang dilakukan di saat konperensi pers, bagi saya yang belum tentu benar, terasa sebagai pengadilan publik untuk Abraham Samad.
Logika saya, komite etik cukup mengumumkan ke publik melalui rilis. Sementara situasi internal, body language, sosok yang berhadapan tanpa harus dipertontonkan ke publik. Namun itu semua hanyalah penilaian subjektifitas.
Akan tetapi ada fakta nyata, bagaimana dari Komite Etik pertama dan kedua ini topiknya sama: Nazar dan Anas. Di kedua ini fakta mengemukan pula bagaimana sosok pejabat dan penyidik di KPK memang terindikasi tajam membela Anas Urbaningrum karena keterkaitannya hubungan sesama di organisasi mahasiswa Islam. Bukan rahasia pula sosok seperti Busyro Muqodas acap bertemu tokoh Kyai Krapyak, juga mertua Anas Urbaningrum.
Nah dalam kerangka inilah, sekretaris Samad membocorkan sprindik. Artinya ada urusan etika pejabat KPK yang ingin menghambat TSK-nya seseorang sebagai latar. Dan atau tak bergeraknya pengusutan mereka yang terindikasi korup sebagai latar kuat.
Bila sudah demikian, premis utama pemberantasan korupsi sebagai premis mayor menjadi seakan nomor dua, kita lalu sibuk ranah sprindik. Bukankah di balik ini semua ada laku tambun mengakali anggaran APBN terindikasi dikorupsi dikolusi? Inilah yang harus dibongkar total.
Fakta utama lain, negara ini seakan hanya diributkan oleh kasus Nazar-Anas. Nazar ingin semua dibongkar. Anas sebaliknya. Dan KPK terjebak oknumnya di dualisme itu.
Bekerjanya komite etik, saya nilai sumbang menerjemahkan makna etika: mereka buat berkadar, rendah sedang, dan besar. Padahal bila mengacu ke etika dasar: etik itu ranah hitam putih saja, beretika dan tidak.
Bila sudah demikian, saya memilih mendukung Abraham Samad dan pimpinan bekerja total football. Jangan pernah berubah, toh komite etik itu juga "bermasalah". Konsisten saja sikat koruptor! Banyak kasus korupsi di luar Anas-Nazar. Untuk mereka berdua, ya, secepatnya saja gerakkan penyidik membongkar total. Sekali lagi dukung Samad!
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment