PKS, Kisah Sapi dan Korupsi Institusional
TAK banyak orang yang jauh sebelum ini bisa menyangka bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal mendapat kesulitan dengan sapi –khewan ternak yang hanya sedikit lebih pintar daripada kerbau. Di antara yang tak banyak itu, satu di antaranya mungkin adalah Yusuf Supendi, salah seorang tokoh pendiri partai. Jauh-jauh hari ia sudah memberi peringatan internal tentang adanya faksi yang mengutamakan kesejahteraan ketimbang keadilan di tubuh PKS. Sejak lama agaknya ia sudah membaui aroma daging sapi dan entah bau apa lagi di lingkungan partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah itu. Tapi, sebagai 'whistle blower' ia malah dimusuhi oleh kalangan partainya sendiri, mirip nasib whistle blower lainnya, Komjen Pol Susno Duadji, "dari kumpulannya terbuang" karena dianggap "binatang jalang".
Entah berkah entah bencana, kader PKS 'selalu' diangkat Presiden SBY sebagai Menteri Pertanian dalam kabinetnya. Dengan memiliki kader dalam kementerian itu, beberapa kader partai tersebut memiliki akses yang kuat ke kementerian itu lalu terlibat bisnis terkait komoditi yang ada dalam wewenang pengendalian institusi tersebut. Di antaranya, paling terkenal kini, daging sapi impor. Kelakuan serupa, memainkan fasilitas, sebenarnya dilakukan oleh beberapa partai lainnya yang kadernya menduduki posisi puncak di berbagai kementerian, hanya belum terbongkar saja. Partai-partai yang lebih cerdik, umumnya lebih sanggup menutupi jejak. Tetapi persoalannya, seringkali kader-kader yang terlibat permainan dana haram, tak tahan situasi banjir uang, dan terkena sindrom 'orang kaya baru'. Perilaku orang yang terkena sindrom kagetan ini sangat mudah terdeteksi karena perilaku 'ayan duit'.
Salah satu kelompok ujung tombak pengejaran uang dalam rangka menghimpun dana politik partai –sekaligus dana untuk memperkaya diri atau kelompok sendiri– adalah kader-kader partai yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Tapi tak sedikit yang sebenarnya sepenuhnya mengejar uang untuk diri sendiri, hitung-hitung menebus kembali pengeluarannya selama berjuang meraih kursi. Mulanya, cukup dengan mencapai break even point (BEP), tetapi karena korupsi itu adalah candu, berlanjut untuk mencapai profit setinggi-tingginya sepanjang lima tahun.
Bila sejumlah oknum tentara maupun polisi 'kepepet' atau tak tahan godaan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari yang diwarnai berbagai cerita korupsi, memilih melakukan kriminalitas bersenjata seperti perampokan, para oknum partai memilih jalur kerah putih. Maka terdengarlah berita-berita tentang keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam mafia anggaran, mafia perkara, mafia perpajakan, skandal pengadaan Al-Qur'an, kasus listrik tenaga surya, kasus Hambalang, kasus pengadaan barang di Kemdikbud, kasus penyelamatan container penuh Blackberry, dan aneka kejahatan kerah putih lainnya. Dibarengi kejahatan kerah biru, gratifikasi seks. Kira-kira untuk apa Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, membagi-bagi uang kepada sejumlah perempuan cantik? Sekedar amal, bisnis, kesenangan diri sendiri atau perbuatan melecehkan kaum perempuan dengan menjadikan mereka alat gratifikasi seks?
SEJAK terungkapnya kasus suap dan korupsi impor daging sapi, meski ada adu argumentasi, pada umumnya para pimpinan PKS tidak bersifat terlalu frontal terhadap KPK. Kecuali Anis Matta, saat baru saja terpilih menjadi Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, yang sempat mengobarkan retorika agama. Namun, ini masih bisa coba 'dimengerti' dalam konteks gimnastik politik yang bersangkutan. Tetapi ketika Senin 6 Mei yang lalu Tim KPK mendatangi Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang Jakarta untuk menyita sejumlah mobil yang diduga milik Luthfi Hasan, terjadi perlawanan. Fase perlawananan ini terjadi mulai dari tingkat bawah di PPKS, yakni petugas keamanan, yang kemudian menjalar ke atas hingga tingkat DPP melalui Wakil Sekjen Fachry Hamzah.
Perlawanan dan argumentasi Fachry terasa sedikit mengada-ada. Mekanisme defensifnya bekerja dalam kadar cukup tinggi. Perlawanan PKS dan sikap Fachry dengan segera mendapat kecaman publik sebagaimana tercermin di berbagai media sosial. Bila Fachry bertahan dengan sikap seperti, yang tetap diperlihatkannya hingga Selasa malam tatkala tampil di forum diskusi Indonesia Lawyers Club tvOne, bisa dihitung akan ada pengaruhnya berupa penurunan simpati kepada partai. Dalam bahasa awam, sudahlah korupsi, melawan lagi. Pernyataan yang bersifat penawar antipati, datang dari mantan Presiden PKS Tiffatul Sembiring pada hari yang sama melalui pers. "Kami tidak ingin melawan KPK. Kami ingin KPK tetap kuat dan mengusut kasus korupsi. Kita jaga bersama supaya KPK tetap lurus," ujarnya.
Riak perlawanan yang ditampilkan Fachry yang juga anggota DPR yang selama ini membidangi masalah hukum, sebenarnya tak menjadi soal penting dalam proses penanganan KPK terhadap PKS sebagai institusi politik. Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta. Dan sebelumnya, juga Menteri Pertanian Suswono yang adalah kader PKS.
Kedua tokoh PKS itu, mulai terhubung melalui mata rantai rekaman suara percakapan Ridwan putera Hilmi Aminuddin dengan Ahmad Fathanah –tentang adanya permintaan dana 17 milyar rupiah– maupun adanya bukti aliran dana Ahmad Fathanah kepada adik Anis Matta. Bisa saja itu semua dibantah. Hilmi Aminuddin misalnya, mengatakan "bluffing" setelah kepadanya rekaman itu diperdengarkan. Mungkin yang dimaksudnya, bukan bluffing (gertakan) tetapi bullshit (omong kosong). Sementara itu, Anis Matta berkelit bahwa aliran dana untuk adiknya adalah dalam rangka pembayaran hutang Ahmad Fathanah. Kita tunggu saja kebenarannya. Tetapi perlu dicatat, selama ini KPK berhasil membuktikan bahwa apa yang 'disampaikan'nya selalu ada dasar pembuktiannya. Namun, sekali lagi, sebaiknya kita menunggu bagaimana kebenarannya nanti.
SEBENARNYA, posisi dan struktur kasus yang dihadapi PKS ini hampir serupa dengan Partai Demokrat. KPK juga perlu mempertajam penjejakannya terhadap korupsi-korupsi yang terjadi dan dilakukan para kader partai itu. Cukup banyak indikasi bahwa korupsi di tubuh Partai Demokrat pun beraroma institusional. Akan tetapi agak mengherankan, KPK sedikit lentur dan meliuk tatkala menangani kasus-kasus korupsi di tubuh partai penguasa ini. KPK misalnya meliuk ketika ada tudingan dari Nazaruddin (dan mungkin juga dari Anas Urbaningrum) mengenai keterlibatan putera presiden, Edhie 'Ibas' Baskoro. Bagaimana, jika sikap agresif Fachry Hamzah sebagai anggota DPR disalurkan sedikit sebagai mekanisme ofensif kepada soal ini?
TAK banyak orang yang jauh sebelum ini bisa menyangka bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal mendapat kesulitan dengan sapi –khewan ternak yang hanya sedikit lebih pintar daripada kerbau. Di antara yang tak banyak itu, satu di antaranya mungkin adalah Yusuf Supendi, salah seorang tokoh pendiri partai. Jauh-jauh hari ia sudah memberi peringatan internal tentang adanya faksi yang mengutamakan kesejahteraan ketimbang keadilan di tubuh PKS. Sejak lama agaknya ia sudah membaui aroma daging sapi dan entah bau apa lagi di lingkungan partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah itu. Tapi, sebagai 'whistle blower' ia malah dimusuhi oleh kalangan partainya sendiri, mirip nasib whistle blower lainnya, Komjen Pol Susno Duadji, "dari kumpulannya terbuang" karena dianggap "binatang jalang".
Entah berkah entah bencana, kader PKS 'selalu' diangkat Presiden SBY sebagai Menteri Pertanian dalam kabinetnya. Dengan memiliki kader dalam kementerian itu, beberapa kader partai tersebut memiliki akses yang kuat ke kementerian itu lalu terlibat bisnis terkait komoditi yang ada dalam wewenang pengendalian institusi tersebut. Di antaranya, paling terkenal kini, daging sapi impor. Kelakuan serupa, memainkan fasilitas, sebenarnya dilakukan oleh beberapa partai lainnya yang kadernya menduduki posisi puncak di berbagai kementerian, hanya belum terbongkar saja. Partai-partai yang lebih cerdik, umumnya lebih sanggup menutupi jejak. Tetapi persoalannya, seringkali kader-kader yang terlibat permainan dana haram, tak tahan situasi banjir uang, dan terkena sindrom 'orang kaya baru'. Perilaku orang yang terkena sindrom kagetan ini sangat mudah terdeteksi karena perilaku 'ayan duit'.
Salah satu kelompok ujung tombak pengejaran uang dalam rangka menghimpun dana politik partai –sekaligus dana untuk memperkaya diri atau kelompok sendiri– adalah kader-kader partai yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Tapi tak sedikit yang sebenarnya sepenuhnya mengejar uang untuk diri sendiri, hitung-hitung menebus kembali pengeluarannya selama berjuang meraih kursi. Mulanya, cukup dengan mencapai break even point (BEP), tetapi karena korupsi itu adalah candu, berlanjut untuk mencapai profit setinggi-tingginya sepanjang lima tahun.
Bila sejumlah oknum tentara maupun polisi 'kepepet' atau tak tahan godaan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari yang diwarnai berbagai cerita korupsi, memilih melakukan kriminalitas bersenjata seperti perampokan, para oknum partai memilih jalur kerah putih. Maka terdengarlah berita-berita tentang keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam mafia anggaran, mafia perkara, mafia perpajakan, skandal pengadaan Al-Qur'an, kasus listrik tenaga surya, kasus Hambalang, kasus pengadaan barang di Kemdikbud, kasus penyelamatan container penuh Blackberry, dan aneka kejahatan kerah putih lainnya. Dibarengi kejahatan kerah biru, gratifikasi seks. Kira-kira untuk apa Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, membagi-bagi uang kepada sejumlah perempuan cantik? Sekedar amal, bisnis, kesenangan diri sendiri atau perbuatan melecehkan kaum perempuan dengan menjadikan mereka alat gratifikasi seks?
SEJAK terungkapnya kasus suap dan korupsi impor daging sapi, meski ada adu argumentasi, pada umumnya para pimpinan PKS tidak bersifat terlalu frontal terhadap KPK. Kecuali Anis Matta, saat baru saja terpilih menjadi Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, yang sempat mengobarkan retorika agama. Namun, ini masih bisa coba 'dimengerti' dalam konteks gimnastik politik yang bersangkutan. Tetapi ketika Senin 6 Mei yang lalu Tim KPK mendatangi Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang Jakarta untuk menyita sejumlah mobil yang diduga milik Luthfi Hasan, terjadi perlawanan. Fase perlawananan ini terjadi mulai dari tingkat bawah di PPKS, yakni petugas keamanan, yang kemudian menjalar ke atas hingga tingkat DPP melalui Wakil Sekjen Fachry Hamzah.
Perlawanan dan argumentasi Fachry terasa sedikit mengada-ada. Mekanisme defensifnya bekerja dalam kadar cukup tinggi. Perlawanan PKS dan sikap Fachry dengan segera mendapat kecaman publik sebagaimana tercermin di berbagai media sosial. Bila Fachry bertahan dengan sikap seperti, yang tetap diperlihatkannya hingga Selasa malam tatkala tampil di forum diskusi Indonesia Lawyers Club tvOne, bisa dihitung akan ada pengaruhnya berupa penurunan simpati kepada partai. Dalam bahasa awam, sudahlah korupsi, melawan lagi. Pernyataan yang bersifat penawar antipati, datang dari mantan Presiden PKS Tiffatul Sembiring pada hari yang sama melalui pers. "Kami tidak ingin melawan KPK. Kami ingin KPK tetap kuat dan mengusut kasus korupsi. Kita jaga bersama supaya KPK tetap lurus," ujarnya.
Riak perlawanan yang ditampilkan Fachry yang juga anggota DPR yang selama ini membidangi masalah hukum, sebenarnya tak menjadi soal penting dalam proses penanganan KPK terhadap PKS sebagai institusi politik. Lebih penting, adalah bahwa KPK mencium sesuatu yang lebih dalam dari sekedar keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq plus Ahmad Fathanah. Terlihat, KPK sebenarnya sedang menjejaki korupsi institusional partai tersebut. Dengan data dan bukti yang sudah diperolehnya hingga saat ini, KPK merasa penting untuk memeriksa Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta. Dan sebelumnya, juga Menteri Pertanian Suswono yang adalah kader PKS.
Kedua tokoh PKS itu, mulai terhubung melalui mata rantai rekaman suara percakapan Ridwan putera Hilmi Aminuddin dengan Ahmad Fathanah –tentang adanya permintaan dana 17 milyar rupiah– maupun adanya bukti aliran dana Ahmad Fathanah kepada adik Anis Matta. Bisa saja itu semua dibantah. Hilmi Aminuddin misalnya, mengatakan "bluffing" setelah kepadanya rekaman itu diperdengarkan. Mungkin yang dimaksudnya, bukan bluffing (gertakan) tetapi bullshit (omong kosong). Sementara itu, Anis Matta berkelit bahwa aliran dana untuk adiknya adalah dalam rangka pembayaran hutang Ahmad Fathanah. Kita tunggu saja kebenarannya. Tetapi perlu dicatat, selama ini KPK berhasil membuktikan bahwa apa yang 'disampaikan'nya selalu ada dasar pembuktiannya. Namun, sekali lagi, sebaiknya kita menunggu bagaimana kebenarannya nanti.
SEBENARNYA, posisi dan struktur kasus yang dihadapi PKS ini hampir serupa dengan Partai Demokrat. KPK juga perlu mempertajam penjejakannya terhadap korupsi-korupsi yang terjadi dan dilakukan para kader partai itu. Cukup banyak indikasi bahwa korupsi di tubuh Partai Demokrat pun beraroma institusional. Akan tetapi agak mengherankan, KPK sedikit lentur dan meliuk tatkala menangani kasus-kasus korupsi di tubuh partai penguasa ini. KPK misalnya meliuk ketika ada tudingan dari Nazaruddin (dan mungkin juga dari Anas Urbaningrum) mengenai keterlibatan putera presiden, Edhie 'Ibas' Baskoro. Bagaimana, jika sikap agresif Fachry Hamzah sebagai anggota DPR disalurkan sedikit sebagai mekanisme ofensif kepada soal ini?
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment