RILIS BERITA
Global CSOs Forum on Post-2015 Development Agenda
Nusa Dua, Bali, 23-24 Maret 2013
Ketegasan SBY Dibutuhkan oleh Negara Miskin dan Berkembang
(Nusa Dua, 25 Maret 2013): Pada pertemuan lanjutan antara CSOs dan Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel - HLP) di Townhall Meeting, Senin (25 Maret 2013) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi CSO Internasional telah menyerahkan Komunike Bersama CSO kepada para anggota tetap HLP. Akan tetapi ada indikasi bahwa panel tidak cukup representatif dalam melakukan komitmen bersama. Ketidakhadiran Perdana Menteri Inggris, David Cameron menjadi sinyal minimnya komitmen dari negara-negara maju terhadap agenda MDGs pasca 2015.
David Cameron adalah salah satu dari tiga pemimpin pertemuan HLP bersama Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Hasil pertemuan HLP pada 26-27 Maret 2013 menjadi rekomendasi yang akan diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon.
Kekhawatiran mendasar yang menjadi perhatian utama dari Koalisi CSO Indonesia dan Koalisi CSO Internasional adalah tidak adanya komitmen dari negara-negara maju terhadap upaya pasca 2015. Sejauh ini yang menjadi ukuran pendekatan agenda pasca 2015 adalah pendekatan pembangunan berbasis pasar, yang berarti perluasan pasar dan meminimalkan tanggung jawab negara.
“Seharusnya pembangunan yang didanai dan didorong oleh negara harus melalui regulasi pendanaan.,” kata Sugeng Bahagijo Direktur INFID dan Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015.
Hal ini menjadi kekhawatiran kelompok masyarakat sipil karena yang menjadi kecenderungan adalah tindakan voluntary (secara sukarela) dari setiap negara dalam tata cara implmentasinya, “Sayangnya tindakan voluntary ini tidak mengikat dan itu tentu saja akan merugikan rakyat. Jadi perlu ada tanggung jawab negara dalam bentuk regulasi ,” ujar Sugeng menegaskan.
Sementara, Paul Polman, CEO Unilever, mengatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di dunia akibat adanya ketidak percayaan baik itu di kalangan CSO, swasta maupun pemerintah. “Akuntabilitas dan transparansi adalah cara yang tepat untuk membangun saling kepercayaan itu,” kata Polman di forum Private Sector Leaders Roundtable.
Pernyataan Polman tersebut juga didukung oleh George Soros yang juga berbicara di forum yang sama, yang menyatakan bahwa, “untuk itu dibutuhkan aturan main dan hukum yang jelas”. Soros juga menyatakan bahwa untuk pasca 2015 perlu dimasukan jaminan atas “akses hukum dan keadilan” bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat marginal dan terpinggirkan”
Ada tiga point utama yang menjadi kata kunci dan ditekankan oleh CSOs sebagai komitmen bersama, yakni kepemimpinan, ketimpangan, dan keberlanjutan lingkungan berdasarkan prinsip yang universal. Sementara tata cara pelaksanaannya didasarkan pada kekhasan setiap negara.
Sepanjang 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat. Pada 2011 dalam Indeks GINI (GINI Ratio – standar ukuran ketimpang pendapatan) ketimpangan meningkat menjadi 0,41. Sementara ketimpangan di bidang non pendapatan, seperti akses terhadap pelayan publik juga sangat timpang, banyak daerah miskin tidak ada guru dan tidak ada bidan. Ini berakibat pada tingginya ketimpangan terhadap angka kematian ibu di 10 provinsi (antara lain Banten, Papua, NTT).
Hal ini seharusnya menjadi agenda utama dan harus diangkat dan diputuskan sebagai target agenda pembangunan pasca 2015. “Argumen dan penjelasan teknis empiris sudah ada, yang belum ada yang adalah kepimpinan politik dari co-chairs oleh Pak SBY,” kata Sugeng Bahagijo.
Targetnya setiap negara menurunkan Indeks GINI dari 0,4 menjadi 0,3. Di sisi lain pendapatan untuk suara kaum perempuan, harus ada realisasi kuota kepemimpinan perempuan tidak hanya jabatan publik tetapi juga jabatan swasta. Perhatian lainnya adalah pembangunan yang ideal bersifat inklusif (mengikutsertkan masyarakat) yang berarti ada kesempatan sosial dan pelayanan publik untuk semua khususnya yang bersahabat terhadap kaum disabilitas, lansia, dan anak-anak.
Sejauh ini, ketegasan SBY dalam kepemimpinannya di HLP dibutuhkan untuk merangkul negara-negara menengah dan negara-negara miskin dalam memperkuat komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan.
“Ketegasan SBY penting agar kerangka pembangunan yang diusulkan paska MDGs 2015 bisa menguntungkan seluruh warga dunia, terutama mereka yang berada di negara miskin dan berkembang, khususnya terhadap negosiasi-negosiasi yang selama ini tidak menguntungkan negara miskin dan berkembang,” sambung Mickael B. Hoelman, Manager Program Yayasan Tifa dan Panitia Pengarah Global CSOs Forum on Post-2015. ****
------------------
Berita dan foto berita ini disebarluaskan oleh Media Center Indonesian CSO’s Coalition for Post 2015 Development Agenda (Koalisi NGO Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015). Berita dan foto berita ini disebarkan untuk media massa di Indonesia agar disebarluaskan kembali baik oleh media cetak, online maupun radio (dibacakan).
Kontak Media Center: Kukuh Sanyoto (08119958584; kukuhsanyoto@gmail.com); Wiratmo Probo (081316389072; wprobo@gmail.com); Irawan Saptono (08128509759; isaptono@isai.my.id); Helena Rea (08126990109; helenerea@yahoo.com); Musfarayani (082122173119; fay2503@gmail.com).
--------------------------------------------------------------------------------------------
Luluk Uliyah
Knowledge and Media Manager
Epistema Institute
Jl. Jati Mulya IV No.23, Jakarta 12540
HP. 0815 9480246
www.epistema.or.id
fb: Epistema Inst | t: @yayasanepistema
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
No comments:
Post a Comment