Sembilan Jam di KPK
by Bambang Soesatyo
Bagian Pertama dari Tiga tulisan
"Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo pernah menjadi saksi di KPK untuk tersangka Irjen.Pol.Djoko Susilo. Pengalaman tersebut dia tuangkan secara lengkap dalam buku terbarunya SKANDAL CENTURY DI PUTARAN TERAKHIR yang akan beredar Juni 2013 mendatang. Berikut kisahnya:
Surat itu datang hari Selasa, 26 Februari 2013 tepat pukul 13.22 wib ke meja kerja saya lantai 12 gedung Nusantara I DPR RI. Kopnya menunjukan tiga huruf yang cukup menggentarkan: KPK. Ya, saya mendapat panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. KPK meminta saya hadir dua hari kemudian, Kamis, 28 Februari 2013.
Lumayan kaget juga rasanya, menerima surat seperti itu. Bukan apa-apa, saya kagum dengan reaksi cepat KPK, yang segera memanggil saya—dan sejumlah anggota Komisi III DPR yang lain—hanya beberapa hari setelah Muhammad Nazaruddin, bekas anggota Komisi III DPR dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, menyebut-nyebut nama saya dan kawan-kawan sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kasus pengadaan simulator mengemudi. Koruptor yang kerap menembak sana-sini ini, meracau usai diperiksa sebagai saksi di KPK dalam kasus Hambalang. "..yang terlibat Aziz Syamsudin, Herman Hery, Bambang Soesatyo," kata Nazaruddin, di KPK. Lho, Habis diperiksa kasus Hambalang kok teriaknya kasus Simulator?
Nazaruddin ini aneh. Saya kira, di negara beradab, keterangan asal bunyi dari terpidana sekelas dia sudah pasti dianggap sampah. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet tersebut seperti sedang membabi-buta. Entah apa--atau tepatnya entah siapa--yang memaksa Nazaruddin berkicau yang tidak-tidak.
Terpikir oleh saya untuk memperkarakannya ke polisi. Namun, mengingat kondisi Nazaruddin yang tengah berada dalam penjara, saya mau tak mau harus memperhitungkan lagi pikiran untuk membawa dia ke meja hijau. Buat dia, gugatan macam apapun tak akan ada artinya, karena statusnya yang kadung terpidana dan dipenjara. Tapi, saya menduga, Nazaruddin sedang 'dipakai' dan di iming-imingi. Maka, masuk akal bila ia mau disuruh 'bernyanyi', sekali pun nyanyian itu tanpa fakta dan bukti hukum, sekadar untuk membuat nama-nama yang disebutnya itu merasa tertekan. Barangkali mereka berpikir, jika saya dan siapa pun diperlakukan seperti itu, maka akan panik, ketakutan dan tiarap, mengurungkan langkah kaki yang sejak awal diniatkan untuk terus menderap dalam perjuangan membongkar kasus Century. Mereka keliru. Saya dan beberapa teman seperjuangan di Tim-9, para inisiator kasus Century ini tidak gentar. Hanya ada dua kemungkinan terburuk yang bakal kita hadapi sebagai konsekwensi berhadapan dengan kekuasaan yang korup. Yakni, penjara atau kuburan.
Maka di hari itu, Kamis 28 Februari 2013, saya mendatangi Gedung KPK. Sedari pagi, sejak sebelum pukul 9.00 wib, saya sudah berada di dalam. Wartawan tidak tahu dan sempat menyangka saya mangkir alias tidak datang, ketika terperiksa lainnya tampak mendatangi gedung KPK.
Harus diakui, kesan pertama saya terhadap Gedung KPK tak ubahnya mereka yang belum pernah datang ke sana: angker, seram, dan dingin. Sejak awal masuk, saya mendaftar dan mengisi buku tamu. Semua perangkat telekomunikasi seluler diminta dan harus disimpan di loker. Protokoler yang agak menggentarkan.
Tapi itu hanya beberapa menit. Selebihnya, Gedung KPK ini tak ubahnya kantor pada umumnya. Petugasnya pun ramah-ramah. Justru, setelah itu saya lebih banyak terpana melihat gedung ini. Semua terasa amat sempit dan berantakan. Berkas dokumen teronggok di sana-sini, bahkan sampai memakan lorong dan koridor. Kesibukan terlihat kencang, semangat para karyawan juga terasa bertebaran, tapi harus diakui gedung ini sangat kumuh.
Saya dijadwalkan untuk dimintai keterangan di lantai 8. Belakangan saya tahu, pemeriksaan atas dua anggota Komisi III yang lain, Azis Syamsuddin dan Herman Hery, yang juga berlangsung di hari yang sama, dilakukan di lantai 7. Benny K. Harman, mantan Ketua Komisi III DPR, semestinya juga diperiksa hari itu. Namun, setelah datang ke KPK, Benny meminta izin untuk diperiksa lain hari. Hari itu, Benny sudah punya agenda untuk terbang ke NTT, mengikuti kampanye pemilihan Gubernur di sana.
Kumuhnya Gedung KPK, mau tak mau, membuat saya merasa bersalah. Teringat lagi permohonan KPK untuk meminta anggaran gedung baru, yang sempat dipersulit dan terjadi tarik-menarik pendapat di DPR sejak periode 2004-2009. Untunglah, pada tahun 2012, DPR menyetujui permintaan KPK untuk membangun gedung baru dilahan kosong disebelah gedung KPK. Setidaknya, rasa bersalah saya agak berkurang.
Di lantai 8 Gedung KPK, saya dipersilakan menunggu di sebuah ruangan tempat khusus merokok. Mereka menyebutnya ruang tunggu. Ukurannya hanya sekitar 1,5 x 2 meter. Meja dan kursi di sana terlihat rusak, warna pelapisnya pudar. Secangkir kopi yang disuguhkan menemani saya melihat-lihat suasana. Di sebelah ruang tunggu itu, ada sebuah mushola kecil yang jelas tampak tidak nyaman. Selama menunggu itu, saya berbincang dengan penyidik KPK yang berasal dari instansi kejaksaan yang bertugas di Tim Satgas Century KPK. Pembicaraan mengalir begitu saja. Akrab dan hangat.
"Pak Bambang tak perlu khawatir," ujar pria yang terlihat sangat simpatik ini. "Kami di KPK sudah bekerja amat serius. Sekadar informasi, kami sudah memeriksa puluhan orang pejabat BI. Kami sudah menemuka clue-nya," katanya lagi.
Pertemuan dengan pria ini berlangsung tidak sengaja, ketika saya mendatangi Gedung KPK, 28 Februari 2013, guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. Dia Seorang jaksa muda yang ramah dengan sorot mata yang tajam dan cerdas.
Sejak awal datang ke gedung KPK, secara kebetulan pria ini satu lift dengan saya dari lobby menuju ke lantai 8 tempat khusus para penyidik bekerja. Ia mengangsurkan tangan, bersalaman, dan mengajak berkenalan. "Saya senang bertemu bapak," katanya.
Saya tersenyum, merasa tak kurang pula senangnya. "Terimakasih."
Dan ia melanjutkan, bercerita betapa ia menilai saya sebagai salah satu anggota DPR yang konsisten dalam mengusut kasus Bank Century. Sang penyidik berusaha meyakinkan saya bahwa kasus itu akan benar-benar ditanganani di KPK. "Pak Bambang percaya, tidak?" ujarnya. "Pertanyaan saya kepada para pejabat BI juga sederhana saja."
"Seperti apa?"
"Sangat mudah. Saya hanya bertanya, apa yang akan terjadi pada nasabah, jika Bank Century ditutup atau dilikuidasi?"
"Jawaban mereka?"
"Tentu saja normatif." Sang jaksa penyidik mencetuskannya sambil agak tersenyum. Saya suka mendengar nada suaranya. Khas, berusaha melafalkan setiap kata dengan jelas, seperti lazimnya para jaksa. Ia melanjutkan ceritanya, mengutip keterangan para pejabat BI bahwa peraturan membatasi penggantian dana nasabah bank yang dilukuidasi hingga maksimal Rp 2 miliar.
Saya belum paham arah penjelasan sang penyidik. "Konsekuensinya?"
Ia lagi-lagi tersenyum lebih dulu. "Pak Bambang," katanya, "jika Bank Century ditutup, maka selain pemilik bank, yang lebih panik adalah para nasabah yang memiliki uang besar di Bank Century."
"Lantas?"
Diambilnya jeda sejenak, "Tidak menutup kemungkinan, mereka, para nasabah ini, bikin manuver dan melakukan lobi politik untuk mengamankan Bank Century. Demi memastikan dana mereka aman dan tidak melayang--atau hanya diganti Rp 2 miliar.
Tentu saja ia benar. Sejak awal saya tahu, ada sejumlah nasabah pemilik dana jumbo di Bank Century, termasuk kalangan BUMN. Sebagai politisi dan pebisnis, saya tidak akan kaget jika mendengar para nasabah jumbo ini melakukan kasak-kusuk untuk mengamankan duitnya. Rasa-rasanya, jika ada nasabah yang menyimpan uang Rp 2 triliun di Bank Century, ia akan rela kehilangan separuhnya ketimbang hanya tinggal bersisa Rp 2 miliar. Ini semua pemikiran biasa. Yang luar biasa adalah, pemikiran itu sudah menjadi paradigma penyidik KPK.
"Jadi, Pak Bambang, ini sudah ada titik terang. Kami sudah menemukan mens rea-nya."
Saya lagi-lagi terpana. Mens rea. Istilah hukum itu. Pengucapakan frase tersebut kembali mendorong ingatan saya pada perdebatan antara Gayus Lumbun, mantan Wakil Ketua Pansus Bank Century yang sekarang menjabat Hakim Agung, dengan mantan pimpinan KPK Chandra Hamzah, pada rapat gabungan Timwas Century, 21 September 2011. Ketika itu, Gayus menyampaikan kasus bailout Century harus segera ditingkatkan ke penyidikan karena sudah memenuhi unsur penal policy, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus). Kemudian, pertanggungan jawab pidana karena adanya niat (mens rea), sanksi (punishment), dan perlakuan (treatment). Tapi Chandra Hamzah berkeras, KPK belum menemukan adanya niat atau mens rea, sehingga KPK belum bisa meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan.
Istilah mens rea juga saya dengar kembali di bulan Ramadan 2012, dari Antasari Azhar, mantan Ketua KPK. Di penjaranya di Tangerang, Antasari mengisahkan rapat yang pernah diadakan Presiden dan sejumlah pejabat di istana, 9 Oktober 2008. Antasari mengatakan, rapat itu membahas soal ancaman krisis. Dalam rapat tersebut, memang tidak disebut nama bank yang akan di-bailout. Namun skema bailout sudah merasuk suasana batin peserta rapat. Presiden, ujar Antasari, menyatakan perlu mencegah terjadinya krisis seperti tahun 1998. "Kita perlu melakukan terobosan, terobosan global,'' ujar Antasari, menirukan Presiden.
"Terobosan" yang dimaksud Presiden sepertinya adalah upaya mengatasi peraturan hukum demi kepentingan orang banyak. Antasari mengaku bisa memahami itu. Lantas, disebut-sebut kemungkinan penyuntikan dana terhadap bank tertentu. Di rapat itu, Antasari menegaskan, jangan sampai ada kerugian negara, bahkan satu rupiah sekalipun. Jika itu terjadi, tegasnya, ada tindak pidana. KPK akan menangkapnya. Menurut Antasari, rapat yang digelar beberapa pekan sebelum bailout untuk Bank Century ini sudah mengisi aspek atau mememuhi unsur mens rea tadi.
Advokat senior Adnan Buyung Nasution pun menyatakan setiap kebijakan yang memiliki niat jahat bisa dipidanakan. Kebijakan itu, ujar Adnan Buyung, bisa dipidana jika tujuan atau niatnya melawan hukum dan menguntungkan orang lain. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Ilhamdi Taufik, juga berpendapat senada. Menurut dia, tindakan melawan hukum dalam sebuah kebijakan bisa dibuktikan dalam persidangan.
Namun dari keterangan Antasari dan para pakar hukum tadi, aspek mens rea lebih ditujukan kepada para pengambil kebijakan. Niat awalnya dari pengambil kebijakan. Sementara penyidik KPK yang berbincang dengan saya melihat, mens rea ada di para nasabah jumbo yang mencoba mempertahankan uangnya agar jangan sampai hangus. "Kenapa arah mens rea-nya dari sana?"
"Saya sadar betul," ujar sang jaksa penyidik, "kalau saya tanyakan dari aspek kebijakan bailout, apalagi menyangkut soal teknisnya, para pejabat BI ini akan langsung bersikap defensif. Mereka sangat paham urusan teknis perbankan dan peraturannya. Akan sulit bagi KPK untuk mengusut kasus ini."
"Lalu?"
"Karena kami memulainya dari nasabah, pihak ketiga, mereka lebih santai dan mau bersikap terbuka. Hasilnya, bisa kami yakini bahwa bailout ini akhirnya lebih menguntungkan nasabah Bank Century. "
Saya terperangah. Kalimat tadi muncul dari mulut seorang penyidik KPK. "Jadi, bailout ini lebih untuk kepentingan nasabah, bukan untuk menyelematkan perekonomian negara?" Tanya saya dalam hati.
Senyum itu kembali terkembang. Dan sang penyidik melanjutkan, "jangan lupa juga, pak Bambang, kalau Bank Century ditutup, bagaimana nasib FPJP?"
Saya paham, sebagai pemberi pinjaman FPJP—yang diberikan dengan melanggar prosedur, ceroboh, dan hampir merugikan negara--BI tak ubahnya nasabah Bank Century. Jika Bank Century ditutup, dana FPJP yang lebih dari Rp 680 miliar tidak akan kembali lebih dari Rp 2 miliar. BI punya motif. Ini bisa jadi mens rea pula. Alih-alih menyelamatkan ekonomi negara, BI berusaha menyelamatkan Bank Century lebih untuk menyelamatkan uangnya sendiri.
Perbincangan ini kian asyik. Tapi, kami harus mengakhiri obrolan. Seorang petugas KPK menghampiri. Saya melirik jam tangan. Pukul 10.05 WIB. Sudah saatnya saya memberi keterangan sebagai saksi. (Bersambung ke bagian-2)
Bagian Kedua dari Tiga tulisan
Tepat pukul 10.10 WIB, saya beranjak dari ruang tunggu meninggalkan perbincangan cukup hangat dan seru dengan jaksa muda itu menuju ruang pemeriksaan. Setelah melewati koridor yang sesak dengan tumbukan dokumen yang meluber di sana-sini, begitu hiruk pikuk, saya akhirnya dipersilakan memasuki ruang pemeriksaan. Seorang penyidik KPK yang lain membimbing saya, dan saya sempat mengira ia yang bertugas memeriksa. Ternyata bukan. Sehabis berkenalan, saya tahu, ia seorang polisi muda yang juga sangat santun yang lalu menginformasikan bahwa rekannya sesama penyidik, yang bertugas memeriksa saya, masih dalam perjalanan. "Terjebak macet," katanya, setelah didahului permintaan maaf yang amat mendalam. Jam digital di ruang pemeriksaan, berukuran besar dan berwarna merah, sudah menunjukan angka 10.15. Lagi-lagi secangkir kopi dan segelas air putih disuguhkan.
Hanya 2 x 2 meter luas ruangan pemeriksaan itu. Jangan bandingkan dengan ruang pemeriksaan di film-film Holywood yang luas dan memiliki kaca dua arah. Sedemikian sempitnya ruangan pemeriksaan di KPK, sampai-sampai kita bisa mendengar pemeriksaan yang berlangsung di banyak ruangan lain di lantai itu. Saya sempat menghitung, sepanjang berjalan dari ruang tunggu menuju ke ruang pemeriksaan, ada belasan ruang pemeriksaan di lantai 8 tersebut, diberi nomor berurutan dari 01 sampai belasan. Setiap ruangan dipisahkan partisi sederhana dari triplek yang diplitur. Sebagian kaca gelap.
Ruang pemeriksaan saya memiliki jendela dengan pemandangan gedung Bakrie Tower berwarna hitam yg meliuk seperti ular. Dari langit-langit, menjulur mikrofon tua berukuran besar, persis mikrofon yg sering kita lihat jelang pertarungan tinju di ring profesional. Mikrofon itu yg merekam pembicaraan petugas dengan terperiksa. Saya harap mikrofon itu bekerja dengan baik. Dibagian atas kanan-kiri belakang penyidik terlihat dua buah kamera yg juga sudah ketinggalan model mengawasi terperiksa dari dua sudut. Sebuah meja diletakan di tengah. Satu kursi utk penyidik menghadapi dua kursi beroda yg sudah rusak utk terperiksa. Sesak dan kuno. "Ya, beginilah, mas Bambang," penyidik polisi itu seakan paham apa yang ada di pikiran saya. "Kondisi Kantor KPK memang seadanya. Makanya, kami berharap support DPR utk anggaran Gedung KPK."
Saya semakin paham dengan pernyataan itu.
"Tapi kami berterimakasih," katanya lagi. "Meski terlambat, DPR akhirnya menyetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK."
Saya tersenyum, asem..
Sambil menunggu datangnya penyidik yang bertugas, saya diserahkan seperangkat lembaran manual. Prosedur, peraturan, dan kode etik pemeriksaan saksi dan terperiksa di KPK. Di sana tertera, saksi dan terperiksa tidak boleh memberi janji atau apapun kepada penyidik. Bahkan tidak boleh sekadar bertukar nomor telepon. Saya membaca lamat-lamat manual tersebut. Sang penyidik polisi pamit meninggalkan saya.
Pukul 10.35, penyidik yang bertugas baru datang. Kami berkenalan. Rupanya ia seorang jaksa pula. Dua orang jaksa yang saya temui hari itu di KPK, sama-sama bertugas sebagai penyidik.
Memang, yang saya tahu, penyidik adalah tugas polisi dan jaksa menjadi penuntut atau penyusun dakwaan. Tapi KPK memang sedang kekurangan tenaga. Penyidiknya banyak ditarik polisi. Sehingga KPK saat ini hanya memiliki 75 penyidik.
Wajar kalau KPK kerap mengeluh dan kewalahan. Karena idealnya satu kasus ditangani empat orang, bukan satu orang tangani empat kasus seperti sekarang ini. Maka tak heran jika banyak kasus dugaan korupsi yang seharusnya naik ke penyidikan masih tertahan di penyelidikan.
Begitulah keadaan lembaga anti rasuah kita itu. Jumlah kasus korupsi yang harus ditangani tak sebanding dengan ketersediaan tenaga penyidik maupun ruang pemeriksaan yang memadai.
Kembali ke soal pemeriksaan. Belakangan saya tahu, jaksa ini termasuk senior yang ditakuti. Ternyata Ia sama dengan saya, mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Bukan sekadar HMI, tapi sama-sama HMI garis keras seperti MS Kaban dan Egie Sudjana yang tergabung dalam HMI-MPO. Di HMI dulu, HMI-MPO ini kiblatnya Abdullah Hehamahua, seorang senior klotokan dengan tingkat ke Islaman yang sangat kuat, yang kini jadi Penasehat KPK.
Sambil menunggunya menyiapkan peranti pemeriksaan, laptop dan sebagainya, kami terus berbincang. Kami sempat membicarakan situasi negara, kemiskinan yang kian meluas, korupsi, dan perilaku pejabat yang tidak bertanggung jawab. Jaksa ini bicara sangat kritis. Saya kagum padanya. "Bapak ini sangat berani..."
"Tidak begitu pak Bambang," jawabnya, lugas. "Ini ibadah. Saya sudah bertekad mewakafkan hidup saya untuk negeri ini. Saya mengalami Tsunami di Aceh, tahun 2004. Dan itu menyadarkan saya bahwa hidup hanya sementara. Sewaktu-waktu kita bisa dipanggil oleh Nya.."
Awalan yang menyentak untuk sebuah pemeriksaan.
Saya diminta mengisi formulir biodata yang sudah disiapkan. Ditanyakannya kondisi kesehatan saya hari itu dan kesediaan diperiksa sebagai saksi, untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo, dalam kasus dugaan korups pengadaan simulator SIM. Saya jawab, "baik" dan "tidak ada masalah."
"Bersedia disumpah?"
"Ya. Insyaallah"
Maka penyidik memanggil rekannya yang bertugas membimbing pengucapan sumpah. Pembimbing memegang Al Quran di atas kepala saya, dan kami berdua memegang teks pembacaan sumpah, ia membacanya dan saya mengikuti. "Demi Allah, saya bersumpah.."
Sumpah itu kemudian dibuatkan berita acaranya dan ditandatangani oleh penyidik, saya sendiri dan saksi. Saya jadi teringat saat Wakil Presiden Boediono diambil sumpah dihadapan pansus kasus Century di DPR tiga tahun lalu.
Setelah berkas berita acara dilipat dan dirapihkan, lantas dimulailah pemeriksaan itu. Saya ditanya, apakah kenal dengan Djoko Susilo?
"Ya. Kenal"
"Pernah Bertemu?"
Hanya satu kali, ketika itu saya diajak ketua poksi saya Azis Syamsuddin, di Restoran Jepang Bassara, Summitmas, sekitar awal 2010. Ketika itu saya dan kawan-kawan lagi sibuk-sibuknya sebagai anggota Pansus Skandal Bank Century. Pertemuan ini tak berlangsung lama, sekitar 1,5 jam, karena saya dan Azis harus kembali ke DPR mengikuti rapat Pansus Century. Di dalam pertemuan, Saya hanya diam, menyimak soal pelaksanaan Undang-undang Lalu Lintas yang baru disahkan DPR Mei 2009. Djoko menyampaikan, banyak kendala dalam pelaksanaan UU itu. Selain juklak kapolri belum turun, aturan pelaksanaan dari pemerintahpun belum keluar. Lalu Djoko, seingat saya juga menyampaikan ada indikasi Kemenhub akan mengajukan kembali usulan perubahan (RUU) Lalu-lintas. Sebab, dalam implementasi di lapangan, terjadi benturan antara Polantas dengan DLLAJR.
Lalu, Azis dalam pertemuan yang juga dihadiri anggota DPR dari PDIP, Herman Herry menjelaskan. Kalau terkait dengan pembahasan UU Lalu-lintas itu panja atau pansusnya adalah domain komisi V dan bukan komisi III.
Baru satu pertanyaan diajukan, Adzan Dzuhur sudah berkumandang. Pemeriksaan dihentikan. Sudah masuk jadwal sholat, istirahat, dan makan siang. Rupanya, makan siang di KPK enak juga. Pilihannya nasi gudeg atau ayam bakar. Saya memilih menu ayam bakar. Usai makan siang saya keluar ruang pemeriksaan menuju toilet sekaligus tempat wudhu yang terletak disudut ruangan. Saya sempat melirik ruang mushola disebelah ruang tunggu penuh sesak oleh penyidik, karyawan serta tamu para saksi dan tersangka yang sedang diperiksa, tengah antri solat. Saya bertemu wajah-wajah yang tidak asing karena kerap muncul dipemberitaan atas kasus-kasus yang ditangani KPK. Sebelum mencapai toilet saya melewati dapur kecil tempat office boy menyiapkan suguhan. Saya melihat sejumlah penyidik asyik mengepulkan asap dengan lengan baju dan celana tergulung beralasan sandal.
Mereka spontan menyapa saya, "merokok dulu pak Bambang, sambil antri wudhu nih." Saya menjawab sambil tersenyum. Silahkah! Rupanya tidak hanya para terperiksa saja yang butuh merokok untuk melepaskan ketegangan. Para penyidik juga tampaknya tidak kalah lelahnya dalam mencecar dan mengorek keterangan. Apalagi kalau menghadapi terperiksa yang menggunakan jurus lupa, tidak ingat dan tidak tahu. He..he... (Bersambung ke bagian-3)
Bagian terakhir dari Tiga tulisan
Pukul 13.10 wib, pemeriksaan dimulai kembali.
Penyidik meminta saya menjelaskan struktur organisasi Komisi III DPR, nama-nama pejabatnya, nama setiap ketua kelompok fraksi, dan seperti apa alat kelengkapan dewan lainnya. Lantas saya dimintai keterangan soal mekanisme anggaran dan mekanisme Pendapatan negara Bukan Pajak (PNBP).
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah terbayangkan sebelumnya. Sejatinya, saya tidak tahu apa-apa soal masalah Simulator SIM. Tapi saya mendukung KPK mengungkap kasus tersebut. Pemeriksaan saya oleh KPK, menunjukan begitulah seharusnya KPK bekerja. Sekecil apapun informasi yang didapat, selama itu relevan, KPK harus menindaklanjutinya. Kita berharap KPK konsisten dalam hal ini.
Saya jelaskan soal mekansime kerja, alat kelengkapan dan struktur organisasi Komisi III DPR. Saya juga membawa setumpuk aturan, transkrif dan notulen rapat yang menegaskan bahwa di Komisi III DPR tidak ada pembahasan pengadaan simulator SIM. Tidak sekalipun Rapat di Komisi III DPR maupun di Banggar, pernah membahas secara khusus Anggaran pengadaan Simulator. Ini fakta. Tidak sehelaipun Notulen Rapat di Komisi III pernah mencatat adanya rapat soal Anggaran pengadaan Simulator.
Dalam UU 20/ 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Peraturan Pemerintah (PP) No.73/ 1999 pasal 5: "penggunaan atau pemanfaatan dana PNBP hanya memerlukan persetujuan kementerian keuangan." Jadi, dalam hal ini, DPR hanya membahas besaran persentase perolehan PNBP yang masuk dalam APBN bersama-sama Kemenkeu dan Polri di Badan Anggaran DPR. Lantas, UU 20/ 1997 dan pasal 4 ayat 1 PP No.73/ 1999: "Walaupun PNBP bersifat segera harus disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari PNBP yang telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu oleh instansi yg bersangkutan," serta Pasal 5 PP no.73 tahun 1999: "Instansi yang bersangkutan dapat menggunakan dana PNBP sebagaimana dimaksud pasal 4 setelah memperoleh persetujuan dari menteri keuangan."
Atuan-aturan ini yang menegaskan bahwa penggunaan PNBP, termasuk dalam hal 'tender' pengadaannya, sepenuhnya merupakan kewenangan Polri (dalam hal ini Korlantas). Dan ini juga diperkuat oleh Peraturan Dirjen Perbendaharaan no.Per-06/PB/2009 tentang Mekanisme Pelaksanaan APBN di lingkungan Polri. Mungkin, ada baiknya media dan KPK menelusuri hubungan kerja Korlantas Polri dan Direktorat PNBP Kemenkeu soal penentuan PNBP ini.
Adzan kembali berkumandang. Sudah masuk waktu Ashar. Pemeriksaan dihentikan lagi selama satu jam. Saya hitung-hitung, cukup sering juga pemeriksaan ini diselingi jeda. Bahkan di luar waktu shalat, penyidik juga memberi kesempatan jeda sekadar untuk meluruskan badan atau hanya sekedar merokok.
Jam menunjukan angka empat. Pemeriksaan diteruskan dan pertanyaan diarahkan untuk mengecek ulang pernyataan dan kesaksian Muhammad Nazaruddin dan saksi yang lain, terutama soal pertemuan-pertemuan yang kabarnya dilakukan untuk membahas anggaran simulator SIM.
Sayang, saya tidak bisa memberi banyak bantuan. Saya tidak tahu apa-apa soal berbagai pertemuan itu.
Pukul 16.30, penyidik bertanya,"Apakah saksi bersedia dikonfrontasikan dengan saksi lain, yang bernama Teddy Rusmawan?"
"Bersedia. Tidak masalah."
Lalu masuklah orang yang diperkenalkan bernama Teddy Rusmawan, seorang perwira polisi berusia 40-an. Ia mengenakan kameja yang rapih, mukanya bersih tapi tidak bersemangat, mungkin kelelahan. Teddy duduk di sebelah kanan saya berhimpitan. Maklum ruanganya memang sangat sempit.
Penyidik bertanya kepada Teddy. "Kenal dengan pak Bambang?"
Teddy menjawab "kenal, karena saya sering lihat Pak Bambang di televisi."
Lalu saya diajukan pertanyaan yang sama. Kenal dengan Teddy? Saya jawab tidak kenal. Tapi saya tahu Teddy dari media sejak kasus simulator SIM mencuat. Teddy sempat dijadikan tersangka dan ditahan di Bareskrim Polri ketika kasus tersebut sempat ditangani Bareskrim Polri.
Teddy juga mengaku pernah bertemu dengan saya di restoran Bassara, saat pertemuan Djoko Susilo dengan para anggota Komisi III DPR. Menurut Teddy, ia ikut mendampingi Djoko Susilo di sana.
Saya mengatakan saya tidak bertemu yang bersangkutan karena diruangan VIP itu hanya ada Joko, saya, Aziz dan Herman Herry. Akhirnya Teddy menjelaskan bahwa dia hadir tapi menunggu diluar ruangan.
Lalu penyidik meminta keterangan Teddy soal cerita pemberian titipan dari Djoko Susilo kepada anggota DPR. Berkisahlah Teddy soal pertemuan di kafe de Luca, Plaza Senayan. Saya menyimak. Teddy mengaku diperintahkan Irjen Djoko pada akhir 2010 untuk bertemu dan mengantar titipan kepada Azis Syamsuddin, anggota Komisi III DPR. Lantas Teddy mengaku janjian dengan Azis untuk bertemu di sebuah kafe lantai dasar Plaza Senayan, yang belakangan diketahui bernama kafe de Luca.
Saat datang, ujar Teddy, Azis tengah bersama saya. Lantas Teddy bergabung, ngopi-ngopi. Lalu Azis menelepon seseorang, Teddy menyebutnya ajudan. Teddy dan ajudan tersebut kemudian pergi ke tempat parkir mobil untuk menyerahkan titipan Djoko tadi. Menurut Teddy, dalam pemeriksaan di depan saya dan penyidik, mobil tersebut merek Mercy berwarna silver.
Penyidik melirik saya. "Apakah cerita itu benar?"
Saya mulai dengan tersenyum, dengan santai saya katakan di bawah sumpah, tidak benar saya ada di kafe de Luca itu. Karena sejak kafe itu beroperasi hingga detik ini saya tidak pernah mendatangi kafe tersebut. "Saya tidak pernah hadir, datang, dan berada di kafe de Luca. Silakan cek semua petunjuk: rekaman kamera CCTV, bon pembayaran, karcis parkir, atau apa saja. Saya sangat sering datang ke Plaza Senayan. Tapi tidak pernah ke cafe de Luca yang terletak dilantai dasar dekat area parkir itu. Tempat tujuan saya jika berkunjung ke Plaza Senayan adalah restoran Oyster, langganan saya, di lantai 5, seberang bioskop XXI. Di sanalah saya sering kongkow, baik dengan teman-teman DPR, Kadin maupun organisasi lainnya.
Saya sempat melirik Teddy. Dia diam dan sesekali menunduk mendengarkan. Tak membela keterangannya. Sewaktu penyidik bertanya lagi, "Apakah ada yang keliru atau ada yang akan ditambahkan?" Teddy menjawab, "tidak ada."
Saya juga tak punya keterangan lain.
Pukul 17.05, Teddy dipersilakan keluar. Pemeriksaan praktis berakhir dan penyidik menyusun berita acara pemeriksaan (BAP), merapikannya, lantas mencetaknya di kertas. Ia meminta saya memeriksa setiap halaman demi halaman BAP itu. Saya menerima susunan BAP tersebut, lalu memberinya paraf di setiap halaman dan menandatangani BAP di halaman terakhir. Ada sekitar 20an pertanyaan yang didokumentasikan di sana.
Begitulah, diselingi makan siang, istirahat waktu shalat, dan jeda di sana-sini, akhirnya pemeriksaan berakhir. Secara efektif, waktu pemeriksaan sebenarnya tak sampai 5 jam. Sewaktu beranjak menuju lift lantai 8, saya bertemu Aziz Syamsuddin dan Herman Hery, yang pemeriksaannya sudah selesai duluan. Kami lalu memutuskan untuk tidak langsung turun. Sebentar lagi adzan Maghrib.
Kami sempat saling ngobrol soal pemeriksaan. Tapi tidak lama. Yang menarik adalah cerita Azis. Sewaktu konfrontasi dengan dirinya, Teddy mengaku mobil yang menjadi tempat menyerahkan titipan dari Djoko, lewat "ajudan," adalah Mercy warna hitam. Hitam, bukan silver seperti yang ia jelaskan dalam kesaksiannya dihadapan penyidik dan saya.
Selepas Maghrib, kami keluar dari Gedung KPK, menggunakan lift menuju lantai dasar. Di bawah, puluhan wartawan menunggu. Sembilan jam sudah saya berada di dalam gedung KPK.
Ah, pengalaman yang melelahkan dan unik. Yang sulit adalah mengingat-ingat peristiwa yang sudah terjadi bertahun silam. Tapi saya merasa beruntung menjadi saksi di KPK sehingga lebih tahu keadaan di sana, dan tahu pula kualitas para penyidik KPK. Saya tak bisa melepaskan ingatan soal suasananya yang padat, kumuh, dan dipenuhi antrean mereka yang hendak diperiksa, namun harus menunggu adanya ruang pemeriksaan yang kosong. Ada penyidik yang memeriksa lima orang sekaligus, dalam ruangan 2 x 2 meter, sehingga sebagian terperiksa harus duduk di luar ruangan, berdempatan di koridor jalan.
Di ruang pemeriksaan saya, sil karet di rangka jendela rupanya sudah getas. Kaca jendela di lantai 8 itu kerap bergetar. Tidak rapat. Sehingga musik dangdut-an dan orasi pendemo yang keluar dari pengeras suara para pengunjuk rasa di depan gedung KPK, terdengar jelas hingga ruang pemeriksaan.
Belum lagi ketika sore itu hujan turun sangat deras mengguyur Jakarta. Airnya menyelusup masuk melalui sela-sela jendela, membasahi ruang pemeriksaan.
Sangat memprihatinkan memang. Sementara segudang harapan bangsa ini atas pemberantasan korupsi ada di pundak lembaga ini. Saya bersyukur DPR tahun lalu sudah mengabulkan permintaan KPK untuk membangun gedung baru.
Kita, ingin KPK yang kuat, tegak lurus dan bebas intervensi dengan gedung dan ruang pemeriksaan yang memadai. Kita juga ingin KPK dengan kewenangan luar biasa itu, tidak sembarang menyambar kasus. Terutama kasus-kasus berskala kecil.
Kita ingin KPK pandai memilah perkara agar memenuhi harapan publik sebagaimana diamanatkan undang-undang. Yakni, perkara besar yang melibatkan orang-orang besar. Sebab, seekor elang Rajawali tidak perlu menyambar seekor lalat. (Selengkapnya dapat dibaca di buku terbaru Bambang Soesatyo: "Skandal Century di Tikungan Terakhir", beredar Juni 2013 mendatang).
by Bambang Soesatyo
Bagian Pertama dari Tiga tulisan
"Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo pernah menjadi saksi di KPK untuk tersangka Irjen.Pol.Djoko Susilo. Pengalaman tersebut dia tuangkan secara lengkap dalam buku terbarunya SKANDAL CENTURY DI PUTARAN TERAKHIR yang akan beredar Juni 2013 mendatang. Berikut kisahnya:
Surat itu datang hari Selasa, 26 Februari 2013 tepat pukul 13.22 wib ke meja kerja saya lantai 12 gedung Nusantara I DPR RI. Kopnya menunjukan tiga huruf yang cukup menggentarkan: KPK. Ya, saya mendapat panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. KPK meminta saya hadir dua hari kemudian, Kamis, 28 Februari 2013.
Lumayan kaget juga rasanya, menerima surat seperti itu. Bukan apa-apa, saya kagum dengan reaksi cepat KPK, yang segera memanggil saya—dan sejumlah anggota Komisi III DPR yang lain—hanya beberapa hari setelah Muhammad Nazaruddin, bekas anggota Komisi III DPR dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, menyebut-nyebut nama saya dan kawan-kawan sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kasus pengadaan simulator mengemudi. Koruptor yang kerap menembak sana-sini ini, meracau usai diperiksa sebagai saksi di KPK dalam kasus Hambalang. "..yang terlibat Aziz Syamsudin, Herman Hery, Bambang Soesatyo," kata Nazaruddin, di KPK. Lho, Habis diperiksa kasus Hambalang kok teriaknya kasus Simulator?
Nazaruddin ini aneh. Saya kira, di negara beradab, keterangan asal bunyi dari terpidana sekelas dia sudah pasti dianggap sampah. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet tersebut seperti sedang membabi-buta. Entah apa--atau tepatnya entah siapa--yang memaksa Nazaruddin berkicau yang tidak-tidak.
Terpikir oleh saya untuk memperkarakannya ke polisi. Namun, mengingat kondisi Nazaruddin yang tengah berada dalam penjara, saya mau tak mau harus memperhitungkan lagi pikiran untuk membawa dia ke meja hijau. Buat dia, gugatan macam apapun tak akan ada artinya, karena statusnya yang kadung terpidana dan dipenjara. Tapi, saya menduga, Nazaruddin sedang 'dipakai' dan di iming-imingi. Maka, masuk akal bila ia mau disuruh 'bernyanyi', sekali pun nyanyian itu tanpa fakta dan bukti hukum, sekadar untuk membuat nama-nama yang disebutnya itu merasa tertekan. Barangkali mereka berpikir, jika saya dan siapa pun diperlakukan seperti itu, maka akan panik, ketakutan dan tiarap, mengurungkan langkah kaki yang sejak awal diniatkan untuk terus menderap dalam perjuangan membongkar kasus Century. Mereka keliru. Saya dan beberapa teman seperjuangan di Tim-9, para inisiator kasus Century ini tidak gentar. Hanya ada dua kemungkinan terburuk yang bakal kita hadapi sebagai konsekwensi berhadapan dengan kekuasaan yang korup. Yakni, penjara atau kuburan.
Maka di hari itu, Kamis 28 Februari 2013, saya mendatangi Gedung KPK. Sedari pagi, sejak sebelum pukul 9.00 wib, saya sudah berada di dalam. Wartawan tidak tahu dan sempat menyangka saya mangkir alias tidak datang, ketika terperiksa lainnya tampak mendatangi gedung KPK.
Harus diakui, kesan pertama saya terhadap Gedung KPK tak ubahnya mereka yang belum pernah datang ke sana: angker, seram, dan dingin. Sejak awal masuk, saya mendaftar dan mengisi buku tamu. Semua perangkat telekomunikasi seluler diminta dan harus disimpan di loker. Protokoler yang agak menggentarkan.
Tapi itu hanya beberapa menit. Selebihnya, Gedung KPK ini tak ubahnya kantor pada umumnya. Petugasnya pun ramah-ramah. Justru, setelah itu saya lebih banyak terpana melihat gedung ini. Semua terasa amat sempit dan berantakan. Berkas dokumen teronggok di sana-sini, bahkan sampai memakan lorong dan koridor. Kesibukan terlihat kencang, semangat para karyawan juga terasa bertebaran, tapi harus diakui gedung ini sangat kumuh.
Saya dijadwalkan untuk dimintai keterangan di lantai 8. Belakangan saya tahu, pemeriksaan atas dua anggota Komisi III yang lain, Azis Syamsuddin dan Herman Hery, yang juga berlangsung di hari yang sama, dilakukan di lantai 7. Benny K. Harman, mantan Ketua Komisi III DPR, semestinya juga diperiksa hari itu. Namun, setelah datang ke KPK, Benny meminta izin untuk diperiksa lain hari. Hari itu, Benny sudah punya agenda untuk terbang ke NTT, mengikuti kampanye pemilihan Gubernur di sana.
Kumuhnya Gedung KPK, mau tak mau, membuat saya merasa bersalah. Teringat lagi permohonan KPK untuk meminta anggaran gedung baru, yang sempat dipersulit dan terjadi tarik-menarik pendapat di DPR sejak periode 2004-2009. Untunglah, pada tahun 2012, DPR menyetujui permintaan KPK untuk membangun gedung baru dilahan kosong disebelah gedung KPK. Setidaknya, rasa bersalah saya agak berkurang.
Di lantai 8 Gedung KPK, saya dipersilakan menunggu di sebuah ruangan tempat khusus merokok. Mereka menyebutnya ruang tunggu. Ukurannya hanya sekitar 1,5 x 2 meter. Meja dan kursi di sana terlihat rusak, warna pelapisnya pudar. Secangkir kopi yang disuguhkan menemani saya melihat-lihat suasana. Di sebelah ruang tunggu itu, ada sebuah mushola kecil yang jelas tampak tidak nyaman. Selama menunggu itu, saya berbincang dengan penyidik KPK yang berasal dari instansi kejaksaan yang bertugas di Tim Satgas Century KPK. Pembicaraan mengalir begitu saja. Akrab dan hangat.
"Pak Bambang tak perlu khawatir," ujar pria yang terlihat sangat simpatik ini. "Kami di KPK sudah bekerja amat serius. Sekadar informasi, kami sudah memeriksa puluhan orang pejabat BI. Kami sudah menemuka clue-nya," katanya lagi.
Pertemuan dengan pria ini berlangsung tidak sengaja, ketika saya mendatangi Gedung KPK, 28 Februari 2013, guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo dalam kasus pengadaan Simulator SIM. Dia Seorang jaksa muda yang ramah dengan sorot mata yang tajam dan cerdas.
Sejak awal datang ke gedung KPK, secara kebetulan pria ini satu lift dengan saya dari lobby menuju ke lantai 8 tempat khusus para penyidik bekerja. Ia mengangsurkan tangan, bersalaman, dan mengajak berkenalan. "Saya senang bertemu bapak," katanya.
Saya tersenyum, merasa tak kurang pula senangnya. "Terimakasih."
Dan ia melanjutkan, bercerita betapa ia menilai saya sebagai salah satu anggota DPR yang konsisten dalam mengusut kasus Bank Century. Sang penyidik berusaha meyakinkan saya bahwa kasus itu akan benar-benar ditanganani di KPK. "Pak Bambang percaya, tidak?" ujarnya. "Pertanyaan saya kepada para pejabat BI juga sederhana saja."
"Seperti apa?"
"Sangat mudah. Saya hanya bertanya, apa yang akan terjadi pada nasabah, jika Bank Century ditutup atau dilikuidasi?"
"Jawaban mereka?"
"Tentu saja normatif." Sang jaksa penyidik mencetuskannya sambil agak tersenyum. Saya suka mendengar nada suaranya. Khas, berusaha melafalkan setiap kata dengan jelas, seperti lazimnya para jaksa. Ia melanjutkan ceritanya, mengutip keterangan para pejabat BI bahwa peraturan membatasi penggantian dana nasabah bank yang dilukuidasi hingga maksimal Rp 2 miliar.
Saya belum paham arah penjelasan sang penyidik. "Konsekuensinya?"
Ia lagi-lagi tersenyum lebih dulu. "Pak Bambang," katanya, "jika Bank Century ditutup, maka selain pemilik bank, yang lebih panik adalah para nasabah yang memiliki uang besar di Bank Century."
"Lantas?"
Diambilnya jeda sejenak, "Tidak menutup kemungkinan, mereka, para nasabah ini, bikin manuver dan melakukan lobi politik untuk mengamankan Bank Century. Demi memastikan dana mereka aman dan tidak melayang--atau hanya diganti Rp 2 miliar.
Tentu saja ia benar. Sejak awal saya tahu, ada sejumlah nasabah pemilik dana jumbo di Bank Century, termasuk kalangan BUMN. Sebagai politisi dan pebisnis, saya tidak akan kaget jika mendengar para nasabah jumbo ini melakukan kasak-kusuk untuk mengamankan duitnya. Rasa-rasanya, jika ada nasabah yang menyimpan uang Rp 2 triliun di Bank Century, ia akan rela kehilangan separuhnya ketimbang hanya tinggal bersisa Rp 2 miliar. Ini semua pemikiran biasa. Yang luar biasa adalah, pemikiran itu sudah menjadi paradigma penyidik KPK.
"Jadi, Pak Bambang, ini sudah ada titik terang. Kami sudah menemukan mens rea-nya."
Saya lagi-lagi terpana. Mens rea. Istilah hukum itu. Pengucapakan frase tersebut kembali mendorong ingatan saya pada perdebatan antara Gayus Lumbun, mantan Wakil Ketua Pansus Bank Century yang sekarang menjabat Hakim Agung, dengan mantan pimpinan KPK Chandra Hamzah, pada rapat gabungan Timwas Century, 21 September 2011. Ketika itu, Gayus menyampaikan kasus bailout Century harus segera ditingkatkan ke penyidikan karena sudah memenuhi unsur penal policy, yaitu adanya perbuatan melawan hukum (actus reus). Kemudian, pertanggungan jawab pidana karena adanya niat (mens rea), sanksi (punishment), dan perlakuan (treatment). Tapi Chandra Hamzah berkeras, KPK belum menemukan adanya niat atau mens rea, sehingga KPK belum bisa meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan.
Istilah mens rea juga saya dengar kembali di bulan Ramadan 2012, dari Antasari Azhar, mantan Ketua KPK. Di penjaranya di Tangerang, Antasari mengisahkan rapat yang pernah diadakan Presiden dan sejumlah pejabat di istana, 9 Oktober 2008. Antasari mengatakan, rapat itu membahas soal ancaman krisis. Dalam rapat tersebut, memang tidak disebut nama bank yang akan di-bailout. Namun skema bailout sudah merasuk suasana batin peserta rapat. Presiden, ujar Antasari, menyatakan perlu mencegah terjadinya krisis seperti tahun 1998. "Kita perlu melakukan terobosan, terobosan global,'' ujar Antasari, menirukan Presiden.
"Terobosan" yang dimaksud Presiden sepertinya adalah upaya mengatasi peraturan hukum demi kepentingan orang banyak. Antasari mengaku bisa memahami itu. Lantas, disebut-sebut kemungkinan penyuntikan dana terhadap bank tertentu. Di rapat itu, Antasari menegaskan, jangan sampai ada kerugian negara, bahkan satu rupiah sekalipun. Jika itu terjadi, tegasnya, ada tindak pidana. KPK akan menangkapnya. Menurut Antasari, rapat yang digelar beberapa pekan sebelum bailout untuk Bank Century ini sudah mengisi aspek atau mememuhi unsur mens rea tadi.
Advokat senior Adnan Buyung Nasution pun menyatakan setiap kebijakan yang memiliki niat jahat bisa dipidanakan. Kebijakan itu, ujar Adnan Buyung, bisa dipidana jika tujuan atau niatnya melawan hukum dan menguntungkan orang lain. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Ilhamdi Taufik, juga berpendapat senada. Menurut dia, tindakan melawan hukum dalam sebuah kebijakan bisa dibuktikan dalam persidangan.
Namun dari keterangan Antasari dan para pakar hukum tadi, aspek mens rea lebih ditujukan kepada para pengambil kebijakan. Niat awalnya dari pengambil kebijakan. Sementara penyidik KPK yang berbincang dengan saya melihat, mens rea ada di para nasabah jumbo yang mencoba mempertahankan uangnya agar jangan sampai hangus. "Kenapa arah mens rea-nya dari sana?"
"Saya sadar betul," ujar sang jaksa penyidik, "kalau saya tanyakan dari aspek kebijakan bailout, apalagi menyangkut soal teknisnya, para pejabat BI ini akan langsung bersikap defensif. Mereka sangat paham urusan teknis perbankan dan peraturannya. Akan sulit bagi KPK untuk mengusut kasus ini."
"Lalu?"
"Karena kami memulainya dari nasabah, pihak ketiga, mereka lebih santai dan mau bersikap terbuka. Hasilnya, bisa kami yakini bahwa bailout ini akhirnya lebih menguntungkan nasabah Bank Century. "
Saya terperangah. Kalimat tadi muncul dari mulut seorang penyidik KPK. "Jadi, bailout ini lebih untuk kepentingan nasabah, bukan untuk menyelematkan perekonomian negara?" Tanya saya dalam hati.
Senyum itu kembali terkembang. Dan sang penyidik melanjutkan, "jangan lupa juga, pak Bambang, kalau Bank Century ditutup, bagaimana nasib FPJP?"
Saya paham, sebagai pemberi pinjaman FPJP—yang diberikan dengan melanggar prosedur, ceroboh, dan hampir merugikan negara--BI tak ubahnya nasabah Bank Century. Jika Bank Century ditutup, dana FPJP yang lebih dari Rp 680 miliar tidak akan kembali lebih dari Rp 2 miliar. BI punya motif. Ini bisa jadi mens rea pula. Alih-alih menyelamatkan ekonomi negara, BI berusaha menyelamatkan Bank Century lebih untuk menyelamatkan uangnya sendiri.
Perbincangan ini kian asyik. Tapi, kami harus mengakhiri obrolan. Seorang petugas KPK menghampiri. Saya melirik jam tangan. Pukul 10.05 WIB. Sudah saatnya saya memberi keterangan sebagai saksi. (Bersambung ke bagian-2)
Bagian Kedua dari Tiga tulisan
Tepat pukul 10.10 WIB, saya beranjak dari ruang tunggu meninggalkan perbincangan cukup hangat dan seru dengan jaksa muda itu menuju ruang pemeriksaan. Setelah melewati koridor yang sesak dengan tumbukan dokumen yang meluber di sana-sini, begitu hiruk pikuk, saya akhirnya dipersilakan memasuki ruang pemeriksaan. Seorang penyidik KPK yang lain membimbing saya, dan saya sempat mengira ia yang bertugas memeriksa. Ternyata bukan. Sehabis berkenalan, saya tahu, ia seorang polisi muda yang juga sangat santun yang lalu menginformasikan bahwa rekannya sesama penyidik, yang bertugas memeriksa saya, masih dalam perjalanan. "Terjebak macet," katanya, setelah didahului permintaan maaf yang amat mendalam. Jam digital di ruang pemeriksaan, berukuran besar dan berwarna merah, sudah menunjukan angka 10.15. Lagi-lagi secangkir kopi dan segelas air putih disuguhkan.
Hanya 2 x 2 meter luas ruangan pemeriksaan itu. Jangan bandingkan dengan ruang pemeriksaan di film-film Holywood yang luas dan memiliki kaca dua arah. Sedemikian sempitnya ruangan pemeriksaan di KPK, sampai-sampai kita bisa mendengar pemeriksaan yang berlangsung di banyak ruangan lain di lantai itu. Saya sempat menghitung, sepanjang berjalan dari ruang tunggu menuju ke ruang pemeriksaan, ada belasan ruang pemeriksaan di lantai 8 tersebut, diberi nomor berurutan dari 01 sampai belasan. Setiap ruangan dipisahkan partisi sederhana dari triplek yang diplitur. Sebagian kaca gelap.
Ruang pemeriksaan saya memiliki jendela dengan pemandangan gedung Bakrie Tower berwarna hitam yg meliuk seperti ular. Dari langit-langit, menjulur mikrofon tua berukuran besar, persis mikrofon yg sering kita lihat jelang pertarungan tinju di ring profesional. Mikrofon itu yg merekam pembicaraan petugas dengan terperiksa. Saya harap mikrofon itu bekerja dengan baik. Dibagian atas kanan-kiri belakang penyidik terlihat dua buah kamera yg juga sudah ketinggalan model mengawasi terperiksa dari dua sudut. Sebuah meja diletakan di tengah. Satu kursi utk penyidik menghadapi dua kursi beroda yg sudah rusak utk terperiksa. Sesak dan kuno. "Ya, beginilah, mas Bambang," penyidik polisi itu seakan paham apa yang ada di pikiran saya. "Kondisi Kantor KPK memang seadanya. Makanya, kami berharap support DPR utk anggaran Gedung KPK."
Saya semakin paham dengan pernyataan itu.
"Tapi kami berterimakasih," katanya lagi. "Meski terlambat, DPR akhirnya menyetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK."
Saya tersenyum, asem..
Sambil menunggu datangnya penyidik yang bertugas, saya diserahkan seperangkat lembaran manual. Prosedur, peraturan, dan kode etik pemeriksaan saksi dan terperiksa di KPK. Di sana tertera, saksi dan terperiksa tidak boleh memberi janji atau apapun kepada penyidik. Bahkan tidak boleh sekadar bertukar nomor telepon. Saya membaca lamat-lamat manual tersebut. Sang penyidik polisi pamit meninggalkan saya.
Pukul 10.35, penyidik yang bertugas baru datang. Kami berkenalan. Rupanya ia seorang jaksa pula. Dua orang jaksa yang saya temui hari itu di KPK, sama-sama bertugas sebagai penyidik.
Memang, yang saya tahu, penyidik adalah tugas polisi dan jaksa menjadi penuntut atau penyusun dakwaan. Tapi KPK memang sedang kekurangan tenaga. Penyidiknya banyak ditarik polisi. Sehingga KPK saat ini hanya memiliki 75 penyidik.
Wajar kalau KPK kerap mengeluh dan kewalahan. Karena idealnya satu kasus ditangani empat orang, bukan satu orang tangani empat kasus seperti sekarang ini. Maka tak heran jika banyak kasus dugaan korupsi yang seharusnya naik ke penyidikan masih tertahan di penyelidikan.
Begitulah keadaan lembaga anti rasuah kita itu. Jumlah kasus korupsi yang harus ditangani tak sebanding dengan ketersediaan tenaga penyidik maupun ruang pemeriksaan yang memadai.
Kembali ke soal pemeriksaan. Belakangan saya tahu, jaksa ini termasuk senior yang ditakuti. Ternyata Ia sama dengan saya, mantan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Bukan sekadar HMI, tapi sama-sama HMI garis keras seperti MS Kaban dan Egie Sudjana yang tergabung dalam HMI-MPO. Di HMI dulu, HMI-MPO ini kiblatnya Abdullah Hehamahua, seorang senior klotokan dengan tingkat ke Islaman yang sangat kuat, yang kini jadi Penasehat KPK.
Sambil menunggunya menyiapkan peranti pemeriksaan, laptop dan sebagainya, kami terus berbincang. Kami sempat membicarakan situasi negara, kemiskinan yang kian meluas, korupsi, dan perilaku pejabat yang tidak bertanggung jawab. Jaksa ini bicara sangat kritis. Saya kagum padanya. "Bapak ini sangat berani..."
"Tidak begitu pak Bambang," jawabnya, lugas. "Ini ibadah. Saya sudah bertekad mewakafkan hidup saya untuk negeri ini. Saya mengalami Tsunami di Aceh, tahun 2004. Dan itu menyadarkan saya bahwa hidup hanya sementara. Sewaktu-waktu kita bisa dipanggil oleh Nya.."
Awalan yang menyentak untuk sebuah pemeriksaan.
Saya diminta mengisi formulir biodata yang sudah disiapkan. Ditanyakannya kondisi kesehatan saya hari itu dan kesediaan diperiksa sebagai saksi, untuk tersangka Irjenpol Djoko Susilo, dalam kasus dugaan korups pengadaan simulator SIM. Saya jawab, "baik" dan "tidak ada masalah."
"Bersedia disumpah?"
"Ya. Insyaallah"
Maka penyidik memanggil rekannya yang bertugas membimbing pengucapan sumpah. Pembimbing memegang Al Quran di atas kepala saya, dan kami berdua memegang teks pembacaan sumpah, ia membacanya dan saya mengikuti. "Demi Allah, saya bersumpah.."
Sumpah itu kemudian dibuatkan berita acaranya dan ditandatangani oleh penyidik, saya sendiri dan saksi. Saya jadi teringat saat Wakil Presiden Boediono diambil sumpah dihadapan pansus kasus Century di DPR tiga tahun lalu.
Setelah berkas berita acara dilipat dan dirapihkan, lantas dimulailah pemeriksaan itu. Saya ditanya, apakah kenal dengan Djoko Susilo?
"Ya. Kenal"
"Pernah Bertemu?"
Hanya satu kali, ketika itu saya diajak ketua poksi saya Azis Syamsuddin, di Restoran Jepang Bassara, Summitmas, sekitar awal 2010. Ketika itu saya dan kawan-kawan lagi sibuk-sibuknya sebagai anggota Pansus Skandal Bank Century. Pertemuan ini tak berlangsung lama, sekitar 1,5 jam, karena saya dan Azis harus kembali ke DPR mengikuti rapat Pansus Century. Di dalam pertemuan, Saya hanya diam, menyimak soal pelaksanaan Undang-undang Lalu Lintas yang baru disahkan DPR Mei 2009. Djoko menyampaikan, banyak kendala dalam pelaksanaan UU itu. Selain juklak kapolri belum turun, aturan pelaksanaan dari pemerintahpun belum keluar. Lalu Djoko, seingat saya juga menyampaikan ada indikasi Kemenhub akan mengajukan kembali usulan perubahan (RUU) Lalu-lintas. Sebab, dalam implementasi di lapangan, terjadi benturan antara Polantas dengan DLLAJR.
Lalu, Azis dalam pertemuan yang juga dihadiri anggota DPR dari PDIP, Herman Herry menjelaskan. Kalau terkait dengan pembahasan UU Lalu-lintas itu panja atau pansusnya adalah domain komisi V dan bukan komisi III.
Baru satu pertanyaan diajukan, Adzan Dzuhur sudah berkumandang. Pemeriksaan dihentikan. Sudah masuk jadwal sholat, istirahat, dan makan siang. Rupanya, makan siang di KPK enak juga. Pilihannya nasi gudeg atau ayam bakar. Saya memilih menu ayam bakar. Usai makan siang saya keluar ruang pemeriksaan menuju toilet sekaligus tempat wudhu yang terletak disudut ruangan. Saya sempat melirik ruang mushola disebelah ruang tunggu penuh sesak oleh penyidik, karyawan serta tamu para saksi dan tersangka yang sedang diperiksa, tengah antri solat. Saya bertemu wajah-wajah yang tidak asing karena kerap muncul dipemberitaan atas kasus-kasus yang ditangani KPK. Sebelum mencapai toilet saya melewati dapur kecil tempat office boy menyiapkan suguhan. Saya melihat sejumlah penyidik asyik mengepulkan asap dengan lengan baju dan celana tergulung beralasan sandal.
Mereka spontan menyapa saya, "merokok dulu pak Bambang, sambil antri wudhu nih." Saya menjawab sambil tersenyum. Silahkah! Rupanya tidak hanya para terperiksa saja yang butuh merokok untuk melepaskan ketegangan. Para penyidik juga tampaknya tidak kalah lelahnya dalam mencecar dan mengorek keterangan. Apalagi kalau menghadapi terperiksa yang menggunakan jurus lupa, tidak ingat dan tidak tahu. He..he... (Bersambung ke bagian-3)
Bagian terakhir dari Tiga tulisan
Pukul 13.10 wib, pemeriksaan dimulai kembali.
Penyidik meminta saya menjelaskan struktur organisasi Komisi III DPR, nama-nama pejabatnya, nama setiap ketua kelompok fraksi, dan seperti apa alat kelengkapan dewan lainnya. Lantas saya dimintai keterangan soal mekanisme anggaran dan mekanisme Pendapatan negara Bukan Pajak (PNBP).
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah terbayangkan sebelumnya. Sejatinya, saya tidak tahu apa-apa soal masalah Simulator SIM. Tapi saya mendukung KPK mengungkap kasus tersebut. Pemeriksaan saya oleh KPK, menunjukan begitulah seharusnya KPK bekerja. Sekecil apapun informasi yang didapat, selama itu relevan, KPK harus menindaklanjutinya. Kita berharap KPK konsisten dalam hal ini.
Saya jelaskan soal mekansime kerja, alat kelengkapan dan struktur organisasi Komisi III DPR. Saya juga membawa setumpuk aturan, transkrif dan notulen rapat yang menegaskan bahwa di Komisi III DPR tidak ada pembahasan pengadaan simulator SIM. Tidak sekalipun Rapat di Komisi III DPR maupun di Banggar, pernah membahas secara khusus Anggaran pengadaan Simulator. Ini fakta. Tidak sehelaipun Notulen Rapat di Komisi III pernah mencatat adanya rapat soal Anggaran pengadaan Simulator.
Dalam UU 20/ 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Peraturan Pemerintah (PP) No.73/ 1999 pasal 5: "penggunaan atau pemanfaatan dana PNBP hanya memerlukan persetujuan kementerian keuangan." Jadi, dalam hal ini, DPR hanya membahas besaran persentase perolehan PNBP yang masuk dalam APBN bersama-sama Kemenkeu dan Polri di Badan Anggaran DPR. Lantas, UU 20/ 1997 dan pasal 4 ayat 1 PP No.73/ 1999: "Walaupun PNBP bersifat segera harus disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari PNBP yang telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu oleh instansi yg bersangkutan," serta Pasal 5 PP no.73 tahun 1999: "Instansi yang bersangkutan dapat menggunakan dana PNBP sebagaimana dimaksud pasal 4 setelah memperoleh persetujuan dari menteri keuangan."
Atuan-aturan ini yang menegaskan bahwa penggunaan PNBP, termasuk dalam hal 'tender' pengadaannya, sepenuhnya merupakan kewenangan Polri (dalam hal ini Korlantas). Dan ini juga diperkuat oleh Peraturan Dirjen Perbendaharaan no.Per-06/PB/2009 tentang Mekanisme Pelaksanaan APBN di lingkungan Polri. Mungkin, ada baiknya media dan KPK menelusuri hubungan kerja Korlantas Polri dan Direktorat PNBP Kemenkeu soal penentuan PNBP ini.
Adzan kembali berkumandang. Sudah masuk waktu Ashar. Pemeriksaan dihentikan lagi selama satu jam. Saya hitung-hitung, cukup sering juga pemeriksaan ini diselingi jeda. Bahkan di luar waktu shalat, penyidik juga memberi kesempatan jeda sekadar untuk meluruskan badan atau hanya sekedar merokok.
Jam menunjukan angka empat. Pemeriksaan diteruskan dan pertanyaan diarahkan untuk mengecek ulang pernyataan dan kesaksian Muhammad Nazaruddin dan saksi yang lain, terutama soal pertemuan-pertemuan yang kabarnya dilakukan untuk membahas anggaran simulator SIM.
Sayang, saya tidak bisa memberi banyak bantuan. Saya tidak tahu apa-apa soal berbagai pertemuan itu.
Pukul 16.30, penyidik bertanya,"Apakah saksi bersedia dikonfrontasikan dengan saksi lain, yang bernama Teddy Rusmawan?"
"Bersedia. Tidak masalah."
Lalu masuklah orang yang diperkenalkan bernama Teddy Rusmawan, seorang perwira polisi berusia 40-an. Ia mengenakan kameja yang rapih, mukanya bersih tapi tidak bersemangat, mungkin kelelahan. Teddy duduk di sebelah kanan saya berhimpitan. Maklum ruanganya memang sangat sempit.
Penyidik bertanya kepada Teddy. "Kenal dengan pak Bambang?"
Teddy menjawab "kenal, karena saya sering lihat Pak Bambang di televisi."
Lalu saya diajukan pertanyaan yang sama. Kenal dengan Teddy? Saya jawab tidak kenal. Tapi saya tahu Teddy dari media sejak kasus simulator SIM mencuat. Teddy sempat dijadikan tersangka dan ditahan di Bareskrim Polri ketika kasus tersebut sempat ditangani Bareskrim Polri.
Teddy juga mengaku pernah bertemu dengan saya di restoran Bassara, saat pertemuan Djoko Susilo dengan para anggota Komisi III DPR. Menurut Teddy, ia ikut mendampingi Djoko Susilo di sana.
Saya mengatakan saya tidak bertemu yang bersangkutan karena diruangan VIP itu hanya ada Joko, saya, Aziz dan Herman Herry. Akhirnya Teddy menjelaskan bahwa dia hadir tapi menunggu diluar ruangan.
Lalu penyidik meminta keterangan Teddy soal cerita pemberian titipan dari Djoko Susilo kepada anggota DPR. Berkisahlah Teddy soal pertemuan di kafe de Luca, Plaza Senayan. Saya menyimak. Teddy mengaku diperintahkan Irjen Djoko pada akhir 2010 untuk bertemu dan mengantar titipan kepada Azis Syamsuddin, anggota Komisi III DPR. Lantas Teddy mengaku janjian dengan Azis untuk bertemu di sebuah kafe lantai dasar Plaza Senayan, yang belakangan diketahui bernama kafe de Luca.
Saat datang, ujar Teddy, Azis tengah bersama saya. Lantas Teddy bergabung, ngopi-ngopi. Lalu Azis menelepon seseorang, Teddy menyebutnya ajudan. Teddy dan ajudan tersebut kemudian pergi ke tempat parkir mobil untuk menyerahkan titipan Djoko tadi. Menurut Teddy, dalam pemeriksaan di depan saya dan penyidik, mobil tersebut merek Mercy berwarna silver.
Penyidik melirik saya. "Apakah cerita itu benar?"
Saya mulai dengan tersenyum, dengan santai saya katakan di bawah sumpah, tidak benar saya ada di kafe de Luca itu. Karena sejak kafe itu beroperasi hingga detik ini saya tidak pernah mendatangi kafe tersebut. "Saya tidak pernah hadir, datang, dan berada di kafe de Luca. Silakan cek semua petunjuk: rekaman kamera CCTV, bon pembayaran, karcis parkir, atau apa saja. Saya sangat sering datang ke Plaza Senayan. Tapi tidak pernah ke cafe de Luca yang terletak dilantai dasar dekat area parkir itu. Tempat tujuan saya jika berkunjung ke Plaza Senayan adalah restoran Oyster, langganan saya, di lantai 5, seberang bioskop XXI. Di sanalah saya sering kongkow, baik dengan teman-teman DPR, Kadin maupun organisasi lainnya.
Saya sempat melirik Teddy. Dia diam dan sesekali menunduk mendengarkan. Tak membela keterangannya. Sewaktu penyidik bertanya lagi, "Apakah ada yang keliru atau ada yang akan ditambahkan?" Teddy menjawab, "tidak ada."
Saya juga tak punya keterangan lain.
Pukul 17.05, Teddy dipersilakan keluar. Pemeriksaan praktis berakhir dan penyidik menyusun berita acara pemeriksaan (BAP), merapikannya, lantas mencetaknya di kertas. Ia meminta saya memeriksa setiap halaman demi halaman BAP itu. Saya menerima susunan BAP tersebut, lalu memberinya paraf di setiap halaman dan menandatangani BAP di halaman terakhir. Ada sekitar 20an pertanyaan yang didokumentasikan di sana.
Begitulah, diselingi makan siang, istirahat waktu shalat, dan jeda di sana-sini, akhirnya pemeriksaan berakhir. Secara efektif, waktu pemeriksaan sebenarnya tak sampai 5 jam. Sewaktu beranjak menuju lift lantai 8, saya bertemu Aziz Syamsuddin dan Herman Hery, yang pemeriksaannya sudah selesai duluan. Kami lalu memutuskan untuk tidak langsung turun. Sebentar lagi adzan Maghrib.
Kami sempat saling ngobrol soal pemeriksaan. Tapi tidak lama. Yang menarik adalah cerita Azis. Sewaktu konfrontasi dengan dirinya, Teddy mengaku mobil yang menjadi tempat menyerahkan titipan dari Djoko, lewat "ajudan," adalah Mercy warna hitam. Hitam, bukan silver seperti yang ia jelaskan dalam kesaksiannya dihadapan penyidik dan saya.
Selepas Maghrib, kami keluar dari Gedung KPK, menggunakan lift menuju lantai dasar. Di bawah, puluhan wartawan menunggu. Sembilan jam sudah saya berada di dalam gedung KPK.
Ah, pengalaman yang melelahkan dan unik. Yang sulit adalah mengingat-ingat peristiwa yang sudah terjadi bertahun silam. Tapi saya merasa beruntung menjadi saksi di KPK sehingga lebih tahu keadaan di sana, dan tahu pula kualitas para penyidik KPK. Saya tak bisa melepaskan ingatan soal suasananya yang padat, kumuh, dan dipenuhi antrean mereka yang hendak diperiksa, namun harus menunggu adanya ruang pemeriksaan yang kosong. Ada penyidik yang memeriksa lima orang sekaligus, dalam ruangan 2 x 2 meter, sehingga sebagian terperiksa harus duduk di luar ruangan, berdempatan di koridor jalan.
Di ruang pemeriksaan saya, sil karet di rangka jendela rupanya sudah getas. Kaca jendela di lantai 8 itu kerap bergetar. Tidak rapat. Sehingga musik dangdut-an dan orasi pendemo yang keluar dari pengeras suara para pengunjuk rasa di depan gedung KPK, terdengar jelas hingga ruang pemeriksaan.
Belum lagi ketika sore itu hujan turun sangat deras mengguyur Jakarta. Airnya menyelusup masuk melalui sela-sela jendela, membasahi ruang pemeriksaan.
Sangat memprihatinkan memang. Sementara segudang harapan bangsa ini atas pemberantasan korupsi ada di pundak lembaga ini. Saya bersyukur DPR tahun lalu sudah mengabulkan permintaan KPK untuk membangun gedung baru.
Kita, ingin KPK yang kuat, tegak lurus dan bebas intervensi dengan gedung dan ruang pemeriksaan yang memadai. Kita juga ingin KPK dengan kewenangan luar biasa itu, tidak sembarang menyambar kasus. Terutama kasus-kasus berskala kecil.
Kita ingin KPK pandai memilah perkara agar memenuhi harapan publik sebagaimana diamanatkan undang-undang. Yakni, perkara besar yang melibatkan orang-orang besar. Sebab, seekor elang Rajawali tidak perlu menyambar seekor lalat. (Selengkapnya dapat dibaca di buku terbaru Bambang Soesatyo: "Skandal Century di Tikungan Terakhir", beredar Juni 2013 mendatang).
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment