Mencuri Jatah Rakyat
By Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI
Terlalu banyak kebohongan dalam pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Fakta pencurian yang menyebabkan stok BBM bersubsidi terkuras, dimanipulasi dengan mengedepankan argumentasi tentang penyerapan konsumen dalam negeri yang begitu tinggi dan cepat. Argumentasi ini melengkapi alasan menambah kuota BBM bersubsidi.
Buah dari rangkaian kebohongan itu adalah kelangkaan solar saat ini. Dan, untuk kelangkaan kali ini pun, pemerintah kembali menyalahkan masyarakat. Sebab, menurut pemerintah, penyerapan oleh konsumen dalam negeri terus meningkat, sehingga merusak skenario pendistribusian yang dibuat untuk mengendalikan konsumsi solar bersubsidi. Jelas bahwa ada muatan kebohongan dari argumentasi itu. Tahun lalu, persoalan kelangkaan baru muncul di penghujung 2012. Karena itu, kalau kelangkaan sudah terjadi di seantero negeri pada bulan April 2013, pasti ada yang tidak beres pada aspek distribusi dan pengendalian.
Oleh karena itu, argumen bahwa penyerapan solar bersubsidi 2013 bisa melampaui kuota APBN tidak boleh dipercaya begitu saja. Inisiatif untuk menambah kuota BBM bersubsidi untuk 2013 pun rasanya terlalu prematur. APBN 2013 mengalokasikan belanja subsidi energi (BBM dan listrik) sebesar Rp274,7 triliun. Dari jumlah itu, subsidi BBM Rp193,8 triliun, ekivalen 46 juta kiloliter. Kuota solar bersubsidi 2013 mencapai 14,2 juta kiloliter. Menurut data BPH Migas, pada akhir Februari 2013, konsumsi premium telah mencapai 4,58 juta kiloliter dan konsumsi solar baru 2,44 juta kiloliter.
Layak diasumsikan bahwa stok solar bersubsidi mestinya masih pada level yang aman. Cuaca buruk sejak awal 2013 jelas-jelas menghambat arus angkutan barang dan jasa di berbagai wilayah tanah air, termasuk di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Berarti, konsumsi solar pada periode itu anjlok di bawah rata-rata kondisi cuaca normal. Jadi, kalau diasumsikan bahwa penyerapan solar sejak awal tahun hingga April 2013 sangat tinggi sehingga menguras stok kuota, ini adalah kebohongan yang dipaksakan. Mengambinghitamkan konsumsi masyarakat adalah perilaku manipulatif. Pemerintah seharusnya instropeksi karena tak becus mengelola BBM bersubsidi yang dialokasikan dalam APBN.
Wajar bahwa volume konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan lebih besar dari tahun lalu, mengikuti kecenderungan pertumbuhan ekonomi dan penjualan kendaraan bermotor. Mengacu pada konsumsi tahun 2012, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bisa mencapai 49,65 juta kiloliter; meliputi 31,46 juta kiloliter bensin premium, 1,20 juta kiloliter kerosene dan 16,99 juta kiloliter solar.
Penambahan kuota memang tidak diharamkan selama penambahan itu betul-betul untuk melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, penambahan itu layak untuk dipertanyakan selama pemerintah dan aparat keamanan negara belum militan memerangi pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi. Muncul kesan bahwa penyelundupan BBM bersubsidi masih dilihat sebagai tindak kriminal biasa-biasa saja. Padahal, nilai kerugian negara yang ditimbulkannya amat sangat besar.
Pemerintah cenderung membenarkan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa sekitar 30 persen BBM bersubsidi tidak sampai pada sasarannya karena dicuri atau diselundupkan. Angka 30 persen itu tidak bisa dibilang kecil dalam konteks nilai subsidi BBM per tahun anggaran. Misalnya untuk tahun 2012; nilai subsidi BBM tahun lalu membengkak menjadi Rp Rp222,8 triliun karena ada tambahan kuota subsidi 1,23 juta kilo liter. Jangankan 30 persen; 10 persen atau 15 persen saja dari jumlah itu dicuri atau diselundupkan, nilai kerugian negara sudah mencapai puluhan triliun rupiah hanya dalam setahun anggaran saja.Seharusnya, kasus ini dilihat sebagai kejahatan teramat serius terhadap negara dan rakyat.
Modus Tambah Kuota
Sekali lagi, kasus penangkapan kapal MT Zarena patut dikedepankan sebagai contoh. Januari lalu, Satgas pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi menangkap Kapal MT Zarena yang coba menyelundupkan solar subsidi ke Singapura di perairan Batam. Bahkan, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pun sudah memastikan keterlibatan oknum Pertamina dalam kasus ini.
Sanksi hukum untuk kasus penyelundupan secara umum sudah diatur dalam UU 10/1995 tentang Kepabeanan, dengan sanksi hukuman penjara delapan tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Ketentuan hukum ini mestinya bisa diterapkan untuk kasus penyelundupan BBM.
Akan tetapi, hingga kini, perlakuan hukum terhadap kasus kapal MT Zarena tak pernah jelas. Tahun lalu, BPH Migas juga sudah mengungkapkan penyelundupan BBM bersubsidi ke sektor industri dan pertambangan. Bahkan, para pelakunya pun sudah teridentifikasi, termasuk oknum TNI dan Polri. Namun, tindak lanjut atau proses hukum dari pengungkapan kasus oleh BPH Migas itu tak pernah terlihat.
Selama ini, DPR maupun masyarakat pada umumnya tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas tentang proses hukum terhadap pelaku pencurian atau penyelundup BBM bersubsidi. Karena itu, Satgas Pengendalian dan Pengawasan BBM bersubsidi yang dipimpin BPH Migas perlu lebih transparan dalam menangani kasus pencurian BBM.
Langkah-langkah pihak berwajib menindak dan menggerebek penyelundup BBM sering diberitakan. Namun, perlakuan hukum terhadap pelaku penyelundup BBM tidak pernah jelas. Pertanyaannya, apakah pencuri dan penyelundup BBM itu menjalani proses hukum atau tidak? Selama ini, kesalahan lebih sering ditimpakan kepada penyedia jasa angkutan atau transportir, dengan sanksi skorsing.
Karena itulah kelangkaan solar saat ini dirasakan sangat janggal. Lebih dari itu, bisa dipastikan bahwa kelanggkaan saat ini bukan disebabkan tingginya serapan konsumen dalam negeri sehingga menguras stok kuota solar bersubisidi. Kelangkaan sekarang lebih diakibatkan oleh pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi oleh oknum aparatur negara.
Karena pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam memerangi penyelundupan BBM bersubsidi, muncul kecurigaan bahwa ada oknum pemerintah atau aparatur negara yang punya kepentingan dan menikmati hasil pencurian BBM bersubsidi. Itu sebabnya, setiap kali terjadi kasus kelangkaan, satu-satunya opsi yang dipilih adalah menambah kuota BBM bersubsidi, dan bukan mengeskalasi perang melawan penyelundupan BBM bersubsidi. Padahal, jika penyelundupan tidak diperangi, sebagian dari kuota BBM bersubsidi yang ditambah itu pada akhirnya akan diselundupkan juga. Jadi, penambahan kuota BBM bersubsidi tampaknya sudah dijadikan modus.
Karena itu, patut dipertanyakan mengapa Menteri ESDM begitu ringan tangan dengan rencana menambah kuota BBM bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter? Seharusnya, kementerian ESDM meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lain guna memperkecil akses penyelundupan BBM bersubsidi.
Kelangkaan solar sepanjang April 2013 mengindikasikan bahwa intensitas penyelundupan BBM bersubsidi sejak awal tahun terbilang tinggi. Sebab, kelangkaan terjadi di begitu banyak daerah. Artinya, pihak yang mengotaki pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi sudah berani bertindak ugal-ugalan, tak peduli pada kepentingan masyarakat luas.
Oleh sejumlah kalangan, persoalan kelangkaan solar akhir-akhir ini diduga berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kepentingan politik partai tertentu yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam menyongsong tahun Pemilu 2014.
Terlalu banyak kebohongan dalam pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Fakta pencurian yang menyebabkan stok BBM bersubsidi terkuras, dimanipulasi dengan mengedepankan argumentasi tentang penyerapan konsumen dalam negeri yang begitu tinggi dan cepat. Argumentasi ini melengkapi alasan menambah kuota BBM bersubsidi.
Buah dari rangkaian kebohongan itu adalah kelangkaan solar saat ini. Dan, untuk kelangkaan kali ini pun, pemerintah kembali menyalahkan masyarakat. Sebab, menurut pemerintah, penyerapan oleh konsumen dalam negeri terus meningkat, sehingga merusak skenario pendistribusian yang dibuat untuk mengendalikan konsumsi solar bersubsidi. Jelas bahwa ada muatan kebohongan dari argumentasi itu. Tahun lalu, persoalan kelangkaan baru muncul di penghujung 2012. Karena itu, kalau kelangkaan sudah terjadi di seantero negeri pada bulan April 2013, pasti ada yang tidak beres pada aspek distribusi dan pengendalian.
Oleh karena itu, argumen bahwa penyerapan solar bersubsidi 2013 bisa melampaui kuota APBN tidak boleh dipercaya begitu saja. Inisiatif untuk menambah kuota BBM bersubsidi untuk 2013 pun rasanya terlalu prematur. APBN 2013 mengalokasikan belanja subsidi energi (BBM dan listrik) sebesar Rp274,7 triliun. Dari jumlah itu, subsidi BBM Rp193,8 triliun, ekivalen 46 juta kiloliter. Kuota solar bersubsidi 2013 mencapai 14,2 juta kiloliter. Menurut data BPH Migas, pada akhir Februari 2013, konsumsi premium telah mencapai 4,58 juta kiloliter dan konsumsi solar baru 2,44 juta kiloliter.
Layak diasumsikan bahwa stok solar bersubsidi mestinya masih pada level yang aman. Cuaca buruk sejak awal 2013 jelas-jelas menghambat arus angkutan barang dan jasa di berbagai wilayah tanah air, termasuk di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Berarti, konsumsi solar pada periode itu anjlok di bawah rata-rata kondisi cuaca normal. Jadi, kalau diasumsikan bahwa penyerapan solar sejak awal tahun hingga April 2013 sangat tinggi sehingga menguras stok kuota, ini adalah kebohongan yang dipaksakan. Mengambinghitamkan konsumsi masyarakat adalah perilaku manipulatif. Pemerintah seharusnya instropeksi karena tak becus mengelola BBM bersubsidi yang dialokasikan dalam APBN.
Wajar bahwa volume konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan lebih besar dari tahun lalu, mengikuti kecenderungan pertumbuhan ekonomi dan penjualan kendaraan bermotor. Mengacu pada konsumsi tahun 2012, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bisa mencapai 49,65 juta kiloliter; meliputi 31,46 juta kiloliter bensin premium, 1,20 juta kiloliter kerosene dan 16,99 juta kiloliter solar.
Penambahan kuota memang tidak diharamkan selama penambahan itu betul-betul untuk melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, penambahan itu layak untuk dipertanyakan selama pemerintah dan aparat keamanan negara belum militan memerangi pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi. Muncul kesan bahwa penyelundupan BBM bersubsidi masih dilihat sebagai tindak kriminal biasa-biasa saja. Padahal, nilai kerugian negara yang ditimbulkannya amat sangat besar.
Pemerintah cenderung membenarkan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa sekitar 30 persen BBM bersubsidi tidak sampai pada sasarannya karena dicuri atau diselundupkan. Angka 30 persen itu tidak bisa dibilang kecil dalam konteks nilai subsidi BBM per tahun anggaran. Misalnya untuk tahun 2012; nilai subsidi BBM tahun lalu membengkak menjadi Rp Rp222,8 triliun karena ada tambahan kuota subsidi 1,23 juta kilo liter. Jangankan 30 persen; 10 persen atau 15 persen saja dari jumlah itu dicuri atau diselundupkan, nilai kerugian negara sudah mencapai puluhan triliun rupiah hanya dalam setahun anggaran saja.Seharusnya, kasus ini dilihat sebagai kejahatan teramat serius terhadap negara dan rakyat.
Modus Tambah Kuota
Sekali lagi, kasus penangkapan kapal MT Zarena patut dikedepankan sebagai contoh. Januari lalu, Satgas pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi menangkap Kapal MT Zarena yang coba menyelundupkan solar subsidi ke Singapura di perairan Batam. Bahkan, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas pun sudah memastikan keterlibatan oknum Pertamina dalam kasus ini.
Sanksi hukum untuk kasus penyelundupan secara umum sudah diatur dalam UU 10/1995 tentang Kepabeanan, dengan sanksi hukuman penjara delapan tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Ketentuan hukum ini mestinya bisa diterapkan untuk kasus penyelundupan BBM.
Akan tetapi, hingga kini, perlakuan hukum terhadap kasus kapal MT Zarena tak pernah jelas. Tahun lalu, BPH Migas juga sudah mengungkapkan penyelundupan BBM bersubsidi ke sektor industri dan pertambangan. Bahkan, para pelakunya pun sudah teridentifikasi, termasuk oknum TNI dan Polri. Namun, tindak lanjut atau proses hukum dari pengungkapan kasus oleh BPH Migas itu tak pernah terlihat.
Selama ini, DPR maupun masyarakat pada umumnya tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas tentang proses hukum terhadap pelaku pencurian atau penyelundup BBM bersubsidi. Karena itu, Satgas Pengendalian dan Pengawasan BBM bersubsidi yang dipimpin BPH Migas perlu lebih transparan dalam menangani kasus pencurian BBM.
Langkah-langkah pihak berwajib menindak dan menggerebek penyelundup BBM sering diberitakan. Namun, perlakuan hukum terhadap pelaku penyelundup BBM tidak pernah jelas. Pertanyaannya, apakah pencuri dan penyelundup BBM itu menjalani proses hukum atau tidak? Selama ini, kesalahan lebih sering ditimpakan kepada penyedia jasa angkutan atau transportir, dengan sanksi skorsing.
Karena itulah kelangkaan solar saat ini dirasakan sangat janggal. Lebih dari itu, bisa dipastikan bahwa kelanggkaan saat ini bukan disebabkan tingginya serapan konsumen dalam negeri sehingga menguras stok kuota solar bersubisidi. Kelangkaan sekarang lebih diakibatkan oleh pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi oleh oknum aparatur negara.
Karena pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam memerangi penyelundupan BBM bersubsidi, muncul kecurigaan bahwa ada oknum pemerintah atau aparatur negara yang punya kepentingan dan menikmati hasil pencurian BBM bersubsidi. Itu sebabnya, setiap kali terjadi kasus kelangkaan, satu-satunya opsi yang dipilih adalah menambah kuota BBM bersubsidi, dan bukan mengeskalasi perang melawan penyelundupan BBM bersubsidi. Padahal, jika penyelundupan tidak diperangi, sebagian dari kuota BBM bersubsidi yang ditambah itu pada akhirnya akan diselundupkan juga. Jadi, penambahan kuota BBM bersubsidi tampaknya sudah dijadikan modus.
Karena itu, patut dipertanyakan mengapa Menteri ESDM begitu ringan tangan dengan rencana menambah kuota BBM bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter? Seharusnya, kementerian ESDM meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lain guna memperkecil akses penyelundupan BBM bersubsidi.
Kelangkaan solar sepanjang April 2013 mengindikasikan bahwa intensitas penyelundupan BBM bersubsidi sejak awal tahun terbilang tinggi. Sebab, kelangkaan terjadi di begitu banyak daerah. Artinya, pihak yang mengotaki pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi sudah berani bertindak ugal-ugalan, tak peduli pada kepentingan masyarakat luas.
Oleh sejumlah kalangan, persoalan kelangkaan solar akhir-akhir ini diduga berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kepentingan politik partai tertentu yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam menyongsong tahun Pemilu 2014.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
MARKETPLACE
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment