Rekayasa Bailout Demi Kroni
by Bambang Soesatyo, Anggota Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Bank Century DPR RI
BAILOUT Bank Century bukan untuk melindungi perekonomian negara, melainkan hanya ber tujuan menyelamatkan dana deposan besar yang berspekulasi di bank sarat masalah itu. Kegagalan Century akan berdampak sistemik tak lebih dari argumentasi omong kosong untuk membungkus moral hazard dibalik 'kebijakan' penyelamatan itu.
Sejak awal mega skandal ini terungkap, banyak kalangan terheran-heran dengan langkah berani Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyedot dana Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan untuk menyelamatkan bank kecil sarat masalah bernama Bank Century itu. Kala itu, muncul pertanyaan; sebesar apakah size Bank Century sehingga KSSK harus berjibaku menyelamatkannya dengan dana sebanyak itu?
Kalau diibaratkan liga-liga dalam kompetisi sepak bola, bank dengan sejarah yang tidak elok ini bahkan belum memenuhi syarat untuk dipromosikan ikut bersaing pada level komppetisi terendah sekali pun. Artinya, kalau bank ini dieliminasi, tak ada dampak negatif sekecil apa pun karena size-nya memang terlalu kecil dalam konteks industri perbankan nasional.
Semakin membingungkan lagi ketika dimunculkan argumentasi bahwa jika tidak diselamatkan dengan dana sebesar itu, Century akan menjadi bank gagal berdampak sistemik. Dampak sistemik menurut ukuran apa dan versi siapa? Karena sudah diibaratkan penderita kusta, hamper semua bank besar dan lembaga keuangan terkemuka di negara ini tak mau atau menolak berurusan dengan Century. Bahkan nasabah dan deposan yang prudent pun tak pernah memilih bank ini. Kenapa? Karena sejarahnya yang kelam itu. Hanya mereka yang ingin berspekulasi yang berani menempatkan dananya di Bank Century.
Karena itu, argumentasi tentang kegagalan berdampak sistemik itu menjadi perdebatan yang nyaris tak berkesudahan. Namun, publik sangat yakin bahwa kalau pun pada saat itu Bank Century ditetapkan menjadi bank gagal dan dilikuidasi, ketetepan itu tidak menimbulkan dampak apa pun. Tidak ada heboh apalagi panik masyarakat. Juga tidak akan menarik perhatian, karena bank ini tidak popular di mata nasabah maupun deposan.
Kalau seperti itu posisinya, dampak sistemik seperti apa yang akan terjadi jika Century tidak diselamatkan? Tahu bahwa argumentasi itu sebuah omong kosong belaka, Wakil Presiden (waktu itu) Jusuf Kalla sekali pun tidak cemas seandainya bank ini tidak diselamatkan. Dia bahkan memerintahkan agar pemilik Bank Century ditangkap, karena diduga menggelapkan dana deposan. Pendirian Jusuf Kalla saat itu terbukti benar di kemudian hari.
Belum lama ini, Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus Bank Century menerima dokumen yang memuat rincian data yang bisa memperkuat bukti-bukti yang telah mengemuka selama ini. Data dari dokumen terbaru itu memuat matrix dengan berbagai teori untuk dijadikan landasan kebijakan menyelamatkan Bank Century.
Setelah dokumen itu dipelajari dengan seksama, mudah dibuat kesimpulan bahwa argumentasi tentang bank gagal berdampak sistemik itu tak lebih dari sebuah rekayasa untuk membenarkan penggunaan dana Rp 6,7 triliun di LPS. Dengan demikian, ketidakpercayaan sebagian khalayak atas argumen tersebut mendapatkan pembenarannya.
Kalau perekonomian negara aman-aman saja, dana sebesar itu digunakan untuk apa? Dokumen yang sama memberikan petunjuk bahwa dana LPS itu digunakan untuk menyelamatkan dana milik Budi Sampoerna sebesar Rp 2 triliun, dana milik Yayasan Bank Indonesia, dan ratusan miliar dana milik sejumlah BUMN, seperti Telkom dan Jamsostek. Mengapa harus menggunakan dana dari LPS? Karena para pemilik Bank Century sudah menggelapkan dana nasabah, dan tak mampu melaksanakan kewajibannya pada saat dana-dana deposito itu jatuh tempo.
Sarat Kejanggalan
Kalau seorang pengusaha besar dengan dana Rp 2 triliun mencoba peruntungan atau berspekulasi di Bank Century, jelas bukan sesuatu yang harus dipertanyakan. Akan tetapi, jika sampai Yayasan BI dan sejumlah BUMN juga melakukan hal yang sama di Bank Century, tentu saja patut dipertanyakan. Baik yayasan BI maupun semua BUMN diwajibkan untuk prudent dalam mengelola dana, sehingga wajib memrioritaskan penempatan dana mereka di bank milik pemerintah.
Maka, kalau yayasan BI dan beberapa BUMN berani menaruh dana ratusan miliar di Bank Century saat itu, ini adalah langkah spekulatif. Kalau berani berspekulasi di bank yang sarat masalah itu, tentu karena ada hubungan yang spesial di antara masing-masing pihak. Kiranya, hal ini juga perlu didalami penegak hukum.
Semakin sulit untuk menggugurkan penilaian bahwa bailout Bank Century yang menggelembung sampai Rp 6,7 triliun itu sebagai moral hazard. Penilaian ini setidaknya sudah diperkuat oleh pengakuan mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya mengkonfrontir Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam kapasitas mereka sebagai mantan ketua dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Di forum Rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century, awal Januari 2010, Sri Mulyani sudah menegaskan bahwa dia bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp 632 miliar. Angka Rp 632 miliar ditetapkan BI sebagai acuan menangani Bank Century. Pertanyaannya, siapa harus bertanggungjawab atas sisa dana talangan yang jumlahnya lebih dari Rp 6 triliun itu?
Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan ini saja sudah menjadi petunjuk yang sangat jelas bahwa bailout Bank Century sarat masalah. Sebab, keputusan dan pertanggungjawaban KSSK mestinya bulat alias satu suara. Bukankah KSSK hanya beranggotakan Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota, dan Gubernur BI sebagai anggota?
Apalagi, Ketidakberesan dalam menghitung nilai baiout menjadi semakin gamblang ketika publik menyimak penuturan Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya. Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa tertipu dengan data yang diberikan BI dalam keputusan bailout Bank Century. Hal ini dituturkan Kalla di forum rapat Pansus Bank Bank Century, 14 Februari 2010.
Kalla merinci, Sri Mulyani menemuinya di kediaman resmi wakil presiden pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah Ketua KSSK itu mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamtan Bank Century. Awalnya Bank Indonesia merekomendasikan dana talangan Bank Century hanya Rp 632 miliar. Ternyata, nilai bailout membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Dengan demikian, sudah cukup alasan bagi KPK untuk mengkonfrontir Sri Mulyani dan Boediono.
Menarik jika menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani. Dia menggambarkan bahwa hasil pemeriksaan itu semakin mendekatkan KPK dengan pihak-pihak yang merekayasa penyalahgunaan dana LPS sebesar Rp 6,7 triliun itu.
BAILOUT Bank Century bukan untuk melindungi perekonomian negara, melainkan hanya ber tujuan menyelamatkan dana deposan besar yang berspekulasi di bank sarat masalah itu. Kegagalan Century akan berdampak sistemik tak lebih dari argumentasi omong kosong untuk membungkus moral hazard dibalik 'kebijakan' penyelamatan itu.
Sejak awal mega skandal ini terungkap, banyak kalangan terheran-heran dengan langkah berani Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyedot dana Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan untuk menyelamatkan bank kecil sarat masalah bernama Bank Century itu. Kala itu, muncul pertanyaan; sebesar apakah size Bank Century sehingga KSSK harus berjibaku menyelamatkannya dengan dana sebanyak itu?
Kalau diibaratkan liga-liga dalam kompetisi sepak bola, bank dengan sejarah yang tidak elok ini bahkan belum memenuhi syarat untuk dipromosikan ikut bersaing pada level komppetisi terendah sekali pun. Artinya, kalau bank ini dieliminasi, tak ada dampak negatif sekecil apa pun karena size-nya memang terlalu kecil dalam konteks industri perbankan nasional.
Semakin membingungkan lagi ketika dimunculkan argumentasi bahwa jika tidak diselamatkan dengan dana sebesar itu, Century akan menjadi bank gagal berdampak sistemik. Dampak sistemik menurut ukuran apa dan versi siapa? Karena sudah diibaratkan penderita kusta, hamper semua bank besar dan lembaga keuangan terkemuka di negara ini tak mau atau menolak berurusan dengan Century. Bahkan nasabah dan deposan yang prudent pun tak pernah memilih bank ini. Kenapa? Karena sejarahnya yang kelam itu. Hanya mereka yang ingin berspekulasi yang berani menempatkan dananya di Bank Century.
Karena itu, argumentasi tentang kegagalan berdampak sistemik itu menjadi perdebatan yang nyaris tak berkesudahan. Namun, publik sangat yakin bahwa kalau pun pada saat itu Bank Century ditetapkan menjadi bank gagal dan dilikuidasi, ketetepan itu tidak menimbulkan dampak apa pun. Tidak ada heboh apalagi panik masyarakat. Juga tidak akan menarik perhatian, karena bank ini tidak popular di mata nasabah maupun deposan.
Kalau seperti itu posisinya, dampak sistemik seperti apa yang akan terjadi jika Century tidak diselamatkan? Tahu bahwa argumentasi itu sebuah omong kosong belaka, Wakil Presiden (waktu itu) Jusuf Kalla sekali pun tidak cemas seandainya bank ini tidak diselamatkan. Dia bahkan memerintahkan agar pemilik Bank Century ditangkap, karena diduga menggelapkan dana deposan. Pendirian Jusuf Kalla saat itu terbukti benar di kemudian hari.
Belum lama ini, Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk proses hukum kasus Bank Century menerima dokumen yang memuat rincian data yang bisa memperkuat bukti-bukti yang telah mengemuka selama ini. Data dari dokumen terbaru itu memuat matrix dengan berbagai teori untuk dijadikan landasan kebijakan menyelamatkan Bank Century.
Setelah dokumen itu dipelajari dengan seksama, mudah dibuat kesimpulan bahwa argumentasi tentang bank gagal berdampak sistemik itu tak lebih dari sebuah rekayasa untuk membenarkan penggunaan dana Rp 6,7 triliun di LPS. Dengan demikian, ketidakpercayaan sebagian khalayak atas argumen tersebut mendapatkan pembenarannya.
Kalau perekonomian negara aman-aman saja, dana sebesar itu digunakan untuk apa? Dokumen yang sama memberikan petunjuk bahwa dana LPS itu digunakan untuk menyelamatkan dana milik Budi Sampoerna sebesar Rp 2 triliun, dana milik Yayasan Bank Indonesia, dan ratusan miliar dana milik sejumlah BUMN, seperti Telkom dan Jamsostek. Mengapa harus menggunakan dana dari LPS? Karena para pemilik Bank Century sudah menggelapkan dana nasabah, dan tak mampu melaksanakan kewajibannya pada saat dana-dana deposito itu jatuh tempo.
Sarat Kejanggalan
Kalau seorang pengusaha besar dengan dana Rp 2 triliun mencoba peruntungan atau berspekulasi di Bank Century, jelas bukan sesuatu yang harus dipertanyakan. Akan tetapi, jika sampai Yayasan BI dan sejumlah BUMN juga melakukan hal yang sama di Bank Century, tentu saja patut dipertanyakan. Baik yayasan BI maupun semua BUMN diwajibkan untuk prudent dalam mengelola dana, sehingga wajib memrioritaskan penempatan dana mereka di bank milik pemerintah.
Maka, kalau yayasan BI dan beberapa BUMN berani menaruh dana ratusan miliar di Bank Century saat itu, ini adalah langkah spekulatif. Kalau berani berspekulasi di bank yang sarat masalah itu, tentu karena ada hubungan yang spesial di antara masing-masing pihak. Kiranya, hal ini juga perlu didalami penegak hukum.
Semakin sulit untuk menggugurkan penilaian bahwa bailout Bank Century yang menggelembung sampai Rp 6,7 triliun itu sebagai moral hazard. Penilaian ini setidaknya sudah diperkuat oleh pengakuan mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya mengkonfrontir Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam kapasitas mereka sebagai mantan ketua dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Di forum Rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century, awal Januari 2010, Sri Mulyani sudah menegaskan bahwa dia bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp 632 miliar. Angka Rp 632 miliar ditetapkan BI sebagai acuan menangani Bank Century. Pertanyaannya, siapa harus bertanggungjawab atas sisa dana talangan yang jumlahnya lebih dari Rp 6 triliun itu?
Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan ini saja sudah menjadi petunjuk yang sangat jelas bahwa bailout Bank Century sarat masalah. Sebab, keputusan dan pertanggungjawaban KSSK mestinya bulat alias satu suara. Bukankah KSSK hanya beranggotakan Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota, dan Gubernur BI sebagai anggota?
Apalagi, Ketidakberesan dalam menghitung nilai baiout menjadi semakin gamblang ketika publik menyimak penuturan Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya. Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa tertipu dengan data yang diberikan BI dalam keputusan bailout Bank Century. Hal ini dituturkan Kalla di forum rapat Pansus Bank Bank Century, 14 Februari 2010.
Kalla merinci, Sri Mulyani menemuinya di kediaman resmi wakil presiden pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah Ketua KSSK itu mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamtan Bank Century. Awalnya Bank Indonesia merekomendasikan dana talangan Bank Century hanya Rp 632 miliar. Ternyata, nilai bailout membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Dengan demikian, sudah cukup alasan bagi KPK untuk mengkonfrontir Sri Mulyani dan Boediono.
Menarik jika menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani. Dia menggambarkan bahwa hasil pemeriksaan itu semakin mendekatkan KPK dengan pihak-pihak yang merekayasa penyalahgunaan dana LPS sebesar Rp 6,7 triliun itu.
baca juga :
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment