Consumo Ergo Sum
Oleh: Rocky Gerung
Pengajar di Filsafat UI
Pengajar di Filsafat UI
Sebuah kelompok arisan di Jakarta, patungan membeli Hermes, tas tangan Perancis berharga seratusan juta. Lalu, setiap anggota bergilir memakainya. Seorang politisi muda mondar-mandir di lounge sebuah hotel, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman. Tapi, dengan merek yang masih menempel di lengannya.
Citra, status dan konsumsi, adalah produk kebudayaan massa. Ia menggoda selera, lalu memicu hasrat conspicuous consumption. Tapi suatu godaan aristokratik yang hendak dipuaskan secara instan, sering hanya menghasilkan kegagapan sosial, plus kelucuan budaya.
Kelas Menengah? Inilah 'kelas' yang sangat menjengkelkan para pembaca Marx. Yaitu kelas yang sekedar tumbuh menempel pada tubuh kapitalisme, tetapi tanpa kehendak "investasi", juga tanpa keinginan "revolusi". Rasa aman adalah ideologi resmi kelas ini. Revolusi terlalu berbahaya, investasi terlalu berisiko. Itulah sebabnya, bagi para penggiat politik radikal, kelas menengah adalah penghalang perubahan. Ia berada di tengah, dan persis dalam posisi itu ia meredam kemestian antagonisme kelas atas vs kelas pekerja
Tentu, determinisme sosiologi ini tidak lagi cukup untuk menerangkan pluralisasi bentuk-bentuk kapital pasca-moderen, terutama karena sifat kapital yang makin finansial, yang bahkan menghasilkan produk-produk derivatif yang menumbuhkan pasar spekulasi. Praktek kapitalisme finansial itulah yang kini mengguncang ekonomi dunia. Perubahan watak kapitalisme itu memudarkan sinyal kontradiksi kelas, dan mengalihkan enersi kontradiksi ke dalam ruang-ruang negosiasi bisnis dan politik.
Hari-hari ini, pertemuan pikiran dunia sedang berupaya memahami hakekat krisis ekonomi global dan akibat-akibatnya bagi stabilitas politik dunia. Kajian akademis dan pengalaman politik satu dasawarsa ini mulai mengakui kesalahan-kesalahan sistemik ekonomi global. Bahwa model kapitalisme yang dioperasikan secara spekulatif itu telah mengabaikan hal yang paling mendasar: ekonomi adalah pertukaran nyata, bukan transaksi tanpa jejak. Kehendak untuk mengaitkan ulang ekonomi dan kesosialan manusia, memperoleh momentum dalam krisis keuangan dunia sekarang ini. Kesadaran itulah yang kini mempertemukan "negara" dan "bisnis" di Davos dan Wall Street, dalam upaya mencari revisi political-economy, dengan tema etika keadilan yang menonjol.
Dalam suasana civilizing capitalism itu, pertanyaan tentang peran kelas menengah dapat dilanjutkan. Memang, konsep 'kelas' hanya dimaksudkan untuk menganalisis peluang antagonisme antara kelas-atas dan kelas-bawah. Di dalam sosiologi itulah perubahan politik dibayangkan. Tentu, karakter ini tidak dimiliki oleh "kelas" yang memilih berada di tengah, di posisi yang aman, dan menikmati kemapanan sebagai "kepuasan konsumen". Dalam konteks negeri ini hari-hari ini misalnya, rasa aman itu adalah rasa nikmat menerima limpahan kredit konsumsi dari kondisi overlikuiditas perbankan -yang juga merasa lebih aman menyalurkan kredit kepada kalangan ini, ketimbang memberi utang kepada "pengusaha papan atas" yang mudah 'ngemplang' karena dilindungi kekuasaan.
Nikmat ekonomi membawa kelas menengah pada "kemapanan semu": Consumo Ergo Sum! Belanja, tanda Hidup! Psikologi inilah yang menghidupkan ruang konsumsi nasional, memutar roda perekonomian, sekaligus menumbuhkan usaha bisnis penagih hutang. Itulah sesungguhnya "sektor ril" kita. Investasi asing tiba di sini karena undangan kelas menengah. Tetapi sebetulnya yang kurang diterangkan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi kita hari-hari ini bukan akibat langsung dari produktivitas kelas menengah nasional, tetapi karena permintaan konsumsi kelas menengah Cina dan India yang juga sedang tumbuh cepat dan sangat memerlukan energi dan bahan mentah kita. Di situlah letak "kemapanan semu" kelas menengah kita. Artinya, gangguan dalam sistem produksi China karena penurunan permintaan Eropa dan Amerika Serikat, akan segera melambatkan perekonomian kita, lalu menumpuklah kredit macet kelas menengah.
Tetapi sialnya, stabilitas demokrasi justeru diasuransikan kepada kelas ini. Perut yang cukup kenyang, jarang menuntut perubahan -apalagi yang radikal. Karena itu politik bukan isu pokok kelas menengah. Politik dalam arti kerja memproduksi keadilan, atau dalam maksud perjuangan ideologis, bukanlah minat kelas menengah. Kelas ini hanya bereaksi bila kepentingannya terhalang oleh politik. Urusan memproduksi perubahan, bukan kepentingannya.
Kuriositas kita hari-hari ini: kemana gerangan arah politik kelas ini? Bila jumlah mereka mendekati 50 juta jiwa, berpenghasilan 50 juta setahun di 2014, cukup mandirikah kelas ini dalam Pilpres nanti? Artinya, seandainya sihir "politik uang" masih akan merajalela, sanggupkah kelas ini menatap jauh ke depan, pada harapan sistem kebijakan publik yang bersih, dan karena itu mau melakukan pilihan politik baru? Juga, terhadap sihir "politik ayat", dapatkah kelas ini mengucapkan argumen-argumen konstitusi, melampaui sentimen-sentimen komunal?
Tahap kematangan politik kita hari-hari ini memperlihatkan bahwa kondisi kejiwaan kelas menengah masih kuat diarahkan oleh lingkungan komunalnya. Dalam hegemoni kultural itulah pendapat politik kelas menengah tersandera. Di situ, pilihan politik individu lebih ditentukan oleh sistem pemaknaan primordial ketimbang kalkulasi rasional seorang konsumen. Inilah sifat ajaib kelas menengah kita: dalam segi konsumsi ia berinduk pada kapitalisme, dalam segi mental, ia masih menyusu pada komunalisme. Keterlambatan kultural inilah yang menerangkan "politik rasa-aman" kelas menengah itu. Ia tidak mencari rasa aman pada sistem institusi modern, melainkan pada nilai-nilai transendental.
Kuatnya orientasi primordial ini menghalangi kalkulasi rasional dalam penentuan pilihan politik individu. Kondisi ini cenderung menghasilkan etos "menolak tanggung jawab", karena individu memang tidak dilatih mengambil keputusan secara bebas.
Sinisme terhadap karakter dan peran politik kelas menengah tidak merubah fakta bahwa ekonomi Indonesia memang bertumbuh. Bertambahnya kelas menengah berarti bertambahnya penduduk yang berpenghasilan menengah. Ini berarti potensi pasar, sekaligus potensi politik. Tekanan pada pemerintah memang lebih menyangkut tuntutan kebijakan, bukan tuntutan politik ideologi. Imajinasi politik kelas ini tidak akan melampaui kenikmatan ekonominya hari ini. Karena itu, pemerintah diuntungkan dari segi jaminan stabilitas politik dan berkurangnya beban anggaran sosial yang harus disubsidikan.
Masalah bagi demokrasi kita sekarang ini adalah: mana suara kelas pembayar pajak ini terhadap soal pluralisme, toleransi dan keadilan? Seandainya terjadi krisis politik, apakah kelas ini akan mencari rasa aman pada demokrasi, atau pergi lagi pada doktrin-doktrin komunal? Keperluan demokrasi adalah menumbuhkan kelas warganegara yang mandiri secara ekonomi dan rasional dalam kehidupan publik. Peluang global untuk memanfaatkan keunggulan demografis kelas menengah kita, dalam antisipasi perubahan pasar tenaga kerja dunia satu dekade ke depan, tentu memerlukan persiapan infrastruktur rasionalitas untuk memastikan bahwa sentimen komunal tidak akan melampaui rasionalitas kehidupan publik.
Terlibat dalam proyek intensifikasi demokrasi demi menghidupkan etika kompetisi jujur di lapangan ekonomi dan politik, adalah tugas sejarah kelas menengah. Keterlibatan itu hanya mungkin dijelaskan dalam kerangka terbukanya sistem kebudayaan. Yaitu kebudayaan yang mengutamakan tanggung - jawab individu terhadap kehidupan bernegara. Itu berarti prinsip keutamaan keanggotaan dalam forum publik, solidaritas dalam ide keadilan sosial, dan keaktifan dalam percakapan politik, harus mendahului sentimen-sentimen primordial, komunal dan metafisik. Kurikulum inilah yang kurang diaktifkan negara, parlemen dan partai politik.
Hermes, adalah dewa perdagangan Yunani. Tas tangan itu, dulu identik dengan Grace Kelly karena sering terlihat dijinjing sang Putri. Aktris ini pernah meninggalkan makan malamnya di sebuah klub bergengsi New York karena resto itu bersikap rasis terhadap tamu kulit hitam. Hugo Boss, adalah seorang Jerman pro Nazi. Perusahaannya memproduksi seragam pasukan elit Hitler dengan mempekerjakan paksa para tawanan. Sejarah mungkin tidak terlalu penting bagi para peserta arisan dan anggota parlemen. Tetapi alangkah bermutu demokrasi kita bila kelas menengah kita juga punya pandangan bermutu tentang soal-soal toleransi, etika publik dan keadilan. Dengan cara itu demokrasi memperoleh landasan 'sektor ril' yang kokoh.***
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment