Dengan Pemerintah Memaksakan Kenaikan Harga BBM, Maka Amanat Konstitusi Telah Tergilas oleh Amanat IMF dan Bank Dunia
Jakarta, aliansi_rakyat@yahoo.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Desember 2004 telah mengabulkan sebagian permohonan pengujian material UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2). Ketiga pasal tersebut oleh Ketua MK, Jimly Asshiddiqie saat itu, dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Khususnya putusan Pasal 28 ayat (2) UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang berbunyi "Harga BBM dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar", dan ayat (3) yang berbunyi "Pelaksanaan kebijakan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu" juga diminta MK untuk diperbaiki.
Namun untuk kesekian kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara pada 12 Juni 2013, mengakui bahwa pemerintah tidak punya jalan lain dalam kerangka penyelamatan anggaran negara selain menaikkan harga BBM. Namun SBY memastikan bahwa kebijakan tersebut sudah diperhitungkan dengan sangat matang dan bukan kebijakan asal-asalan. SBY mengaku terpaksa mengambil kebijakan kenaikan harga BBM lantaran tidak ada jalan keluar lain untuk menyelamatkan kondisi ekonomi nasional. Terlebih, setelah hasil kajian menggambarkan bahwa selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran. Alasannya karena ternyata yang menikmati golongan kaya yang sepatutnya tidak mendapat subsidi. Lebih lanjut SBY mengatakan, dengan mengurangi alokasi anggaran subsidi BBM, pemerintah memiliki ruang untuk alokasi anggaran infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan. Menurutnya, tak mungkin membiarkan anggaran subsidi terus merongrong anggaran negara. Presiden juga menuturkan, APBN-P yang mengakomodir kebijakan kenaikan harga BBM dan bantuan proteksi masyarakat akan membantu mengamankan kondisi keuangan negara.
Seiring dengan pengakuan SBY, berbagai iklan di beberapa media televisi, cetak, radio semarak dan hingar bingar dipublikasi oleh beberapa Kementerian dan beberapa organisasi terkait. Salah satunya ada iklan tentang masalah subsidi BBM yang disiarkan melalui televisi, pengiklannya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin elit Partai Demokrat Jero Wacik. Iklan itu menyatakan bahwa 80% subsidi BBM justeru dinikmati orang kaya, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan mengurangi subsidi tentu mempunyai konsekuensi logis yaitu naiknya harga BBM. Ekses negatif kenaikan harga BBM pasti membebani rakyat, sebab kebijakan pemerintah tersebut akan berakibat ada diantara warga negara menjadi termiskinkan. Pemerintah memperkirakan sekitar 15.300.000 warga miskin perlu diberi bantuan uang yang dirancang dalam bentuk program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Program yang membutuhkan dana yang belum tersedia dalam APBN 2013. Sehingga diperlukan perubahan yang membutuhkan persetujuan DPR agar tertuang dalam UU APBN-Perubahan tahun 2013.
Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) yang merupakan aliansi strategis Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) dan Gerakan Perubahan (GarpU) kembali menegaskan pemahaman subsidi. Pertama, subsidi adalah produk kebijakan, maka subsidi BBM adalah produk kebijakan pemerintah. Kedua, berbicara tentang subsidi, pasti sasarannya adalah warga berpenghasilan rendah, masyarakat miskin. Ketiga, pengertian pemerintah adalah pengendali atas jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga interaksi kehidupan sosial berlangsung aman tertib, damai dan sejahtera. "Dengan demikian pemerintah yang membuat kebijakan subsidi, otomatis pemerintah pula yang bertanggung jawab. Pemerintahlah yang bertanggung jawab mengendalikan subsidi BBM tersebut agar sampai sasaran, yaitu kepada warga perpenghasilan rendah atau warga miskin" ujar Komandan GNM, Binsar Effendi Hutabarat dalam rilisnya kepada pers (13/6/2013).
Jadi, menurut Binsar Effendi yang juga Ketua Umum eSPeKaPe, "kita tanyakan saja apakah kebijakan pemerintah tersebut realisasinya tepat sasaran sesuai niatnya, yaitu kepada warga miskin. Sebab melalui iklannya tersebut pemerintah sudah dengan tegas mengatakan 80% subsidi BBM dinikmati orang kaya. Dan, pemerintah pula menyatakan bahwa subsidi tidak tepat sasaran. Pertanyaanya kemudian, mengapa melenceng, mengapa tidak tepat sasaran? Jawabannya sudahlah jelas, membuktikan bahwa pemerintah sendiri tak mampu mengendalikannya, sehingga subsidinya kesasar".
Padahal yang namanya orang kaya, berapapun harga BBM dinaikkan, lanjutnya, dipastikan akan dibeli juga oleh mereka. Sebaliknya bagi orang miskin, berapapun kenaikan harga BBM yang effek dominonya akan terdongkraknya kenaikan harga sembako dan ongkos angkutan umum, dipastikan akan menggerus kemampuan daya beli mereka. Organda Kota sendiri sudah menyiapkan tarif baru jika pemerintah menaikkan harga BBM. Hal itu diungkapkan ketua Organda Kota, Deddy Sudiardi (12/6/2013). Perkiraan tarif baru nanti yakni naik sekitar 30 persen dari tarif yang lama. Angka 30 persen yang diusulkan pihaknya berasal dari perhitungan yang sudah disusun.
"Padahal putusan MK agar pemerintah memperbaiki Pasal 28 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebenarnya ditujukan agar pemerintah lebih dulu menaruh perhatian atas kemampuan daya beli rakyat. Jika rakyat menolaknya tapi pemerintah memaksa dengan menjustifikasi pembenarannya, berarti telah mengkhianati amanat konstitusi" tandas Binsar Effendi yang Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966.
Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi dalam kesempatan yang sama mengkritisi pemberian BLSM untuk 15.300.000 warga miskin, padahal data terbaru dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah koordinasi Wakil Presiden telah menghitung peningkatan angka jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2012 hingga 2013 mencapai angka 96 juta jiwa. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dari data tahun 2012 yang hanya mencapai 76,4 juta jiwa. Dengan meningkatnya angka jumlah orang miskin di Indonesia tersebut, maka DPR telah sepakat untuk menambah jumlah angka anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk total 96 juta jiwa. "Nah sisa 80,7 juta warga miskin yang tidak kebagian dari hitungan 96 juta dikurangi 15,3 juta, terus mau diapakan oleh Pemerintah?. Sementara mereka akan mendapat beban berat tambahan 30 persen biaya hidupnya dari kenaikan harga premium dan solar rata-rata 30 persen".
Muslim Arbi yang juga Koordinator Eksekutif GarpU, mengutip hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) pada Minggu (2/6/2013), sebanyak 86,1 persen responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Dan jajak pendapat LSI di TVOne pada Senin (3/6/2013) jam 18.50, menghasilkan 62,35 persen rakyat mendukung sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kenaikan BBM. Hanya 29,15 persen yang tidak mendukung, dan sisanya yang 8,5 persen tidak menjawab. "Namun SBY memastikan bahwa kebijakan tersebut sudah diperhitungkan dengan sangat matang dan bukan kebijakan asal-asalan, padahal hasil kedua lembaga survey yang kredibel dan akuntabel menghasilkan mayaoritas rakyat menolaknya. Padahal SBY terpilih kembali menjadi presiden adalah hasil dari sekitar 60 persen pilihan rakyat, kenapa mesti melakukan pendzholiman terhadap rakyatnya?" katanya tandas.
Muslim Arbi pun mengingatkan bahwa di dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM dinyatakan, antara lain bahwa program utama adalah rasionalisasi harga BBM seperti dengan alternatif melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional, alias, pencabutan subsidi BBM. Sejak awal diparuh Mei 2003, sudah dikemukakan oleh Menteri ESDM kala itu Purnomo Yusgiantoro, bahwa kenaikan harga BBM memang untuk membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. "Selama ini beberapa SPBU non Pertamina sepi pembeli dan mereka mengalami kerugian besar, bahkan sebagian sudah tutup. Inilah alasan sebenarnya dibalik Pemerintah ngotot untuk menaikkan harga BBM, yaitu untuk mengikuti keinginan para kapitalis sebagaimana yang terungkap dalam dokumen World Bank" katanya tegas.
Kenaikan harga BBM, lanjut Komandan GNM Binsar Effendi, tidak lain adalah amanat liberalisasi dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF) pada Januari 2000. Menyusul perintah Bank Dunia dengan menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank) tahun 2001. Itulah sebenarnya alasan mendasar semua program pengurangan subsidi, termasuk pengurangan subsidi energi seperti BBM dan listrik. Juga tertuang dalam dokumen program USAID, Title And Number : Energy Sector Governance Streng thened, 497-013 yang menyebutkan bahwa tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta.
"Karena itulah, pengurangan subsidi bahkan sampai penghapusan subsidi BBM bagi pemerintah dianggap sebuah amanat, kendati itu amanat dari IMF dan Bank Dunia. Bahkan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, meski harus memberatkan rakyat dan mengkhianati amanat UUD 1945 yang sudah diputuskan MK. Ini memang perilaku dzholim", pungkas Binsar Effendi sembari menyerukan agar rakyat melakukan penolakan, terkait hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945.
Semoga bermanfaat.
Kahumas GNM, Yasri Pasha.
baca juga :
Mau Bohongi DPR Masalah BBM, Pemerintahan SBY-Boediono Malah Ketahuan ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2013/06/medianusantara-mau-bohongi-dpr-masalah.html
Jakarta, aliansi_rakyat@yahoo.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Desember 2004 telah mengabulkan sebagian permohonan pengujian material UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2). Ketiga pasal tersebut oleh Ketua MK, Jimly Asshiddiqie saat itu, dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Khususnya putusan Pasal 28 ayat (2) UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang berbunyi "Harga BBM dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar", dan ayat (3) yang berbunyi "Pelaksanaan kebijakan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu" juga diminta MK untuk diperbaiki.
Namun untuk kesekian kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara pada 12 Juni 2013, mengakui bahwa pemerintah tidak punya jalan lain dalam kerangka penyelamatan anggaran negara selain menaikkan harga BBM. Namun SBY memastikan bahwa kebijakan tersebut sudah diperhitungkan dengan sangat matang dan bukan kebijakan asal-asalan. SBY mengaku terpaksa mengambil kebijakan kenaikan harga BBM lantaran tidak ada jalan keluar lain untuk menyelamatkan kondisi ekonomi nasional. Terlebih, setelah hasil kajian menggambarkan bahwa selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran. Alasannya karena ternyata yang menikmati golongan kaya yang sepatutnya tidak mendapat subsidi. Lebih lanjut SBY mengatakan, dengan mengurangi alokasi anggaran subsidi BBM, pemerintah memiliki ruang untuk alokasi anggaran infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan. Menurutnya, tak mungkin membiarkan anggaran subsidi terus merongrong anggaran negara. Presiden juga menuturkan, APBN-P yang mengakomodir kebijakan kenaikan harga BBM dan bantuan proteksi masyarakat akan membantu mengamankan kondisi keuangan negara.
Seiring dengan pengakuan SBY, berbagai iklan di beberapa media televisi, cetak, radio semarak dan hingar bingar dipublikasi oleh beberapa Kementerian dan beberapa organisasi terkait. Salah satunya ada iklan tentang masalah subsidi BBM yang disiarkan melalui televisi, pengiklannya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin elit Partai Demokrat Jero Wacik. Iklan itu menyatakan bahwa 80% subsidi BBM justeru dinikmati orang kaya, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan mengurangi subsidi tentu mempunyai konsekuensi logis yaitu naiknya harga BBM. Ekses negatif kenaikan harga BBM pasti membebani rakyat, sebab kebijakan pemerintah tersebut akan berakibat ada diantara warga negara menjadi termiskinkan. Pemerintah memperkirakan sekitar 15.300.000 warga miskin perlu diberi bantuan uang yang dirancang dalam bentuk program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Program yang membutuhkan dana yang belum tersedia dalam APBN 2013. Sehingga diperlukan perubahan yang membutuhkan persetujuan DPR agar tertuang dalam UU APBN-Perubahan tahun 2013.
Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) yang merupakan aliansi strategis Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) dan Gerakan Perubahan (GarpU) kembali menegaskan pemahaman subsidi. Pertama, subsidi adalah produk kebijakan, maka subsidi BBM adalah produk kebijakan pemerintah. Kedua, berbicara tentang subsidi, pasti sasarannya adalah warga berpenghasilan rendah, masyarakat miskin. Ketiga, pengertian pemerintah adalah pengendali atas jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga interaksi kehidupan sosial berlangsung aman tertib, damai dan sejahtera. "Dengan demikian pemerintah yang membuat kebijakan subsidi, otomatis pemerintah pula yang bertanggung jawab. Pemerintahlah yang bertanggung jawab mengendalikan subsidi BBM tersebut agar sampai sasaran, yaitu kepada warga perpenghasilan rendah atau warga miskin" ujar Komandan GNM, Binsar Effendi Hutabarat dalam rilisnya kepada pers (13/6/2013).
Jadi, menurut Binsar Effendi yang juga Ketua Umum eSPeKaPe, "kita tanyakan saja apakah kebijakan pemerintah tersebut realisasinya tepat sasaran sesuai niatnya, yaitu kepada warga miskin. Sebab melalui iklannya tersebut pemerintah sudah dengan tegas mengatakan 80% subsidi BBM dinikmati orang kaya. Dan, pemerintah pula menyatakan bahwa subsidi tidak tepat sasaran. Pertanyaanya kemudian, mengapa melenceng, mengapa tidak tepat sasaran? Jawabannya sudahlah jelas, membuktikan bahwa pemerintah sendiri tak mampu mengendalikannya, sehingga subsidinya kesasar".
Padahal yang namanya orang kaya, berapapun harga BBM dinaikkan, lanjutnya, dipastikan akan dibeli juga oleh mereka. Sebaliknya bagi orang miskin, berapapun kenaikan harga BBM yang effek dominonya akan terdongkraknya kenaikan harga sembako dan ongkos angkutan umum, dipastikan akan menggerus kemampuan daya beli mereka. Organda Kota sendiri sudah menyiapkan tarif baru jika pemerintah menaikkan harga BBM. Hal itu diungkapkan ketua Organda Kota, Deddy Sudiardi (12/6/2013). Perkiraan tarif baru nanti yakni naik sekitar 30 persen dari tarif yang lama. Angka 30 persen yang diusulkan pihaknya berasal dari perhitungan yang sudah disusun.
"Padahal putusan MK agar pemerintah memperbaiki Pasal 28 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebenarnya ditujukan agar pemerintah lebih dulu menaruh perhatian atas kemampuan daya beli rakyat. Jika rakyat menolaknya tapi pemerintah memaksa dengan menjustifikasi pembenarannya, berarti telah mengkhianati amanat konstitusi" tandas Binsar Effendi yang Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966.
Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi dalam kesempatan yang sama mengkritisi pemberian BLSM untuk 15.300.000 warga miskin, padahal data terbaru dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah koordinasi Wakil Presiden telah menghitung peningkatan angka jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2012 hingga 2013 mencapai angka 96 juta jiwa. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dari data tahun 2012 yang hanya mencapai 76,4 juta jiwa. Dengan meningkatnya angka jumlah orang miskin di Indonesia tersebut, maka DPR telah sepakat untuk menambah jumlah angka anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk total 96 juta jiwa. "Nah sisa 80,7 juta warga miskin yang tidak kebagian dari hitungan 96 juta dikurangi 15,3 juta, terus mau diapakan oleh Pemerintah?. Sementara mereka akan mendapat beban berat tambahan 30 persen biaya hidupnya dari kenaikan harga premium dan solar rata-rata 30 persen".
Muslim Arbi yang juga Koordinator Eksekutif GarpU, mengutip hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) pada Minggu (2/6/2013), sebanyak 86,1 persen responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Dan jajak pendapat LSI di TVOne pada Senin (3/6/2013) jam 18.50, menghasilkan 62,35 persen rakyat mendukung sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kenaikan BBM. Hanya 29,15 persen yang tidak mendukung, dan sisanya yang 8,5 persen tidak menjawab. "Namun SBY memastikan bahwa kebijakan tersebut sudah diperhitungkan dengan sangat matang dan bukan kebijakan asal-asalan, padahal hasil kedua lembaga survey yang kredibel dan akuntabel menghasilkan mayaoritas rakyat menolaknya. Padahal SBY terpilih kembali menjadi presiden adalah hasil dari sekitar 60 persen pilihan rakyat, kenapa mesti melakukan pendzholiman terhadap rakyatnya?" katanya tandas.
Muslim Arbi pun mengingatkan bahwa di dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM dinyatakan, antara lain bahwa program utama adalah rasionalisasi harga BBM seperti dengan alternatif melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional, alias, pencabutan subsidi BBM. Sejak awal diparuh Mei 2003, sudah dikemukakan oleh Menteri ESDM kala itu Purnomo Yusgiantoro, bahwa kenaikan harga BBM memang untuk membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. "Selama ini beberapa SPBU non Pertamina sepi pembeli dan mereka mengalami kerugian besar, bahkan sebagian sudah tutup. Inilah alasan sebenarnya dibalik Pemerintah ngotot untuk menaikkan harga BBM, yaitu untuk mengikuti keinginan para kapitalis sebagaimana yang terungkap dalam dokumen World Bank" katanya tegas.
Kenaikan harga BBM, lanjut Komandan GNM Binsar Effendi, tidak lain adalah amanat liberalisasi dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF) pada Januari 2000. Menyusul perintah Bank Dunia dengan menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank) tahun 2001. Itulah sebenarnya alasan mendasar semua program pengurangan subsidi, termasuk pengurangan subsidi energi seperti BBM dan listrik. Juga tertuang dalam dokumen program USAID, Title And Number : Energy Sector Governance Streng thened, 497-013 yang menyebutkan bahwa tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta.
"Karena itulah, pengurangan subsidi bahkan sampai penghapusan subsidi BBM bagi pemerintah dianggap sebuah amanat, kendati itu amanat dari IMF dan Bank Dunia. Bahkan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, meski harus memberatkan rakyat dan mengkhianati amanat UUD 1945 yang sudah diputuskan MK. Ini memang perilaku dzholim", pungkas Binsar Effendi sembari menyerukan agar rakyat melakukan penolakan, terkait hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945.
Semoga bermanfaat.
Kahumas GNM, Yasri Pasha.
baca juga :
Mau Bohongi DPR Masalah BBM, Pemerintahan SBY-Boediono Malah Ketahuan ==> http://
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment