BBM dan Proses yang Destruktif
by Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI
RANGKAIAN proses yang ditempuh pemerintah untuk sekadar menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi benar-benar merusak. Bahkan dalam konteks menjaga kepentingan rakyat, proses yang berjalan sekarang destruktif.
Lalu lintas barang, termasuk kebutuhan pokok, tersendat akibat kelangkaan solar yang terjadi dibanyak daerah. Juga akibat kelangkaan bensin premium, kegiatan dan moblilitas penduduk nyaris stagnan. Biasanya, akibat kelangkaan BBM, tarif transportasi dinaikan karena para pengemudi harus membayar BBM, solar maupun bensin premium, lebih mahal dibanding situasi normal. Untuk alasan yang sama pula, harga kebutuhan pokok seperti sayur mayur, cabe dan bawang yang diangkut dari kawasan perkebunan terpaksa dinaikan. Kalau sudah naik sebelum harga baru BBM diberlakukan, harga aneka kebutuhan pokok akan terus terdongkrak begitu harga baru BBM diberlakukan. Kerusakan lainnya akan terlihat pada laju inflasi nantinya.
Kerusakan-kerusakan ini terjadi di tengah proses penetapan harga baru BBM bersubsidi yang terlihat begitu bertele-tele, sarat wacana dengan gagasan-gagasan amatiran, seperti yang tercermin dari ide dua harga untuk BBM bersubsidi di pasar yang sama. Situasi sekarang penuh dengan ketidakpastian, sehingga mendorong spekulan untuk beraksi. Ketidakpastian ini bisa menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan, karena pemerintah –sebagai penggagas kenaikan harga BBM bersubsidi – justru mengambil posisi menunggu tanggapan DPR atas proposal Dana Kompensasi Kenaikan harga BBM, yang baru akan dibahas beberapa pekan mendatang. Apa jadinya kalau DPR sampai menolak atau tidak menyetujui proposal dana kompensasi itu?
Dalam kapasitasnya sebagai eksekutif, pemerintah berwenang penuh untuk menaikan dan menurunkan harga BBM, termasuk menambah atau mengurangi volume BBM bersubsidi. Bahkan, dalam UU APBN 2013, sudah diberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk memutuskan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi, tanpa haus berkonskultasi dengan DPR. Kalau saja pemerintah berani menggunakan wewenangnya ini, persoalannya selesai, alias tidak bertele-tele seperti sekarang. Sayangnya, rakyat dihadapkan pada perilaku pemerintah yang hanya berani berwacana, tetapi takut mengambil keputusan. Akibatnya, ketidakpastian terkini sudah merusak banyak aspek dalam kehidupan rakyat.
Kebijakan menaikkan dan menurunkan harga BBM bersubsidi adalah sebuah sejarah panjang. Pemerintah mestinya bisa belajar dari sejarah itu. Misalnya, bagaimana melokalisir rencana menaikkan harga untuk mencegah kerusakan sebagaimana yang terjadi sekarang. Artinya, kalau pemerintah sendiri belum bisa memfinalkan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, sebaiknya tidak diwacanakan dulu di ruang publik. Sebab, pengalaman membuktikan bahwa begitu rencana menaikkan harga BBM bersubsidi diwacanakan, yang terjadi adalah ekses dalam beragam bentuk. Dari penimbunan BBM yang menyebabkan kelangkaan hingga meroketnya harga. Sangat aneh karena pemerintahan sekarang ini seperti tidak belajar dari sejarah.
Sudah lebih dari setahun persoalan ini diwacanakan. Bahkan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri yang member indikasi tentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2013. Dalam sebuah kesempatan di Singapura, baru-baru ini, Presiden menegaskan bahwa menaikkan harga BBM merupakan langkah pemerintah untuk mengurangi beban subsidi. "Saya belum menyampaikan berapa kenaikannya, tapi yang jelas bagus untuk fiskal, lebih sehat, tidak akan meledakkan angka kemiskinan," kata Presiden.
Namun, ketentuan waktu menaikkannya tidak dipertegas. Sebab, pemerintah masih menunggu persetujuan DPR atas proposal Dana Kompensasi dalam Perubahan (APBN-P) 2013. Dengan mengambil posisi seperti itu, sama artinya pemerintah menyerahkan sebagian persoalan kepada DPR. Kesimpulan sementara yang bisa dibuat dari posisi pemerintah yang demikian adalah harga BBM bersubsidi akan dinaikan jika DPR menyetujui proposal Dana Kompensasi. Lantas, bagaimana jika DPR menolak proposal dimaksud? Apakah persoalannya akan diambangkan seperti sekarang, atau pemerintah dengan berani mengumumkan pembatalan kenaikan harga BBM bersubsidi demi mengakhiri ketidakpastian?
Sentimen Menolak
Hampir pasti bahwa proposal Dana Kompensasi kenaikan harga BBM yang diajukan pemerintah akan menimbulkan pro kontra di DPR, dan sudah barang tentu akan menimbulkan kebisingan baru. Di DPR sendiri sudah berkembang sentimen menolak proposal itu. Sebab, dalam proposal itu, ada program yang sama dan serupa dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada warga miskin. Kekuatan-kekuatan politik di DPR tentu saja akan belajar dari pengalaman menjelang Pemilu 2009. Saat itu, BLT dijadikan alat politik bagi partai penguasa untuk meraih simpati pemilih. Mengacu pada pengalaman itulah yang memunculkan sentiment menolak proposal Dana Kompensasi dimaksud.
Lagi pula, program dana kompensasi kenaikan harga BBM adalah kebijakan populis yang instan dan tidak produktif. Dilihat dari cakupan program dan target sasarannya, dana kompensasi itu lebih memuat kepentingan politik jangka pendek. kekuatan-kekuatan politik tertentu dalam koalisi pemerintahan saat ini sedang mengonsolidasi posisi masing-masing menuju tahun Pemilu 2014. Mereka merancang dana kompensasi itu sebagai kuda tunggangan pendongkrak citra.
Target dan sasaran program dana kompensasi cenderung mengada-ada. Bukankah kompensasi beras untuk warga miskin (Raskin) sudah masuk dalam program kerja kantor Menko Kesra. Artinya, tak perlu inisiatif baru yang harus dimasukan dalam program dana kompensasi itu. Bantuan bagi siswa miskin juga tak memerlukan inisiatif baru karena alokasi APBN untuk sektor pendidikan yang 20 persen itu sudah harus melayani kebutuhan siswa miskin. Begitu pula dengan program Bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai . Ini adalah nama lain dari BLT. Motif politik dari BLT ini begitu nyata, sehingga sarat dengan potensi penyalahgunaan. Kalau dikatakan sementara, BLT ini akan berlangsung berapa lama? Siapa yang menentukan penerima BLT? Dan, apa kriteria si penerima?
Alasan lain untuk menolak proposal itu adalah fakta bahwa pemerintah belum efektif dalam mengelola BBM bersubsidi, karena volume pencurian atau penyelundupan masih terbilang tinggi. Kelangkaan BBM bersubsidi saat ini, sangat janggal. Kelanggkaan saat ini bukan disebabkan menipisnya stok kuota BBM bersubisidi akibat tingginya serapan konsumen dalam negeri.
Kelangkaan lebih disebabkan pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi oleh oknum aparat negara. Tingginya intensitas pencurian BBM bersubsidi akhir-akhir ini diduga berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kepentingan politik menyongsong tahun Pemilu 2014.
Artinya, Pemerintah belum all out memerangi penyelundupan BBM bersubsidi. Alih-alih memperketat pengawasan, pemerintah justru lebih memilih menambah kuota BBM bersubsidi. Dengan langkah instan seperti itu, patut diduga ada oknum pemerintah yang berkepentingan dan menikmati hasil pencurian BBM bersubsidi.
Kelangkaan saat ini janggal karena tahun anggaran baru berjalan empat bulan saja. Dan, kalau fakta kelangkaan terjadi di begitu banyak daerah, berarti pencurian BBM bersubsidi sejak awal tahun ini mencapai skala sangat besar alias gila-gilaan. Patut diduga, pihak yang mengotaki pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi sedang menghimpun dana untuk menyongsong Pemilu 2014.
Layak untuk dipertanyakakn mengapa Menteri ESDM begitu ringan tangan dengan rencana menambah kuota BBM bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter. Seharusnya, kementerian ESDM meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lainnya guna memperkecil akses penyelundupan BBM bersubsidi.
Belum lama ini, Satgas pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi menangkap Kapal MT Zarena yang sedang mencoba menyelundupkan solar subsidi ke Singapura di perairan Batam. Kapal MT Zarena berlogo Pertamina, dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pun waktu itu sudah memastikan keterlibatan oknum Pertamina dalam kasus ini. Inilah salah satu bukti yang menjelaskan pemerintah belum becus mengelola BBM bersubsidi.
Maka, sekalipun tampak populis, program dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak diperlukan. Keadaan akan baik-baik saja pasca naiknya harga BBM bersubsidi, jika pemerintah sigap dan bekerja keras mentralisasi harga di pasar, serta aktif melancarkan operasi pasar untuk mengendalikan harga.
Sekarang ini, beberapa persoalan tereskalasi karena pemerintah menjadi pemain utama yang menggoreng isu kenaikan harga BBM. Sangat memprihatinkan karena pemerintah tidak cermat memperhitungkan isu dampak kenaikan harga BBM.
by Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI
RANGKAIAN proses yang ditempuh pemerintah untuk sekadar menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi benar-benar merusak. Bahkan dalam konteks menjaga kepentingan rakyat, proses yang berjalan sekarang destruktif.
Lalu lintas barang, termasuk kebutuhan pokok, tersendat akibat kelangkaan solar yang terjadi dibanyak daerah. Juga akibat kelangkaan bensin premium, kegiatan dan moblilitas penduduk nyaris stagnan. Biasanya, akibat kelangkaan BBM, tarif transportasi dinaikan karena para pengemudi harus membayar BBM, solar maupun bensin premium, lebih mahal dibanding situasi normal. Untuk alasan yang sama pula, harga kebutuhan pokok seperti sayur mayur, cabe dan bawang yang diangkut dari kawasan perkebunan terpaksa dinaikan. Kalau sudah naik sebelum harga baru BBM diberlakukan, harga aneka kebutuhan pokok akan terus terdongkrak begitu harga baru BBM diberlakukan. Kerusakan lainnya akan terlihat pada laju inflasi nantinya.
Kerusakan-kerusakan ini terjadi di tengah proses penetapan harga baru BBM bersubsidi yang terlihat begitu bertele-tele, sarat wacana dengan gagasan-gagasan amatiran, seperti yang tercermin dari ide dua harga untuk BBM bersubsidi di pasar yang sama. Situasi sekarang penuh dengan ketidakpastian, sehingga mendorong spekulan untuk beraksi. Ketidakpastian ini bisa menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan, karena pemerintah –sebagai penggagas kenaikan harga BBM bersubsidi – justru mengambil posisi menunggu tanggapan DPR atas proposal Dana Kompensasi Kenaikan harga BBM, yang baru akan dibahas beberapa pekan mendatang. Apa jadinya kalau DPR sampai menolak atau tidak menyetujui proposal dana kompensasi itu?
Dalam kapasitasnya sebagai eksekutif, pemerintah berwenang penuh untuk menaikan dan menurunkan harga BBM, termasuk menambah atau mengurangi volume BBM bersubsidi. Bahkan, dalam UU APBN 2013, sudah diberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk memutuskan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi, tanpa haus berkonskultasi dengan DPR. Kalau saja pemerintah berani menggunakan wewenangnya ini, persoalannya selesai, alias tidak bertele-tele seperti sekarang. Sayangnya, rakyat dihadapkan pada perilaku pemerintah yang hanya berani berwacana, tetapi takut mengambil keputusan. Akibatnya, ketidakpastian terkini sudah merusak banyak aspek dalam kehidupan rakyat.
Kebijakan menaikkan dan menurunkan harga BBM bersubsidi adalah sebuah sejarah panjang. Pemerintah mestinya bisa belajar dari sejarah itu. Misalnya, bagaimana melokalisir rencana menaikkan harga untuk mencegah kerusakan sebagaimana yang terjadi sekarang. Artinya, kalau pemerintah sendiri belum bisa memfinalkan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, sebaiknya tidak diwacanakan dulu di ruang publik. Sebab, pengalaman membuktikan bahwa begitu rencana menaikkan harga BBM bersubsidi diwacanakan, yang terjadi adalah ekses dalam beragam bentuk. Dari penimbunan BBM yang menyebabkan kelangkaan hingga meroketnya harga. Sangat aneh karena pemerintahan sekarang ini seperti tidak belajar dari sejarah.
Sudah lebih dari setahun persoalan ini diwacanakan. Bahkan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri yang member indikasi tentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2013. Dalam sebuah kesempatan di Singapura, baru-baru ini, Presiden menegaskan bahwa menaikkan harga BBM merupakan langkah pemerintah untuk mengurangi beban subsidi. "Saya belum menyampaikan berapa kenaikannya, tapi yang jelas bagus untuk fiskal, lebih sehat, tidak akan meledakkan angka kemiskinan," kata Presiden.
Namun, ketentuan waktu menaikkannya tidak dipertegas. Sebab, pemerintah masih menunggu persetujuan DPR atas proposal Dana Kompensasi dalam Perubahan (APBN-P) 2013. Dengan mengambil posisi seperti itu, sama artinya pemerintah menyerahkan sebagian persoalan kepada DPR. Kesimpulan sementara yang bisa dibuat dari posisi pemerintah yang demikian adalah harga BBM bersubsidi akan dinaikan jika DPR menyetujui proposal Dana Kompensasi. Lantas, bagaimana jika DPR menolak proposal dimaksud? Apakah persoalannya akan diambangkan seperti sekarang, atau pemerintah dengan berani mengumumkan pembatalan kenaikan harga BBM bersubsidi demi mengakhiri ketidakpastian?
Sentimen Menolak
Hampir pasti bahwa proposal Dana Kompensasi kenaikan harga BBM yang diajukan pemerintah akan menimbulkan pro kontra di DPR, dan sudah barang tentu akan menimbulkan kebisingan baru. Di DPR sendiri sudah berkembang sentimen menolak proposal itu. Sebab, dalam proposal itu, ada program yang sama dan serupa dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada warga miskin. Kekuatan-kekuatan politik di DPR tentu saja akan belajar dari pengalaman menjelang Pemilu 2009. Saat itu, BLT dijadikan alat politik bagi partai penguasa untuk meraih simpati pemilih. Mengacu pada pengalaman itulah yang memunculkan sentiment menolak proposal Dana Kompensasi dimaksud.
Lagi pula, program dana kompensasi kenaikan harga BBM adalah kebijakan populis yang instan dan tidak produktif. Dilihat dari cakupan program dan target sasarannya, dana kompensasi itu lebih memuat kepentingan politik jangka pendek. kekuatan-kekuatan politik tertentu dalam koalisi pemerintahan saat ini sedang mengonsolidasi posisi masing-masing menuju tahun Pemilu 2014. Mereka merancang dana kompensasi itu sebagai kuda tunggangan pendongkrak citra.
Target dan sasaran program dana kompensasi cenderung mengada-ada. Bukankah kompensasi beras untuk warga miskin (Raskin) sudah masuk dalam program kerja kantor Menko Kesra. Artinya, tak perlu inisiatif baru yang harus dimasukan dalam program dana kompensasi itu. Bantuan bagi siswa miskin juga tak memerlukan inisiatif baru karena alokasi APBN untuk sektor pendidikan yang 20 persen itu sudah harus melayani kebutuhan siswa miskin. Begitu pula dengan program Bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai . Ini adalah nama lain dari BLT. Motif politik dari BLT ini begitu nyata, sehingga sarat dengan potensi penyalahgunaan. Kalau dikatakan sementara, BLT ini akan berlangsung berapa lama? Siapa yang menentukan penerima BLT? Dan, apa kriteria si penerima?
Alasan lain untuk menolak proposal itu adalah fakta bahwa pemerintah belum efektif dalam mengelola BBM bersubsidi, karena volume pencurian atau penyelundupan masih terbilang tinggi. Kelangkaan BBM bersubsidi saat ini, sangat janggal. Kelanggkaan saat ini bukan disebabkan menipisnya stok kuota BBM bersubisidi akibat tingginya serapan konsumen dalam negeri.
Kelangkaan lebih disebabkan pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi oleh oknum aparat negara. Tingginya intensitas pencurian BBM bersubsidi akhir-akhir ini diduga berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kepentingan politik menyongsong tahun Pemilu 2014.
Artinya, Pemerintah belum all out memerangi penyelundupan BBM bersubsidi. Alih-alih memperketat pengawasan, pemerintah justru lebih memilih menambah kuota BBM bersubsidi. Dengan langkah instan seperti itu, patut diduga ada oknum pemerintah yang berkepentingan dan menikmati hasil pencurian BBM bersubsidi.
Kelangkaan saat ini janggal karena tahun anggaran baru berjalan empat bulan saja. Dan, kalau fakta kelangkaan terjadi di begitu banyak daerah, berarti pencurian BBM bersubsidi sejak awal tahun ini mencapai skala sangat besar alias gila-gilaan. Patut diduga, pihak yang mengotaki pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi sedang menghimpun dana untuk menyongsong Pemilu 2014.
Layak untuk dipertanyakakn mengapa Menteri ESDM begitu ringan tangan dengan rencana menambah kuota BBM bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter. Seharusnya, kementerian ESDM meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lainnya guna memperkecil akses penyelundupan BBM bersubsidi.
Belum lama ini, Satgas pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi menangkap Kapal MT Zarena yang sedang mencoba menyelundupkan solar subsidi ke Singapura di perairan Batam. Kapal MT Zarena berlogo Pertamina, dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pun waktu itu sudah memastikan keterlibatan oknum Pertamina dalam kasus ini. Inilah salah satu bukti yang menjelaskan pemerintah belum becus mengelola BBM bersubsidi.
Maka, sekalipun tampak populis, program dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak diperlukan. Keadaan akan baik-baik saja pasca naiknya harga BBM bersubsidi, jika pemerintah sigap dan bekerja keras mentralisasi harga di pasar, serta aktif melancarkan operasi pasar untuk mengendalikan harga.
Sekarang ini, beberapa persoalan tereskalasi karena pemerintah menjadi pemain utama yang menggoreng isu kenaikan harga BBM. Sangat memprihatinkan karena pemerintah tidak cermat memperhitungkan isu dampak kenaikan harga BBM.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment