SBY: Isu Kudeta dan Lempar Sepatu
DUA PEKAN lebih telah berlalu, isu kudeta untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih saja dibicarakan. Namun, tentu saja, kudeta itu sendiri takkan pernah terjadi. Tentara mana yang berani melakukannya? Dan yang juga tak kunjung terjadi adalah pelemparan sepatu terhadap SBY, seperti yang menjadi ancaman Gerakan Nasional HMI Anti SBY bila sang Presiden ini berani hadir di Kongres XXVII HMI di Jakarta 15 Maret 2013. Tapi kalau SBY datang juga, apa betul ada yang berani melemparinya dengan sepatu?
Soal kudeta, sejarah menunjukkan tak pernah ada kalangan tentara berani melakukannya. Tidak oleh Kolonel AH Nasution di tahun 1952, tidak pula oleh Jenderal Soeharto di tahun 1965-1966. Lebih-lebih lagi Jenderal Wiranto yang konon punya 'kesempatan' mengambilalih kekuasaan di tahun 1998. Hanya sejarawan kiri seperti Asvi Warman Adam yang pernah mengembangkan analisa bahwa Jenderal Soeharto melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, itupun dengan penamaan kudeta merangkak –creeping coup d'etat.
Padahal, yang sesungguhnya dilakukan Jenderal Soeharto adalah serangkaian taktik khas tentara Indonesia yang lebih terbiasa dengan pola gerilya daripada perang terbuka. Dimulai dengan menggunakan bujukan tiga jenderal yang sebenarnya adalah kesayangan Soekarno –Jenderal Muhammad Jusuf, Jenderal Basuki Rachmat dan Jenderal Amirmahmud, yang tergolong de beste zonen van Soekarno– sehingga memperoleh Surat Perintah 11 Maret 1966. Lalu dilanjutkan dengan taktik konstitusional yang berpuncak pada Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 yang mencabut mandat Soekarno.
Satu-satunya perang agak terbuka –itupun sebenarnya masih dibarengi dengan taktik gerilya– yang barangkali pernah dilakukan tentara Indonesia, adalah saat menyerang Timor Timur di tahun 1975 sehingga di tahun 1976 wilayah tersebut akhirnya menjadi salah satu provinsi Indonesia.
Dua peralihan kekuasaan terpenting yang pernah terjadi di Indonesia senantiasa melibatkan tentara dengan pola politik gerilya. Pertama peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto, dan yang kedua dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie. Dalam kedua peristiwa, tentara menggunakan peluang yang tercipta dari suatu blessing indisguise yang selalu juga melibatkan peranan gerakan mahasiswa. Peluang tahun 1965-1966 terjadi setelah percobaan gagal Gerakan 30 September 1965 yang disusul rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soekarno turun dari kekuasaannya. Peralihan kedua, dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie, terjadi karena kombinasi tekanan demonstrasi mahasiswa 1998 dengan permainan belakang layar para tentara politik. Setelah itu terjadi pula peralihan kekuasaan bergaya parlementer, dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid ke tangan Megawati Soekarnoputeri yang merupakan political game partai politik 'masa' reformasi yang bertepatan waktu dengan 'pembangkangan' polisi dan tentara terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Secara menyeluruh, menurut pengalaman empiris Indonesia, perubahan penting dalam kekuasaan hampir selalui ditandai dengan adanya demonstrasi mahasiswa. Bukan hanya dalam peralihan dari Soekarno ke Soeharto 1966-1967 dan lengsernya Soeharto di tahun 1998, tetapi juga dalam tak berlanjutnya kepresidenan BJ Habibie serta peralihan Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputeri. Makin besar-besaran demonstrasi mahasiswa itu, makin besar peluang terjadinya perubahan.
Bagaimana dengan gertakan lempar sepatu kepada SBY? Tidak terjadi, terutama karena SBY memilih tidak datang menghadiri Kongres HMI itu. Apakah ada kemungkinan memang ada yang melempari SBY dengan sepatu jika ia toh datang? Kata Akbar Tanjung, yang adalah Ketua Dewan Penasehat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi), "mungkin saja." Tapi itu diucapkannya sore hari setelah bisa dipastikan SBY tak hadir di Kongres HMI tersebut pada pagi harinya.
Seandainya pun, SBY hadir di Hotel Borobudur, dan betul-betul dilempari sepatu, itu menjadi sejarah baru HMI. Berarti ada dinamika baru atau bahkan radikalisasi. Dari dulu sampai sekarang, HMI adalah organisasi dengan kader-kader –terutama kalangan tokoh pimpinannya– yang lebih senang dan merasa lebih nyaman berada di sekitar kekuasaan negara. Baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.
Saat mengalami rangkaian penganiayaan politik oleh PKI dan organisasi-organisasi mantelnya pada masa Nasakom, khususnya 1963-1965, HMI berlindung kepada Presiden Soekarno. Dan Soekarno memilih tidak memenuhi tuntutan kelompok kiri untuk membubarkan HMI yang dicap kontra revolusi –yang sebenarnya terutama karena Soekarno memperhitungkan Jenderal Ahmad Yani yang bersikeras membela HMI.
Maka, tatkala kelompok mahasiswa intra dan gerakan mahasiswa lainnya di tahun 1966 mulai menampilkan sikap anti Soekarno, yang bahkan sampai kepada tuntutan penurunan dari kekuasaan, para tokoh PB-HMI masih menyempatkan datang bersilaturahmi kepada Presiden Soekarno di Istana, bersama beberapa pimpinan organisasi extra universiter semacam GMNI –maupun juga GMKI. Dalam gerakan anti Soekarno, HMI menjadi slow starter. Tapi sungguh menarik bahwa tokoh mahasiswa 1966, mahasiswa 'bebas' Sugeng Sarjadi, yang merobek-robek gambar Soekarno di Bandung sehingga menjadi pemicu aksi serupa di seluruh Bandung, 18 Agustus 1966, adalah tokoh yang dengan cepat direkrut dan dinyatakan HMI sebagai anggotanya.
Tercatat di belakang hari, di sepanjang beberapa bagian terakhir masa kekuasaan Soeharto, begitu banyak tokoh HMI –melebihi tokoh alumni dari organisasi mahasiswa manapun– mengalir masuk ke dalam kabinet maupun lembaga-lembaga kekuasaan lainnya, ataupun ke MPR/DPR-RI. Ini terjadi di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Salah satu tokoh HMI, Muhammad Jusuf Kalla, pada mulanya memilih melanjutkan karir di dunia usaha melanjutkan apa yang dirintis ayahandanya, sementara teman-temannya yang lain mulai masuk ke pemerintahan daerah. Kini, Jusuf Kalla sudah pernah berhasil mencapai RI-2, dan masih sedang mencoba terus meraih posisi RI-1.
Jadi, sebenarnya, pukul rata, kader-kader HMI itu tidak punya tradisi melawan kekuasaan bahkan kebanyakan menjadi bagian dari kekuasaan. "Anggota HMI kan banyak, jadi pasti ada di mana-mana," ujar Adi Sasono tokoh alumni HMI. Kalau kini ada sedikit riak terhadap kekuasaan, itu pasti hanyalah bagian dari dinamika pencapaian cita-cita agar tetap sebagai peserta dalam kekuasaan. Masuk kekuasaan bukan sesuatu yang salah, sebenarnya, sepanjang tidak ikut-ikut mengembangkan budaya korupsi yang merupakan bagian melekat dalam kekuasaan menurut asumsi umum per saat ini. Namun ada yang menggugat. Aktivis Masjid Salman ITB tempo dulu, Syamsir Alam, yang rajin berdzikir, sempat menulis dengan judul bertanya, kenapa banyak kader HMI yang terlibat korupsi? "Karena mereka masuk kekuasaan," kata Solahuddin Wahid dalam suatu pertemuan.
Tips untuk kalangan kekuasaan, termasuk bagi SBY yang masih akan menunaikan kekuasaannya hingga tahun depan, HMI bukan monster berbahaya bagi kekuasaan, sepanjang memahami dinamika berbagi. Bukankah Anas Urbaingrum banyak juga gunanya, sejak di KPU sampai menjabat Ketua Partai Demokrat. Tetapi ketika menjadi Ketua Umum, 'gelora' kekuasaan agaknya menyorongkan terlalu banyak perspektif yang menyenangkan dan mudah.
Lalu bagaimana dengan isu adanya rencana kudeta yang pertama kali dilontarkan SBY sendiri –yang katanya menurut laporan intelejen– menjelang keberangkatannya ke luar negeri 3 Maret lalu? Bukan cerita baru. Tepat setahun sebelumnya, Menteri Polhukam Marsekal Djoko Suyanto sudah lebih dulu menghembuskan berita tentang adanya usaha menjatuhkan SBY. Sebelumnya lagi, SBY sendiri pernah menyebutkan dirinya menjadi sasaran pemboman. Tak heran bila Maret 2012 Pengamat Politik dari UGM Ari Dwipayana, menganggap SBY dan Partai Demokrat mengembangkan politik paranoid.
Barangkali terlalu cepat juga bila menganggap SBY adalah seorang paranoid. Lebih tepat mungkin jika dikatakan SBY sedang menghadapi dan berada dalam situasi paranoia politik –suatu penggambaran keadaan politik yang serba saling mencurigai. Atau paling tidak, sedang melanjutkan politik mencari simpati dan empati, sebagai orang yang tak henti-hentinya dianiaya secara politik.
Tapi terlepas dari itu, pokoknya jangan sampai menjadi paranoid, karena bila seorang Presiden menderita paranoid ia tak lagi memenuhi syarat undang-undang yang tak memperbolehkan untuk sakit jasmani dan rohani terus menerus. Paling ditakutkan di Amerika Serikat dari dulu, bila Presiden menderita paranoid, setiap waktu bisa terjadi ia mendadak memencet tombol untuk meluncurkan peluru kendali antar benua.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)
DUA PEKAN lebih telah berlalu, isu kudeta untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih saja dibicarakan. Namun, tentu saja, kudeta itu sendiri takkan pernah terjadi. Tentara mana yang berani melakukannya? Dan yang juga tak kunjung terjadi adalah pelemparan sepatu terhadap SBY, seperti yang menjadi ancaman Gerakan Nasional HMI Anti SBY bila sang Presiden ini berani hadir di Kongres XXVII HMI di Jakarta 15 Maret 2013. Tapi kalau SBY datang juga, apa betul ada yang berani melemparinya dengan sepatu?
Soal kudeta, sejarah menunjukkan tak pernah ada kalangan tentara berani melakukannya. Tidak oleh Kolonel AH Nasution di tahun 1952, tidak pula oleh Jenderal Soeharto di tahun 1965-1966. Lebih-lebih lagi Jenderal Wiranto yang konon punya 'kesempatan' mengambilalih kekuasaan di tahun 1998. Hanya sejarawan kiri seperti Asvi Warman Adam yang pernah mengembangkan analisa bahwa Jenderal Soeharto melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, itupun dengan penamaan kudeta merangkak –creeping coup d'etat.
Padahal, yang sesungguhnya dilakukan Jenderal Soeharto adalah serangkaian taktik khas tentara Indonesia yang lebih terbiasa dengan pola gerilya daripada perang terbuka. Dimulai dengan menggunakan bujukan tiga jenderal yang sebenarnya adalah kesayangan Soekarno –Jenderal Muhammad Jusuf, Jenderal Basuki Rachmat dan Jenderal Amirmahmud, yang tergolong de beste zonen van Soekarno– sehingga memperoleh Surat Perintah 11 Maret 1966. Lalu dilanjutkan dengan taktik konstitusional yang berpuncak pada Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 yang mencabut mandat Soekarno.
Satu-satunya perang agak terbuka –itupun sebenarnya masih dibarengi dengan taktik gerilya– yang barangkali pernah dilakukan tentara Indonesia, adalah saat menyerang Timor Timur di tahun 1975 sehingga di tahun 1976 wilayah tersebut akhirnya menjadi salah satu provinsi Indonesia.
Dua peralihan kekuasaan terpenting yang pernah terjadi di Indonesia senantiasa melibatkan tentara dengan pola politik gerilya. Pertama peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto, dan yang kedua dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie. Dalam kedua peristiwa, tentara menggunakan peluang yang tercipta dari suatu blessing indisguise yang selalu juga melibatkan peranan gerakan mahasiswa. Peluang tahun 1965-1966 terjadi setelah percobaan gagal Gerakan 30 September 1965 yang disusul rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soekarno turun dari kekuasaannya. Peralihan kedua, dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie, terjadi karena kombinasi tekanan demonstrasi mahasiswa 1998 dengan permainan belakang layar para tentara politik. Setelah itu terjadi pula peralihan kekuasaan bergaya parlementer, dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid ke tangan Megawati Soekarnoputeri yang merupakan political game partai politik 'masa' reformasi yang bertepatan waktu dengan 'pembangkangan' polisi dan tentara terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Secara menyeluruh, menurut pengalaman empiris Indonesia, perubahan penting dalam kekuasaan hampir selalui ditandai dengan adanya demonstrasi mahasiswa. Bukan hanya dalam peralihan dari Soekarno ke Soeharto 1966-1967 dan lengsernya Soeharto di tahun 1998, tetapi juga dalam tak berlanjutnya kepresidenan BJ Habibie serta peralihan Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputeri. Makin besar-besaran demonstrasi mahasiswa itu, makin besar peluang terjadinya perubahan.
Bagaimana dengan gertakan lempar sepatu kepada SBY? Tidak terjadi, terutama karena SBY memilih tidak datang menghadiri Kongres HMI itu. Apakah ada kemungkinan memang ada yang melempari SBY dengan sepatu jika ia toh datang? Kata Akbar Tanjung, yang adalah Ketua Dewan Penasehat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi), "mungkin saja." Tapi itu diucapkannya sore hari setelah bisa dipastikan SBY tak hadir di Kongres HMI tersebut pada pagi harinya.
Seandainya pun, SBY hadir di Hotel Borobudur, dan betul-betul dilempari sepatu, itu menjadi sejarah baru HMI. Berarti ada dinamika baru atau bahkan radikalisasi. Dari dulu sampai sekarang, HMI adalah organisasi dengan kader-kader –terutama kalangan tokoh pimpinannya– yang lebih senang dan merasa lebih nyaman berada di sekitar kekuasaan negara. Baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.
Saat mengalami rangkaian penganiayaan politik oleh PKI dan organisasi-organisasi mantelnya pada masa Nasakom, khususnya 1963-1965, HMI berlindung kepada Presiden Soekarno. Dan Soekarno memilih tidak memenuhi tuntutan kelompok kiri untuk membubarkan HMI yang dicap kontra revolusi –yang sebenarnya terutama karena Soekarno memperhitungkan Jenderal Ahmad Yani yang bersikeras membela HMI.
Maka, tatkala kelompok mahasiswa intra dan gerakan mahasiswa lainnya di tahun 1966 mulai menampilkan sikap anti Soekarno, yang bahkan sampai kepada tuntutan penurunan dari kekuasaan, para tokoh PB-HMI masih menyempatkan datang bersilaturahmi kepada Presiden Soekarno di Istana, bersama beberapa pimpinan organisasi extra universiter semacam GMNI –maupun juga GMKI. Dalam gerakan anti Soekarno, HMI menjadi slow starter. Tapi sungguh menarik bahwa tokoh mahasiswa 1966, mahasiswa 'bebas' Sugeng Sarjadi, yang merobek-robek gambar Soekarno di Bandung sehingga menjadi pemicu aksi serupa di seluruh Bandung, 18 Agustus 1966, adalah tokoh yang dengan cepat direkrut dan dinyatakan HMI sebagai anggotanya.
Tercatat di belakang hari, di sepanjang beberapa bagian terakhir masa kekuasaan Soeharto, begitu banyak tokoh HMI –melebihi tokoh alumni dari organisasi mahasiswa manapun– mengalir masuk ke dalam kabinet maupun lembaga-lembaga kekuasaan lainnya, ataupun ke MPR/DPR-RI. Ini terjadi di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Salah satu tokoh HMI, Muhammad Jusuf Kalla, pada mulanya memilih melanjutkan karir di dunia usaha melanjutkan apa yang dirintis ayahandanya, sementara teman-temannya yang lain mulai masuk ke pemerintahan daerah. Kini, Jusuf Kalla sudah pernah berhasil mencapai RI-2, dan masih sedang mencoba terus meraih posisi RI-1.
Jadi, sebenarnya, pukul rata, kader-kader HMI itu tidak punya tradisi melawan kekuasaan bahkan kebanyakan menjadi bagian dari kekuasaan. "Anggota HMI kan banyak, jadi pasti ada di mana-mana," ujar Adi Sasono tokoh alumni HMI. Kalau kini ada sedikit riak terhadap kekuasaan, itu pasti hanyalah bagian dari dinamika pencapaian cita-cita agar tetap sebagai peserta dalam kekuasaan. Masuk kekuasaan bukan sesuatu yang salah, sebenarnya, sepanjang tidak ikut-ikut mengembangkan budaya korupsi yang merupakan bagian melekat dalam kekuasaan menurut asumsi umum per saat ini. Namun ada yang menggugat. Aktivis Masjid Salman ITB tempo dulu, Syamsir Alam, yang rajin berdzikir, sempat menulis dengan judul bertanya, kenapa banyak kader HMI yang terlibat korupsi? "Karena mereka masuk kekuasaan," kata Solahuddin Wahid dalam suatu pertemuan.
Tips untuk kalangan kekuasaan, termasuk bagi SBY yang masih akan menunaikan kekuasaannya hingga tahun depan, HMI bukan monster berbahaya bagi kekuasaan, sepanjang memahami dinamika berbagi. Bukankah Anas Urbaingrum banyak juga gunanya, sejak di KPU sampai menjabat Ketua Partai Demokrat. Tetapi ketika menjadi Ketua Umum, 'gelora' kekuasaan agaknya menyorongkan terlalu banyak perspektif yang menyenangkan dan mudah.
Lalu bagaimana dengan isu adanya rencana kudeta yang pertama kali dilontarkan SBY sendiri –yang katanya menurut laporan intelejen– menjelang keberangkatannya ke luar negeri 3 Maret lalu? Bukan cerita baru. Tepat setahun sebelumnya, Menteri Polhukam Marsekal Djoko Suyanto sudah lebih dulu menghembuskan berita tentang adanya usaha menjatuhkan SBY. Sebelumnya lagi, SBY sendiri pernah menyebutkan dirinya menjadi sasaran pemboman. Tak heran bila Maret 2012 Pengamat Politik dari UGM Ari Dwipayana, menganggap SBY dan Partai Demokrat mengembangkan politik paranoid.
Barangkali terlalu cepat juga bila menganggap SBY adalah seorang paranoid. Lebih tepat mungkin jika dikatakan SBY sedang menghadapi dan berada dalam situasi paranoia politik –suatu penggambaran keadaan politik yang serba saling mencurigai. Atau paling tidak, sedang melanjutkan politik mencari simpati dan empati, sebagai orang yang tak henti-hentinya dianiaya secara politik.
Tapi terlepas dari itu, pokoknya jangan sampai menjadi paranoid, karena bila seorang Presiden menderita paranoid ia tak lagi memenuhi syarat undang-undang yang tak memperbolehkan untuk sakit jasmani dan rohani terus menerus. Paling ditakutkan di Amerika Serikat dari dulu, bila Presiden menderita paranoid, setiap waktu bisa terjadi ia mendadak memencet tombol untuk meluncurkan peluru kendali antar benua.
(socio-politica.com/
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment