Bukti Lain Keserakahan Hartati Murdaya pada kasus tanah di Grand City Mall Surabaya
Narapidana mantan Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Siti Hartati Murdaya Menderita Dalam Timbunan Harta.
Nafsu serakah telah menyeret Hartati Murdaya ke dalam penjara. Hartati belum lama ini divonis penjara 2 tahun 8 bulan oleh Pengadilan Tipikor, karena terbukti menyuap Bupati Buol untuk mendapatkan izin Hak Guna Usaha tanah perkebunan sawit ribuan hektar di Sulawesi Tengah.
Jauh sebelum kejadian yang memalukan tersebut, perusahaan milik Hartati, PT. Hardaya Widya Graha, membeli tanah lelangan BPPN, seluas 49.345 M2 di jantung kota Surabaya, Jalan Gubeng Pojok 48-50, hanya dengan harga 5 miliar rupiah. Kuasa waris, Hj. Nur'aini, menuding Hartati—pemilik puluhan perusahaan—telah menduduki tanpa hak yang sah tanah warisan ayahnya, mendiang Habib Muhammad Al Magribi.
Kepuasan Hartati yang menyebut dirinya tokoh agama, terhadap harta terlampiaskan dengan menempel pada kekuasaan. Tetapi niat terselubung Hartati tidak bertahan lama. Dia baru saja didepak dari posisi terhormat di Partai Demokrat-nya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Suaminya, Murdaya Poo, demikian juga. Tidak sampai selesai lima tahun duduk di kursi DPR, Ketua Umum PDIP Megawati memecat Murdaya, karena istrinya (Hartati) ketahuan menjadi anggota Dewan Pembina Demokrat.
Di atas tanah yang dibelinya dari BPPN, Hartati telah membangun pusat perbelanjaan megah super mahal—GrandCity Mall. Hartati menduduki dan menguasai tanah tersebut bermodalkan 4 sertifikat HGB yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya, atau sekarang Kantor Pertanahan Surabaya II, 8 Juli 1994.Keempat sertifikat itu sejak terbit sudah cacad hukum, karena tidak memiliki alas bawah. Karena itu, LSM Lingkaran Nurani meminta Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur membatalkan sertifikat-sertifikat tersebut.
Surat Kepala Kanwil BPN Jawa Timur, 29 Oktober 2007, yang memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan tanah tersebut tidak pernah dibalas. Padahal Kakanwil BPN Jatim memintanya untuk melaporkan hasilnya, dilengkapi data fisik dan yuridis, telaahan/pertimbangan hukum dan upaya-upaya penyelesaian masalah yang telah dilaksanakan.
Jadi, jangankan penyelesaian masalah, menjawab surat itu pun tidak pernah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Surabaya, dari tahun 2007 sampai sekarang. "Sungguh ironis, surat atasan/satu instansi tidak digubris, apalagi surat dari LSM," tegas Arius.
Surat Kakanwil BPN Jatim tersebut dikirimkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya, meminta data peralihan hak secara kronologis atas tanah yang terletak di Jalan Gubeng Pojok, Kota Surabaya, sampai dengan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 673/Kelurahan Ketabang, tercatat atas nama PT. Hardaya Widya Graha.
Surat-surat LSM Lingkaran Nurani, pengadvokasi akhli waris, yang mempertanyakan dokumen alas bawah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat-sertifikat tersebut, hanya dijawab oleh Kantor Pertanahan Surabaya II seadanya dan jauh dari substansi permasalahan yang dikemukakan LSM Lingkaran Nurani.
Dalam suratnya, tanggal 11 Desember 2012 (No. 1389/600-35.80/XII/2012), yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II, Isman Hadi, SH, Msi (NIP 19600507 198203 1 003) menjawab, sampai saat ini Buku Tanah Hak Guna Bangunan Nomor 671, 672, 673, dan 714/Kelurahan Ketabang serta warkahnya belum dapat diketemukan di Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Padahal yang dipertanyakan oleh LSM Lingkaran Nurani adalah alas bawah dan kronologis pembuatan sertifikat-sertifikat tersebut.
Pertanyaan yang dilontarkan Direktur Eksekutif Lingkaran Nurani, Arius Sapulete, "apakah untuk mendapatkan salinan SHGB dan warkah tersebut, kami harus membayar sejumlah uang?"
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berurusan dengan instansi pemerintah (Kantor Pertanahan Kota Surabaya II) harus membayar uang pelicin. Sebab, sampai saat ini (Maret 2013), Kantor Pertanahan Surabaya II belum memberitahukan keberadaan SHGB-SHGB tersebut beserta warkahnya.
Kenapa pernyataan tersebut muncul? Karena sejumlah media cetak dan online, seperti Republik, detik.com Surabaya, Sindikat. Net, Anarchyzone. Com, inilah..com, Tabloid Mapikor dan Suara Jakarta, juga LSM Lingkaran Nurani, tidak pernah mendapat respon yang simpatik dari Kantor Pertanahan Kota Surabaya I dan Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Padahal, kata Arius, pejabat publik harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, terutama masyarakat yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi.
Karena itu, Arius mendesak BPN-RI segera mengusut dan mencopot Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I dan II.
Narapidana mantan Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Siti Hartati Murdaya Menderita Dalam Timbunan Harta.
Nafsu serakah telah menyeret Hartati Murdaya ke dalam penjara. Hartati belum lama ini divonis penjara 2 tahun 8 bulan oleh Pengadilan Tipikor, karena terbukti menyuap Bupati Buol untuk mendapatkan izin Hak Guna Usaha tanah perkebunan sawit ribuan hektar di Sulawesi Tengah.
Jauh sebelum kejadian yang memalukan tersebut, perusahaan milik Hartati, PT. Hardaya Widya Graha, membeli tanah lelangan BPPN, seluas 49.345 M2 di jantung kota Surabaya, Jalan Gubeng Pojok 48-50, hanya dengan harga 5 miliar rupiah. Kuasa waris, Hj. Nur'aini, menuding Hartati—pemilik puluhan perusahaan—telah menduduki tanpa hak yang sah tanah warisan ayahnya, mendiang Habib Muhammad Al Magribi.
Kepuasan Hartati yang menyebut dirinya tokoh agama, terhadap harta terlampiaskan dengan menempel pada kekuasaan. Tetapi niat terselubung Hartati tidak bertahan lama. Dia baru saja didepak dari posisi terhormat di Partai Demokrat-nya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Suaminya, Murdaya Poo, demikian juga. Tidak sampai selesai lima tahun duduk di kursi DPR, Ketua Umum PDIP Megawati memecat Murdaya, karena istrinya (Hartati) ketahuan menjadi anggota Dewan Pembina Demokrat.
Di atas tanah yang dibelinya dari BPPN, Hartati telah membangun pusat perbelanjaan megah super mahal—GrandCity Mall. Hartati menduduki dan menguasai tanah tersebut bermodalkan 4 sertifikat HGB yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kotamadya Surabaya, atau sekarang Kantor Pertanahan Surabaya II, 8 Juli 1994.Keempat sertifikat itu sejak terbit sudah cacad hukum, karena tidak memiliki alas bawah. Karena itu, LSM Lingkaran Nurani meminta Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur membatalkan sertifikat-sertifikat tersebut.
Surat Kepala Kanwil BPN Jawa Timur, 29 Oktober 2007, yang memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan tanah tersebut tidak pernah dibalas. Padahal Kakanwil BPN Jatim memintanya untuk melaporkan hasilnya, dilengkapi data fisik dan yuridis, telaahan/pertimbangan hukum dan upaya-upaya penyelesaian masalah yang telah dilaksanakan.
Jadi, jangankan penyelesaian masalah, menjawab surat itu pun tidak pernah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Surabaya, dari tahun 2007 sampai sekarang. "Sungguh ironis, surat atasan/satu instansi tidak digubris, apalagi surat dari LSM," tegas Arius.
Surat Kakanwil BPN Jatim tersebut dikirimkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya, meminta data peralihan hak secara kronologis atas tanah yang terletak di Jalan Gubeng Pojok, Kota Surabaya, sampai dengan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 673/Kelurahan Ketabang, tercatat atas nama PT. Hardaya Widya Graha.
Surat-surat LSM Lingkaran Nurani, pengadvokasi akhli waris, yang mempertanyakan dokumen alas bawah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat-sertifikat tersebut, hanya dijawab oleh Kantor Pertanahan Surabaya II seadanya dan jauh dari substansi permasalahan yang dikemukakan LSM Lingkaran Nurani.
Dalam suratnya, tanggal 11 Desember 2012 (No. 1389/600-35.80/XII/2012), yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II, Isman Hadi, SH, Msi (NIP 19600507 198203 1 003) menjawab, sampai saat ini Buku Tanah Hak Guna Bangunan Nomor 671, 672, 673, dan 714/Kelurahan Ketabang serta warkahnya belum dapat diketemukan di Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Padahal yang dipertanyakan oleh LSM Lingkaran Nurani adalah alas bawah dan kronologis pembuatan sertifikat-sertifikat tersebut.
Pertanyaan yang dilontarkan Direktur Eksekutif Lingkaran Nurani, Arius Sapulete, "apakah untuk mendapatkan salinan SHGB dan warkah tersebut, kami harus membayar sejumlah uang?"
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berurusan dengan instansi pemerintah (Kantor Pertanahan Kota Surabaya II) harus membayar uang pelicin. Sebab, sampai saat ini (Maret 2013), Kantor Pertanahan Surabaya II belum memberitahukan keberadaan SHGB-SHGB tersebut beserta warkahnya.
Kenapa pernyataan tersebut muncul? Karena sejumlah media cetak dan online, seperti Republik, detik.com Surabaya, Sindikat. Net, Anarchyzone. Com, inilah..com, Tabloid Mapikor dan Suara Jakarta, juga LSM Lingkaran Nurani, tidak pernah mendapat respon yang simpatik dari Kantor Pertanahan Kota Surabaya I dan Kantor Pertanahan Kota Surabaya II. Padahal, kata Arius, pejabat publik harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, terutama masyarakat yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi.
Karena itu, Arius mendesak BPN-RI segera mengusut dan mencopot Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I dan II.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment